Ayah di Kendari Perkosa Anak Perempuannya yang Berusia 13 Tahun
Seorang pria di Kendari menyetubuhi anak gadisnya yang masih berusia 13 tahun. Aparat didesak memberi hukuman maksimal.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Seorang pria di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, ditangkap aparat kepolisian setelah dilaporkan menggagahi anak perempuannya. Korban yang masih berusia 13 tahun itu diperkosa sejak tahun lalu. Aparat hukum didesak memberi hukuman maksimal terhadap pelaku kekerasan seksual.
Terduga pelaku pemerkosaan itu adalah DS (41), warga Kecamatan Poasia, Kendari. Kapolsek Poasia Ajun Komisaris Jumiran mengatakan, DS dilaporkan ke kepolisian oleh istrinya terkait pencabulan anak mereka. ”Pelaku ditangkap pada Jumat (15/3/2024) dan langsung kami proses. Saat pemeriksaan, pelaku mengakui semua perbuatannya,” kata Jumiran, Sabtu (16/3/2024).
Berdasarkan keterangan pelaku, DS menyetubuhi anaknya sejak tahun 2023. Saat itu, pelaku yang usai pesta minuman keras, pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. Ia lalu menyetubuhi sang anak yang saat itu masih duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar.
Kejadian tersebut lalu berulang beberapa kali. Pelaku mengancam korban untuk tidak memberi tahu sang ibu atas perbuatan bejatnya. Terakhir kali pelaku kembali menyetubuhi korban pada akhir Februari lalu.
Setelah kejadian berulang tersebut, ibu korban melihat perubahan drastis pada sang anak. Korban lebih banyak berdiam dan mengurung diri. Ia lalu menginterogasi hingga korban mengakui perbuatan ayahnya sendiri. Ibu korban lalu melaporkan hal ini ke polisi.
Saat ini, pelaku telah ditahan. Ia dijerat dengan Pasal 81 Ayat 3 juncto Pasal 76D Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. ”Pelaku diancam hukuman maksimal 15 tahun penjara,” kata Jumiran.
Kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan di Sultra terus bertambah. Kasus demi kasus terjadi di masyarakat, dengan korban yang terus meningkat. Salah satu kejadian terakhir adalah pembunuhan dan dugaan kuat tindak kekerasan seksual terhadap SA (6), siswi TK di Buton Selatan, akhir Februari lalu. Korban dibunuh dan dibuang ke jurang, dengan kondisi tubuh penuh luka. Pelaku masih dalam pengejaran.
Sebelumnya, NF (21), seorang perempuan warga Baubau, diperkosa pamannya berinisial SA (47) selama 13 tahun atau sejak berusia 8 tahun. Di Konawe, anak 12 tahun diperkosa tiga pemuda. Kurangnya pengawasan bersama dan tidak terjaminnya keselamatan anak dan perempuan membuat kasus kekerasan seksual terus terjadi.
Yustina Fendrita, pendamping korban kekerasan seksual di Sultra, menuturkan, sebagian besar kasus kekerasan seksual dilakukan oleh orang yang dikenal korban. Mereka antara lain keluarga dekat, guru, dan tetangga. Namun, tidak menutup kemungkinan orang yang baru dikenal juga bisa menjadi pelaku kekerasan seksual, terutama terhadap anak.
Hal ini terjadi, kata Yustina, akibat lemahnya pengawasan bersama dan lemahnya posisi perempuan dan anak di masyarakat. Pola pikir yang menempatkan perempuan di posisi lemah membuat kasus kekerasan butuh waktu lama terungkap.
”Kasus kekerasan terhadap anak terjadi karena tidak adanya ruang aman untuk anak. Hal ini disebabkan banyak faktor, mulai dari kemiskinan, pendidikan, budaya patriarki, dan lain sebagainya,” ucapnya.
Yustina menyebut, banyak kasus kekerasan seksual terhadap anak yang tidak tertangani maksimal, mulai dari proses pelaporan hingga persidangan. Anak juga kerap menjadi korban berulang akibat stigma yang beredar di masyarakat.
Oleh sebab itu, menurut Yustina, aparat kepolisian harus memberikan hukuman maksimal terhadap para pelaku tindak kejahatan seksual terhadap anak. Tidak hanya itu, pencegahan dari semua pihak juga harus dilakukan dengan penyadaran atau pemberian pemahaman secara berkesinambungan. Hal itu untuk melindungi para perempuan, khususnya anak, yang begitu sering menjadi korban kekerasan seksual.