Bulan Puasa, Saatnya Membangun Hubungan Suami Istri yang Setara
Memanen pahala saat Ramadhan bisa dilakukan dengan kerja sama suami istri dalam berbagai urusan domestik.
Bulan Ramadhan menjadi momentum untuk memanen pahala, tidak terkecuali dalam relasi suami istri. Ikatan harmonis pun bisa terjalin melalui buka puasa, sahur bersama, hingga hubungan suami istri yang berbasis kesetaraan serta saling memahami antara dua pihak.
Alifatul Arifiati (40), ibu dua anak di Cirebon, Jawa Barat, cukup sibuk pada Jumat (15/3/2024). Sejak pagi, perempuan aktivis ini sudah menghadiri rapat panitia khusus penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten Layak Anak di Kantor DPRD setempat.
Di tengah aktivitas itu, Abdulloh, suaminya, turut mendukung. Tidak hanya menjaga anak-anak, tetapi juga mengerjakan peran domestik, termasuk dalam menyiapkan buka puasa.
”Kalau buka, makan beratnya, lauk pauk, aku yang nyiapin. Tapi, kalau kolak, seringnya suami,” ucapnya.
Alif, sapaannya, memilih membuat hidangan utama karena memang lebih suka masak. ”Tapi, kalau sahur, lebih banyak (peran) suami karena saya makannya buah. Jadi, suami menyiapkan sahurnya sendiri sama Kupi (anak pertama) yang sudah latihan puasa tahun ini,” ungkapnya.
Baca juga: Menanti Keajaiban Ekonomi di Balik Tradisi Ramadhan
Kerja sama dalam urusan domestik antara Alif dan suaminya, yang bekerja sebagai pengajar di pesantren, itu tidak hanya berlangsung saat bulan Ramadhan. Di hari biasanya, misalnya, Alif lebih banyak bersentuhan dengan masak-memasak, sedangkan suaminya mengurus kebersihan.
”Kita itu pembagian perannya berdasarkan kesukaan masing-masing. Saya hobinya masak. Kalau nyuci baju, bersih-bersih rumah, itu suami. Kalau aku, enggak begitu care soal kebersihan. Ha-ha-ha,” ujarnya. Meski demikian, kesepakatan itu fleksibel sesuai kebutuhan keduanya.
Kesepahaman berbagi kerja domestik itu, lanjut Alif, sudah berlangsung sebelum keduanya menikah. Komitmen itu tetap dipegang hingga kini, termasuk saat bulan puasa. ”Makna Ramadhan menurut aku, ya, saling bahu membahu, kerja sama untuk beribadah,” ucapnya.
Berhubungan intim di siang hari itu salah dan membatalkan (puasa). Maka, laki-laki tidak punya hak sama sekali meminta (hubungan intim) atas nama perintah (suami). Sebaliknya, perempuan punya hak bahkan wajib untuk mengingatkan dan menolak.
Berbagi
Faqihuddin Abdul Kodir, anggota Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia, mengatakan, bulan Ramadhan menjadi momentum memanen pahala, termasuk dalam keluarga. Suami istri yang saling bantu seperti dicontohkan Alif merupakan salah satu wujud kebaikan itu.
”Pada dasarnya, manusia itu, laki-laki dan perempuan, adalah hamba Allah SWT dan khalifah atau penerima mandat untuk melakukan kebaikan di bumi ini. Maka, satu sama lain jangan memandang lebih penting, lebih hebat. Semua punya peran melakukan kebaikan itu,” ujarnya.
Prinsip ini juga berlaku dalam konteks suami istri di bulan Ramadhan. Faqih, sapaannya, mencontohkan, jika menyiapkan buka puasa atau sahur itu baik, suami dan istri harusnya saling mendahului untuk membuatnya bersama sesuai kondisi serta kemampuannya.
Misalnya, jika seorang suami bekerja seharian, sebaiknya istri yang menyiapkan buka puasa. Begitu pun sebaliknya, suami membuat hidangan bila istrinya sakit atau sibuk.
”Intinya, ini harus dirasakan sebagai tanggung jawab bersama dan pahalanya diperoleh bersama,” ujarnya.
”Mubādalah”
Konsep inilah, menurut Faqih, disebut mubādalah atau relasi antara dua pihak yang berbasis kesetaraan, kesalingan, dan kerja sama. Nasihat agar perempuan menjadi istri saliha bagi suami, misalnya, tidak berperspektif mubādalah jika tidak dibarengi suami yang saleh terhadap istri.
Artinya, menurut Faqih, suami dan istri punya potensi untuk berbuat baik sekaligus mencegah keburukan, tidak dibebankan pada satu pihak saja. Dalam konteks menghindari keburukan di Ramadhan, contohnya, kedua pihak seharusnya tidak berhubungan intim saat menjalani puasa.
”Berhubungan intim di siang hari itu salah dan membatalkan (puasa). Maka, laki-laki tidak punya hak sama sekali meminta (hubungan intim) atas nama perintah (suami). Sebaliknya, perempuan punya hak bahkan wajib untuk mengingatkan dan menolak,” ungkap Faqih.
Apalagi, berhubungan badan di siang hari di bulan Ramadhan tidak hanya membatalkan puasa, tetapi juga harus membayar kafarat atau denda. Denda itu berupa memerdekakan hamba sahaya perempuan yang beriman. Jika tidak mampu, berpuasa selama dua bulan berturut-turut.
Apabila tidak sanggup juga, yang bersangkutan harus memberi makanan kepada 60 orang miskin, masing-masing sebanyak kurang lebih sepertiga liter makanan. Pendapat ini berdasarkan Hadis Riwayat Bukhari yang dikutip melalui laman Kemenag.go.id.
Oleh karena itu, menurut Faqih, kedua pihak seharusnya mengondisikan waktu khusus jika ingin berhubungan intim. Misalnya, setelah buka puasa dan sebelum Tarawih atau sebelum Imsak. Namun, patut diperhatikan, seseorang yang telah bersenggama wajib mandi junub.
”Waktu yang baik adalah saat (pemilik) hubungan itu merasa nyaman dan baik. Karena di situlah pahala itu. Begitu memaksa, pahalanya bisa hilang. Bahkan, bisa jadi dosa. Karena itu, kedua belah pihak harus memahami,” ucap Faqih, penulis buku Perempuan (Bukan) Sumber Fitnah ini.
Faqih mencontohkan, jika suami ingin berhubungan di jam tertentu, seharusnya istri tidak dibebankan berbagai pekerjaan saat Maghrib. Aktivitas memasak, menjaga anak, hingga membersihkan rumah bisa membuat istri capek. Suami sebaiknya turut membantu.
Begitu pun sebaliknya, istri juga perlu memahami jika suami masih memiliki banyak pekerjaan. ”Intinya, kalau kita pengin dilayani, kita harus paham bagaimana orang itu bisa melayani dengan sepenuh hati,” ungkap dosen Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon ini.
Saling memahami
Di bulan puasa ini, Faqih mengajak setiap suami istri untuk membangun hubungan yang setara dan harmonis. Ramadhan, katanya, seyogianya membuat umat lebih banyak melihat ke dalam diri. Saat itulah, refleksi suami istri perlu dikuatkan melalui buka puasa atau sahur bersama.
”Tuhan itu meminta kita menahan diri dari nafsu, bahkan yang halal seperti makan di siang hari. Dalam konteks relasi, kita dilatih untuk menahan diri dari nafsu untuk menguasai, menyalahkan, dan lainnya,” ungkap Mudir Ma’had Aly Pondok Pesantren Kebon Jambu di Cirebon ini.
”Ramadhan kali ini kembali menjadi wadah membina relasi suami istri yang harmonis serta mewujudkan makna rumahku surgaku. ”Jika mampu melewati ini dengan menahan nafsu, 11 bulan ke depan akan terasa lebih mudah untuk dijalani,” ungkapnya.
Baca juga: Potret Ramadhan dalam Keluarga Beda Agama