Kemunduran Demokrasi, UII Ajak Masyarakat Bersikap Kristis
UII menyerukan agar masyarakat sipil berani mengkritisi pemerintah.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Demokrasi di Indonesia saat ini dinilai mengalami kemunduran, bahkan diambang kematian. Dalam aksi seruan moral yang digelar pada Kamis (14/3/2024), Universitas Islam Indonesia atau UII melihat ada masalah besar yang membelit pemerintahan dan negara saat ini.
Rektor UII Fathul Wahid menuturkan, penyampaian pesan dalam aksi ini diharapkan menjadi pemantik bagi pemerintah untuk menyelesaikan masalah serta mengubah kebijakan ke arah yang lebih baik.
”Kami berharap ini sekaligus bisa menjadi pemantik bagi pemerintah untuk mengubah kebijakannya agar benar-benar kembali pada etika, kembali pada konstitusi, dan kembali menempatkan kekuatan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi,” katanya dalam penyampaian sikap UII bertema ”Kematian Demokrasi Indonesia”, di Auditorium KH Abdul Kahar Muzakkir, di Kampus Terpadu UII, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dalam seruan itu, publik diajak berani mengkritisi semua program yang tidak masuk akal dan tidak pro kesejahteraan rakyat. Selain itu, publik diajak untuk berani menolak program atau kebijakan yang pro oligarki.
”Dengan keberanian inilah, kami berharap rakyat akan kembali dimuliakan dan suara rakyat akan lebih didengarkan,” ujarnya.
Secara khusus, UII juga menyerukan kepada para tokoh kritis nasional untuk bersatu menjadi kekuatan oposisi permanen melawan rezim politik dinasti saat ini.
Ada tujuh seruan yang disampaikan UII dalam penyampaian sikap tersebut. Ini antara lain, UII mengajak seluruh penyelenggara negara untuk menjunjung tinggi etika berbangsa dan bernegara serta mengingatkan pejabat negara untuk menjalankan tugasnya mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, dan makmur. Seruan juga ditujukan kepada parpol agar menjaga independensinya sehingga berdaya dalam menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.
Parpol yang kalah dalam Pilpres 2024 didorong agar benar-benar bisa menjadi oposisi penyeimbang yang teguh pada etika berbangsa dan bernegara. Selain itu, seluruh elemen masyarakat diharapkan kembali sadar dengan memboikot parpol yang menjelma menjadi penghamba kekuasaan dan uang serta terang-terangan mengkhianati tugas utamanya sebagai pelaksana kedaulatan rakyat.
UII juga meminta lembaga-lembaga seperti KPU, Bawaslu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dan Ombudsman agar mengusut tuntas semua kecurangan pemilu. Ini, di antaranya, dugaan kecurangan yang dilakukan Presiden Joko Widodo pada masa sebelum, saat, dan setelah penyelenggaraan pemilu.
Jasad negara hukum entah di mana bisa ditemukan lagi. Jasad negara hukum sudah dimutilasi dan dibuang entah ke mana.
Dalam kesempatan itu, Dr Abdul Jamil SH MH, perwakilan dosen dari Jurusan Hukum UII, bahkan menyerukan ajakan untuk melengserkan Presiden Jokowi.
”Mari kita turunkan Presiden Jokowi karena dia sudah melanggar kewenangannya selaku kepala negara, karena dia sudah melanggar amanat, mandat yang sudah kita berikan kepadanya sebagai pemimpin negara,” ujarnya.
Dalam acara tersebut, ada tujuh tokoh yang menyampaikan orasi, di antaranya perwakilan dari kalangan alumni UII. Sesuai dengan temanya, semua tokoh itu menyebutkan demokrasi Indonesia telah mati.
Kematian demokrasi disimbolkan dengan sebuah peti mati yang diletakkan di mimbar. Peti tersebut ditutupi dengan kain hitam bertuliskan demokrasi. Di akhir acara, semua yang hadir pun turut menegaskan arti kematian tersebut dengan menaburkan bunga ke atas peti jenazah.
Guru Besar Fakultas Hukum UII Prof Dr Ridwan SH Mhum mengatakan, semestinya ada dua peti jenazah, karena ada dua hal yang penting yang mati, yaitu demokrasi dan negara hukum. Ibarat manusia, jenazah negara hukum ini bahkan sudah tak bisa ditemukan lagi.
”Jasad negara hukum entah di mana bisa ditemukan lagi. Jasad negara hukum sudah dimutilasi dan dibuang entah ke mana,” ujarnya.
Wakil Dekan Bidang Sumber Daya, Fakultas Hukum UII, Dr Sri Hastuti Puspitasari SH MH, menuturkan, kematian demokrasi terjadi karena ”pembunuhan terencana” yang sudah dilakukan terstruktur dan sistematis. Presiden Jokowi terindikasi melakukan intervensi dalam sistem peradilan Mahkamah Konstitusi, hingga terakhir, melakukan upaya pembunuhan demokrasi lewat penyaluran bantuan sosial (bansos) yang dilakukan secara masif menjelang pemilu.