Pengembangan Teknologi Digital untuk Mendongkrak Produksi Budidaya Perikanan Maluku
Sektor budidaya perikanan di Maluku mulai menggeliat. Penggunaan teknologi perlu untuk mendorong sektor tersebut.
Oleh
RAYNARD KRISTIAN BONANIO PARDEDE
·2 menit baca
AMBON, KOMPAS – Teknologi digitalisasi di sektor perikanan budidaya dapat mengefektifkan pola produksi mulai dari hulu hingga hilir. Dengan bantuan teknologi digitalisasi, budidaya perikanan Maluku berpotensi tumbuh.
Kepala Balai Perikanan Budidaya Laut (BPBL) Ambon Sarwono menjelaskan, potensi budidaya perikanan masih terbuka lebar. Total potensi lahan budidaya air tawar di Ambon mencapai 17 hektar. Akan tetapi, yang dimanfaatkan masih kurang dari 10 persennya. Mayoritas masyarakat yang bekerja di sektor perikanan masih memilih bidang perikanan tangkap.
Sarwono menyebut, perkembangan teknologi digital memudahkan budidaya perikanan. Teknologi membantu digitalisasi rantai produksi, mulai dari pemilihan lokasi budidaya menggunakan satelit, penghitung tebaran benih, efisiensi rantai nilai, dan pemberian pangan otomatis.
Optimalisasi produksi tersebut penting agar ada keseragaman ukuran ikan. Hal ini membantu produk budidaya masuk pasar. Sebelumnya, pemasaran produk budidaya perikanan kerap terhambat karena permasalahan ketidakseragaman ukuran dan berat ikan.
”Kerja sama dengan pihak swasta pengembang teknologi budidaya perlu ditingkatkan, sementara BPBL fokus mengembangkan benihnya. Rantai produksi yang efisien membuat harga ikan juga bisa lebih optimal sehingga menguntungkan konsumen dan produsen,” kata Sarwono di Ambon, Maluku, Selasa (12/3/2024).
Masalah perubahan iklim kini menjadi tantangan utama budidaya. Cuaca panas yang mengakibatkan kenaikan suhu air laut membuat produksi budidaya tertekan, khususnya rumput laut. Untuk itu, BPBL Ambon terus mengembangkan benih yang lebih tahan akan perubahan iklim.
Sarwono menambahkan, kehadiran produk perikanan budidaya, baik air tawar maupun air laut, juga dapat membantu menekan inflasi di wilayah ini. Saat musim angin kencang, harga ikan di provinsi ini biasanya melambung tinggi karena terbatasnya aktivitas nelayan melaut. Hasil dari perikanan budidaya bisa menjadi strategi memastikan pasokan ikan tetap stabil.
”Perubahan iklim sulit dihindari, musim panas semakin panjang, badai dan angin kencang juga mengganggu. Di sini, produk budidaya bisa masuk menggantikan perikanan tangkap,” ujarnya.
Teknologi terkini
Vice President Public Affairs eFishery Muhammad Chairil menjelaskan, teknologi di bidang budidaya yang dimiliki perusahaannya mencoba menjawab permasalahan-permasalahan tersebut. Di sektor budidaya, pemberian pangan berlebih (overfeeding) membuat adanya ketidakseragaman ukuran ikan. Selain itu, khusus di budidaya di wilayah danau, overfeeding berpotensi mengotori ekosistem karena banyaknya pakan yang tidak larut di air.
Dengan digitalisasi pemberian pangan, hal tersebut diharapkan bisa diselesaikan. Teknologi tersebut memungkinkan pangan diberikan secara efisien dengan mempertimbangkan seluruh aspek mulai dari luas area budidaya, suhu air, dan jumlah benih yang ditebar. Semua proses tersebut dilakukan secara otomatis, dan dapat dipantau lewat gawai milik pembudidaya.
Digitalisasi juga membantu pembudidaya untuk memilih lokasi dan musim yang tepat untuk memulai budidaya, dengan bantuan satelit. Praktik ini diharapkan bisa membantu pembudidaya untuk menghindari cuaca buruk saat budidaya. ”Pembudidaya di Ambon belum ada yang menggunakan teknologi ini. Kami berharap digitalisasi ini bisa masuk dan membantu nantinya,” ujarnya.
Selain di budidaya, digitalisasi juga dilakukan di sektor perikanan tangkap. Head of Corporate Affairs Aruna, Elkana Lewerissa menjelaskan, sektor ini juga membutuhkan teknologi khususnya di bidang operasional, khususnya area tangkapan. Nelayan kerap kali tidak mengetahui informasi mengenai wilayah tangkapan yang dilarang akibat eksploitasi perikanan (overfishing) sehingga mengancam keberlanjutan ekosistem laut.
Apalagi, kini pemerintah berencana untuk menambah wilayah konservasi laut, serta memberlakukan kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) berbasis kuota. Khusus untuk PIT, pemerintah seharusnya menerapkan program tersebut pada tahun ini, tetapi diundur hingga 2025. Selain membantu untuk memilih area tangkapan, nelayan juga dibantu untuk memasarkan produk secara tepat ke konsumen.
”Agar hasil perikanan bisa menembus ekspor itu dibutuhkan sertifikasi dan ketelusuran yang baik, mulai dari alat pancing, perahu, hingga kawasan penangkapan yang diperbolehkan. Teknologi membantu ketelusuran produk ini agar diserap pasar,” ujarnya.