Budidaya Ikan Kembali Memeluk Teluk Ambon
Potensi budidaya perikanan di Teluk Ambon, Kota Ambon, terus dilirik karena potensi ekonominya terus tumbuh.
Setiap tahunnya, bulan Februari hingga Maret menjadi waktu yang tidak disukai warga Ambon dan masyarakat Maluku pada umumnya. Tanpa membaca perhitungan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, warga meyakini gelombang tinggi dan embusan angin kencang selalu mengganggu aktivitas mereka yang bekerja di perairan. Bagi para pembudidaya ikan di perairan Teluk Ambon, perasaan waswas menghantui karena ombak sering menghantam keramba kayu, ikan yang hendak di panen sering kabur.
Banyak dari mereka memutuskan berhenti. Namun, sejak bantuan pemerintah datang, potensi sektor budidaya kembali dilirik. Ditambah, sektor perikanan tangkap menurun. Permintaan ikan budidaya juga mulai tumbuh. Daerah yang dahulu sepi kini mulai ramai. Pembudidaya berangsur kembali ke Teluk Ambon, tempat mereka mengubah nasib.
Anang Divinubun (42), pembudidaya ikan di Teluk Ambon menceritakan, meski tumbuh, perlu nyali besar untuk kembali melakukannya. Ketua Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan) Baronang ini sempat ”mogok makan” karena stres memikirkan ratusan ikan yang dibudidayanya lepas seusai keramba kayunya dihantam ombak tahun 2017.
“Dari 700-an ekor ikan yang mau dipanen hanya sisa 10 ekor, seng bisa tidur (tidak bisa tidur) kalau ingat kejadian itu,” ucapnya saat ditemui di kerambanya, Senin (29/1/2024).
Baca juga: Lima Bulan, Ekspor Perikanan Budidaya di Maluku Capai Rp 328,5 Miliar
Kala itu, Anang baru saja kembali ke dunia budidaya setelah sempat berhenti tahun 2015. Karena kerap merugi, ia berganti pekerjaan menjadi penjaga kapal asing yang ditambatkan di Teluk Ambon imbas kebijakan pelarangan di era Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Namun, pekerjaan ini hanya bertahan sesaat. Diakhirinya moratorium kapal asing memaksa Anang kembali.
Awalnya, Anang masih menggunakan keramba berbahan dasar kayu dengan ukuran 2 meter x 3 meter. Rasa waswas selalu muncul. “Hari-hari jelang Imlek itu jadi penanda kita akan ada gelombang dan angin kencang,” ujarnya.
Takdir baik mendatangi Anang saat Dinas Kelautan Perikanan Provinsi Maluku (DKP) memberikan bantuan keramba high density polyethylene (HDPe), pada tahun 2021. Keramba berbahan dasar plastik dengan daya tahan kuat bisa digunakan hingga 20-25 tahun. Semangatnya kembali tumbuh. Bisnis budidaya ikan yang tumbuh membuat Anang kini mampu mendirikan restoran apung pada awal 2024 ini. Keberaniannya untuk kembali mengadu nasib di Teluk Ambon membuahkan hasil.
“Sekarang bisa tidur dengan tenang. Restoran hampir selalu penuh setiap hari,” ujarnya.
Budaya baru
Selain Anang, Jusuf Tanamal (41) memutuskan kembali menekuni budidaya ikan di Teluk Ambon. Jenis ikan seperti bubara (Caranx ignobilis), baronang (Siganus sp), kakap putih (Lates calcarifer), bahkan lobster (Nephropidae) dipelihara untuk nantinya dijual, atau diolah menjadi makanan di restoran miliknya.
Sebelumnya, Jusuf bekerja sebagai sopir di kampus Universitas Pattimura, Ambon. Meski bekerja di darat, ia tidak pernah melupakan laut. Sehabis kerja, ia pergi ke belakang rumahnya untuk memancing. Sebagian tangkapan dikonsumsi, sebagiannya dipelihara di keramba sederhana berbahan gabus. Penghasilan sebagai tenaga honorer yang rendah mendorongnya untuk berhenti.
Minat untuk budidaya di Teluk Ambon terus tumbuh, sebelum tahun 2018, hanya 1-3 kelompok, sekarang sudah tumbuh hingga 60 kelompok.
Tahun 2017, Jusuf membangun keramba kayu untuk memulai bisnis budidaya ikan. Keputusannya sempat ditentang keluarga karena risiko dan modal besar yang dikeluarkan bisa mengancam ekonominya bila bisnis gagal.
Ketekunan yang dipegang Jusuf pun terdengar di kuping DKP Provinsi Maluku yang saat itu sedang mendorong budidaya ikan di Maluku. Bantuan keramba HDPe pun ia dapatkan. Lega dan puas karena tidak perlu lagi khawatir merugi karena ombak-ombak Februari. Sekarang, Jusuf memiliki 16 keramba, 14 keramba HDPe dan sisanya keramba kayu.
“Sudah ada 11 keramba kayu saya yang hancur, Puji Tuhan, keputusan untuk kembali menekuni budidaya tepat. Pendapatan dibandingkan menjadi sopir dahulu jauh lebih besar, untuk makan esok hari tidak khawatir lagi,” ujarnya.
Menurut dia, hanya sedikit orang Maluku, khususnya di Kota Ambon, yang ingin terjun ke sektor ini. Hal ini dikarenakan kebiasaan nelayan yang menggantungkan diri di sektor perikanan tangkap. Lidah orang Maluku pun dinilai tidak sesuai untuk mengonsumsi ikan budidaya. Anggapan ini mulai terpatahkan, sejak masyarakat mulai ramai mengunjungi restoran milik Jusuf, yang berada di bibir pantai, sekitar 10 meter dari keramba apung.
Hampir setiap hari, bisnisnya selalu ramai, khususnya saat jam makan siang. Jusuf meyakini rasa ikan budidaya sama lezatnya dengan ikan hasil tangkapan karena pakan yang digunakan adalah ikan juga. Ia anti menggunakan pelet karena akan mengubah rasa. Setiap hari, ia membeli pakan hingga 50-60 kilogram ikan-ikan berukuran kecil.
“Untuk memenuhi permintaan lokal dari Kota Ambon saja, 16 keramba masih kurang. Harapannya bisa ada keramba baru lagi agar budidaya terus tumbuh,” ujar Ketua Pokdakan Lalose ini.
Kondisi teluk
Praktik pembuangan sampah dan limbah industri sembarangan membuat ikan-ikan yang biasa berada di pesisir ataupun wilayah teluk pergi ke tengah lautan. Peneliti Pusat Riset Laut Dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional, Yosmina Tapilatu, membandingkan kondisi perikanan di Teluk Ambon sebelum dan sesudah kerusuhan di ibu kota Provinsi Maluku tersebut.
Sebelum kerusuhan terjadi pada sekitar awal 2000-an, ikan-ikan pelagis besar sudah sulit ditemukan di kawasan tersebut. Namun pada saat terjadi gangguan keamanan selama lebih kurang empat tahun, yakni pada tahun 2000 hingga 2004, ikan-ikan tersebut perlahan kembali ke kawasan Teluk Ambon.
Hal ini dikarenakan adanya migrasi besar-besaran penduduk keluar dari Kota Ambon sehingga mengurangi tekanan aktivitas manusia di pesisir, sehingga ikan-ikan kembali ke Teluk Ambon. Perikanan tangkap pun lesu. Namun kini, ikan-ikan kembali “hilang” karena aktivitas manusia atau sering disebut tekanan antropogenik.
Baca juga: Sedimentasi Terus Melaju, Teluk Ambon Kian Merana
Yosmina sekaligus mengkritik pembangunan pemukiman di lereng bukit-bukit di Kota Ambon. Akibat alih fungsi lahan dari hutan menjadi perumahan, setiap kali hujan, air yang turun dari atas menuju kawasan teluk, bercampur dengan lumpur. Sedimentasi di perairan Teluk Ambon pun sulit dihindari, sehingga mengancam organisme laut di sana.
“Ikan mencari tempat memijah yang tidak terganggu aktivitas manusia, sehingga daerah yang tekanan antropogeniknya rendah mempengaruhi kesuburan perairan. Kalau ekosistemnya rusak di pesisir, ikan migrasi ke tempat yang lebih jauh,” ujarnya.
Mulai tumbuh
Budidaya ikan dinilai menjanjikan karena potensi nilai ekonominya. Kepala Bidang Perikanan Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran Hasil Perikanan, DKP Provinsi Maluku Karolis Iwamony menjelaskan, nilai tukar pembudidaya ikan (NTPi) relatif meningkat, meski sempat menurun di era pandemi Covid-19.
Modal untuk budidaya besar, jadi pemerintah yang harus memulai.
Pada tahun 2019, NTPi di Maluku berada di angka 108,2, lalu turun di tahun 2020 menjadi 90,14. Di tahun 2021, NTPi kembali naik ke angka 97,63, naik lagi pada 2022 ke angka 108,19. Pada awal tahun 2023, NTPi tercatat sebesar 116, tetapi pada akhir tahun turun ke 105. Penurunan ini terjadi karena adanya tekanan di sektor budidaya rumput laut.
“Bila didetailkan datanya, budidaya komoditas lain yang turun, untuk ikan masih tumbuh,” ujarnya.
Karolis menerangkan, awalnya, program akselerasi budidaya perikanan di wilayah Maluku sulit dilakukan karena terbatasnya anggaran. Selama ini, Provinsi Maluku dinilai belum menaruh minat sektor budidaya, dan menaruh fokus besar ke sektor perikanan tangkap. Namun, sektor perikanan tangkap yang mulai terganggu, salah satunya akibat iklim, membuka peluang bagi budidaya.
Anggaran untuk menciptakan sektor budidaya yang tangguh memang besar. Ia mencontohkan, pembelian satu unit keramba HDPe bisa menghabiskan anggaran hingga Rp 200 juta. Untuk itu, pemerintah harus berani memulai. Sebelum tahun 2018, jumlah Pokdakan di Teluk Ambon, hanya 1-3 kelompok saja yang konsisten. Banyak yang berhenti karena lebih sering merugi.
Namun kini, jumlah Pokdakan melesat ke angka 60 kelompok. Jumlah ini belum termasuk pembudidaya skala industri yang juga mulai mencari peluang. Dalam satu kelompok terdapat 10-15 orang pembudidaya. Agar terus tumbuh, DKP Provinsi Maluku pun kini menetapkan mayoritas peruntukan ruang laut Teluk Ambon dengan luas hingga 150 kilometer persegi ini, sebagai kawasan budidaya perikanan.
Baca juga: Paus Tak Lagi Bermain di Teluk Ambon
Kepingan cerita Jusuf dan Anang bisa menjadi acuan kebijakan pemberdayaan masyarakat. Apalagi, menurut data Badan Pusat Statistik, tingkat kemiskinan di Kota Ambon naik dari 4,8 persen tahun 2022, menjadi 5,25 pada tahun 2023. Kembali melihat potensi Teluk Ambon bisa menjadi langkah awal pengentasan rakyat dari kemiskinan di masyarakat pesisir.
“Bahkan dari angka tersebut, ada yang mulai membudidaya tanpa ada intervensi dari pemerintah. Ini tandanya minat terus tumbuh. Teluk Ambon ini punya potensi besar. Tahun 2024, kami akan akselerasi budidaya di 5 kabupaten kota lain di Maluku,” ujarnya.