Banjir Palangkaraya Memburuk, Ratusan Warga Mengungsi
Banjir di Kota Palangkaraya kian buruk. Sebagian masyarakat pun mengungsi ke posko yang sudah disiapkan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Pengungsi banjir di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, terus bertambah. Sudah 109 warga mengungsi karena rumah mereka terendam banjir sejak tiga hari lalu.
Pemerintah Kota Palangkaraya membuka posko terpadu bagi pengungsi banjir di SD Negeri 1 Langkai. Dari pantauan Kompas, Selasa (12/3/2024), pemerintah juga membangun tenda untuk dapur umum dan pusat data banjir Kota Palangkaraya.
Selain dapur umum dan pusat data, pemerintah juga menyediakan tempat layanan kesehatan. Beberapa petugas kesehatan berjaga di posko tersebut sejak pagi. Ratusan pengungsi memenuhi setidaknya dua ruangan di sekolah tersebut.
Hero (64), warga Flamboyan, Kelurahan Langkai, Kecamatan Pahandut, Kota Palangkaraya, adalah salah satu yang mengungsi. Selama dua tahun terakhir, ia mengungsi di tempat yang sama karena banjir datang setiap tahun.
Hero yang sudah 20 tahun tinggal di kelurahan itu menilai banjir kini semakin parah. ”Awal kali tinggal di sana itu ada banjir, tapi enggak sampai naik ke lantai rumah, paling tergenang aja. Kalau sekarang ini, banjir makin tinggi,” ujarnya.
Hero terpaksa mengungsi karena ketinggian air mencapai 60 sentimeter di rumahnya dan ia menduga hal itu akan terus meningkat. Di Posko, Hero merasa jauh lebih aman karena ada petugas kesehatan yang siap membantunya jika hipertensinya kambuh.
Hal serupa dirasakan Maria (55). Ia bahkan sudah tiga tahun berturut-turut mengungsi di tempat yang sama, tempat yang disediakan pemerintah. ”Kalau dulu, banjir juga sering, tapi cepat surutnya. Kalau sekarang ini, sejak 2021, banjir makin buruk,” katanya.
Dalam setahun, lanjutnya, banjir bisa dua kali melanda di wilayah tempat tinggalnya. ”Masuk bulan 11 itu banjir, sekarang banjir lagi,” ucapnya.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Palangkaraya, dari total lima kecamatan, empat kecamatan di ibu kota Provinsi Kalteng terendam banjir. Total terdapat 5.773 orang terdampak banjir, 512 keluarga mengungsi. Di SDN I Langkai, total pengungsi mencapai 109 orang. Sehari sebelumnya, Senin (11/3/2024), hanya 94 orang yang mengungsi.
Asisten Daerah I Kota Palangkaraya Sahdin Hasan, sebelumnya, menjelaskan, pemerintah sudah menetapkan status tanggap darurat banjir sejak Senin (11/3/2024). Status tersebut berlaku selama 10 hari ke depan. ”Statusnya tanggap darurat banjir, kami sesuaikan dengan prediksi BMKG,” ucapnya.
Banjir tak hanya terjadi di Kota Palangkaraya. Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran (BPBPK) Provinsi Kalteng, selain di Kota Palangkaraya, banjir juga melanda di Kabupaten Barito Selatan, Pulang Pisau, Murung Raya, dan Kabupaten Gunung Mas.
Kepala Pelaksana BPBPK Provinsi Kalteng Ahmad Toyib menambahkan, total dari lima kabupaten yang terdampak banjir, terdapat 8 kecamatan dengan total 30 desa dan kelurahan terendam banjir. Setidaknya 5.968 keluarga dengan total 18.760 orang terdampak banjir.
Awal kali tinggal di sana itu ada banjir, tapi enggak sampai naik ke lantai rumah, paling tergenang aja. Kalau sekarang ini, banjir makin tinggi.
Di Kabupaten Pulang Pisau, lanjut Toyib, tercatat setidaknya 19 keluarga mengungsi, dengan total 73 orang. Mereka yang mengungsi menggunakan posko dan fasilitas negara yang disiapkan petugas.
”Yang mengungsi juga ada di Pulang Pisau, di Kecamatan Sebangau Kuala tepatnya di lima desa, petugas terus melakukan pemantauan ke sana juga,” ujarnya.
Toyib menjelaskan, banyak faktor yang memengaruhi banjir di Kalimantan Tengah. Hampir setiap daerah memiliki faktor yang berbeda. Di Palangkaraya, katanya, banjir secara kasatmata bisa disebut banjir kiriman dari wilayah hulu.
Di wilayah hulu, lanjut Toyib, luapan sungai terjadi lantaran intensitas hujan yang tinggi. ”Kalau banjir di hulu disertai hujan ringan atau sedang, pasti sampai ke Palangkaraya,” ujarnya.
Intensitas hujan juga dinilai bukan satu-satunya faktor penyebab banjir. Direktur Save Our Borneo (SOB) Muhammad Habibi menjelaskan, intensitas hujan bisa saja tak berubah sejak puluhan tahun lalu. Perubahan justru terjadi pada daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Habibi menilai, intensitas hujan bukan faktor tunggal penyebab banjir, termasuk juga menurunnya daya dukung dan daya tampung hujan oleh lingkungan. Penurunan itu disebabkan oleh deforestasi yang terjadi karena alih fungsi lahan ke perkebunan dan pertambangan.
”Tidak ada cara lain selain memulihkan lingkungan yang rusak dan menjaga hutan yang tersisa,” ujar Habibi.