Nasib Pilu Tukang Perahu di Kalsel, Negeri ”Seribu Sungai”
Tukang perahu di Desa Pulau Sewangi, Kalimantan Selatan, mengalami kesulitan menjaga nasib dan budaya mereka.
Tukang perahu di daerah ”Seribu Sungai” Kalimantan Selatan rindu menikmati masa-masa indah. Para perajin di sentra pembuatan perahu tradisional Desa Pulau Sewangi kini susah payah mempertahankan nasib dan budaya yang sudah lama ada. Transportasi sungai kian surut seiring terbukanya akses jalan dan infrastruktur lainnya.
Zarkasi (56), perajin perahu di Pulau Sewangi, merekatkan papan sekeping demi sekeping untuk membentuk badan atau lambung perahu. Papan itu direkatkan dengan pasak kayu setelah di sela-selanya diberi cat minyak dan lumuh, sejenis dempul dari pohon enau.
”Bikin jukung (perahu) sebesar ini biasanya 20 hari. Ini sudah dikerjakan lebih dari 10 hari,” kata Zarkasi saat ditemui di galangan depan rumahnya di Pulau Sewangi, Kecamatan Alalak, Kabupaten Barito Kuala, Sabtu (9/3/2024).
Di Sewangi, perajin kerap dipanggil dengan sebutan tukang perahu. Pada tahun 2024 setidaknya masih terdapat 78 galangan perahu di Pulau Sewangi. Sebuah galangan bisa mempekerjakan 3-5 tukang atau perajin jukung.
Zarkasi bertukang sendirian menyelesaikan pembuatan perahu sepanjang 9,5 meter. Perahu itu bakal dijualnya Rp 12 juta.
”Kalau payu (laku), untung bersihnya paling sekitar Rp 2 juta,” ungkap lelaki paruh baya yang memiliki lima anak dan dua cucu itu.
Zarkasi sudah lebih dari 30 tahun menjadi tukang perahu. Ia senior di Pulau Sewangi. Beberapa pemilik galangan perahu yang usianya lebih muda pernah berguru padanya.
”Sekarang ini kerja sendirian saja, sudah tidak mampu lagi mengupah tukang. Orang yang membeli jukung juga sudah jarang,” ujarnya.
Baca juga: Angkutan Sungai di Banjarmasin Kian Ditinggalkan
Sekitar 10 tahun lalu, peminat perahu masih cukup banyak. Mereka warga pesisir sungai di daerah Kota Banjarmasin, Kabupaten Banjar, Barito Kuala, hingga Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah.
Akan tetapi, kini tinggal warga Aluh Aluh (Banjar) dan Tabunganen (Barito Kuala) yang masih datang membeli perahu. Alasan utamanya, mereka tinggal di daerah muara Sungai Barito.
”Dulu, kalau sudah musim panen padi dan buah-buahan, banyak yang cari jukung ke sini. Sekarang sudah jarang karena banyak daerah sudah bisa dimasuki mobil pikap,” katanya.
Di masa lalu, Zarkasi bisa menjual 3-4 unit perahu per bulan. Kini, jumlahnya anjlok. Bila beruntung, satu perahu terjual setiap bulan.
”Dulu jukung belum selesai dibuat sudah banyak yang menawar. Sekarang, sudah selesai dibuat pun belum tentu ada yang menawar. Lakunya lama,” ujarnya.
Nasib serupa dialami Robby (41), tukang perahu lainnya. Pria lulusan SMP ini membuka galangan perahu sendiri sejak 2001. Sebelumnya, bapak dua anak ini bekerja di galangan milik orang lain.
”Usaha bikin jukung ini mulai sakit (susah) dari tahun 2016 sampai sekarang. Yang membeli semakin sedikit semenjak banyak jalan dan jembatan dibangun pemerintah,” katanya.
Dulu, menurut Robby, ia dibantu beberapa tukang bisa bikin 10 perahu dalam sebulan. Sekarang, paling banyak hanya bikin tiga perahu. Itu pun tipis untungnya.
”Supaya cepat laku, kadang satu jukung dijual Rp 4 juta. Padahal, modalnya Rp 3,6 juta. Jadi, bersihnya cuma Rp 400.000,” ujarnya.
Yanto (43), tukang perahu yang masih bekerja di galangan milik orang lain, juga merasa kian berat menjalani pekerjaan yang dilakukannya sejak 1995 itu. Dalam pembuatan perahu, ia diupah Rp 100.000 per hari. Jika pakai sistem borongan, upahnya mulai dari Rp 2 juta per perahu.
”Uyuh (capek) jadi tukang seperti ini. Upahnya tidak seberapa,” katanya.
Karena itu, Yanto pun tidak mengizinkan anak sulungnya laki-laki yang sudah lulus SMA menjadi tukang perahu. ”Cukup abahnya yang kerja seperti ini, anak cari pekerjaan lain saja kalau belum bisa kuliah,” ujarnya.
Turun-temurun
Dosen Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lambung Mangkurat, Arif Rahman Hakim dan kawan-kawan, dalam artikel berjudul ”Jukung Sewangi: Representasi Identitas Lokal Perahu Tradisional dari Kalimantan Selatan”, yang dimuat dalam Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan (2022), menyebutkan, salah satu teknologi transportasi yang berkembang dan banyak digunakan masyarakat di wilayah Kalsel adalah jukung atau perahu.
”Teknologi tradisional ini bisa dikatakan sarana transportasi sungai tertua di wilayah Kalsel, khususnya masyarakat Banjar. Dalam khazanah kebudayaan masyarakat Banjar, jukung lahir sebagai kearifan lokal masyarakat dalam menciptakan sarana yang berguna untuk menopang aktivitas keseharian mereka di daerah air,” tulisnya.
Sejak dulu, jukung pun menjadi sarana utama perdagangan di pasar terapung. Adapun pasar terapung diperkirakan muncul tahun 1530 atau pada masa Kesultanan Banjar dipimpin Sultan Suriansyah. Pasar itu semula terletak pada pertemuan Sungai Keramat dan Sungai Sigaling di Banjarmasin, lalu bergeser ke tepi Sungai Barito di daerah muara Sungai Kuin.
Baca juga: Nilai Tambah Limbah Kayu di Sentra Produksi Perahu Pulau Sewangi
Pasar terapung di Sungai Martapura, Desa Lok Baintan, muncul kemudian, yaitu ketika Keraton Banjar pindah ke kawasan Kayutangi Martapura awal abad ke-17. Pasar Terapung Lok Baintan masih bertahan sampai sekarang atau hingga abad ke-21. (Kompas, 16/8/2022).
Akan tetapi, bukan berarti laju perahu dan jukung tidak tergerus. Masyhuri Imron dan Sudiyono dalam artikel berjudul ”Surutnya Transportasi Sungai di Banjarmasin Kalimantan Selatan dan Permasalahannya” yang dimuat dalam Jurnal Masyarakat dan Budaya (2022) menyebutkan, masyarakat Banjarmasin pernah sangat bergantung pada sungai dengan menggunakan sarana transportasi utama perahu atau jukung sebelum infrastruktur jalan dibangun.
Namun, sejak akhir tahun 1960-an, seiring menyusutnya hasil hutan, transportasi sungai perlahan-lahan berkurang. Ditambah semakin pesatnya pertumbuhan kendaraan bermotor dan pembangunan jaringan jalan, sejak tahun 1970-an transportasi sungai mengalami penurunan. Saat ini hanya sebagian masyarakat pedalaman yang tetap menggunakan perahu sebagai sarana transportasi.
Angkutan logistik
Suriansyah, petugas Dinas Perhubungan Kota Banjarmasin di Dermaga Pasar Baru, mengatakan, angkutan sungai yang masih beroperasi sekarang ini lebih banyak digunakan untuk mengangkut barang. Sementara angkutan penumpang hanya ramai saat momen tertentu, misalnya saat Lebaran.
”Semua armada angkutan sungai yang masih beroperasi punya swasta. Pemerintah sudah tidak punya lagi armada angkutan sungai. Namun, pemerintah tetap menyediakan dermaga yang bagus untuk memfasilitasi angkutan sungai,” katanya.
Di Dermaga Pasar Baru dan Dermaga Pasar Lima, Banjarmasin, misalnya, kapal angkutan sungai bisa dihitung dengan jari. Di Dermaga Pasar Baru hanya dua kapal yang beroperasi reguler.
Satu kapal tujuan Tamban, Barito Kuala. Satunya lagi tujuan Tamban Catur, Kapuas, Kalteng. Sementara itu, di Dermaga Pasar Lima terdapat tiga kapal tujuan Tabunganen, Barito Kuala.
Hadirnya sistem transportasi sungai bisa menjadi salah satu solusi untuk kemudian memecah sistem transportasi darat yang ada di wilayah perkotaan yang semakin padat dari hari ke hari. (Akbar Rahman)
Menurut Sailan (60), juru mudi kapal trayek Pasar Lima-Tabunganen, perjalanan dari Banjarmasin ke Tabunganen biasanya ditempuh dalam waktu lebih kurang 2,5 jam. ”Tetapi, kalau kapal sarat muatan bisa 3 jam-an,” ujarnya.
Waktu perjalanan dengan kapal itu lebih lambat satu jam dibandingkan perjalanan dengan sepeda motor. Berdasarkan pengalaman Kompas membawa sepeda motor dengan naik feri menyeberangi Sungai Barito, perjalanan dari Banjarmasin ke Tabunganen bisa ditempuh dalam waktu 1,5 jam.
Itu dimungkinkan jika menunggu keberangkatan feri tak sampai 30 menit. Jika tidak mau naik feri dan lebih memilih memutar lewat Jembatan Barito, waktu tempuhnya sekitar 2 jam.
”Sekarang ini orang sudah jarang naik kapal dari Tabunganen ke Banjarmasin. Kebanyakan naik sepeda motor. Yang masih pakai kapal hanya orang-orang yang berdagang karena mereka sering membawa banyak barang,” kata Sailan.
Tersisihkan
Pengamat Tata Kota dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Akbar Rahman, mengatakan, pergeseran sistem transportasi dari sungai ke darat juga dipengaruhi perubahan tatanan perkotaan di Banjarmasin. Orientasi pembangunan kota dalam beberapa dekade terakhir lebih banyak ke darat dibandingkan ke sungai. Ini kemudian menyurutkan sistem transportasi sungai.
Seiring masifnya pembangunan di darat, masyarakat yang semula menggunakan transportasi sungai juga berpindah ke transportasi darat. Sistem transportasi darat kemudian dirasakan lebih cepat dan efisien waktu dibandingkan transportasi sungai yang memakan waktu lama dan agak susah aksesnya.
Akhir-akhir ini, menurut Akbar, memang mulai ada keprihatinan atau kepedulian dari pemerintah untuk mengembalikan sistem transportasi sungai di Banjarmasin, yang dikenal sebagai ”Kota Seribu Sungai”. Misalnya, dengan membangun beberapa selter air, termasuk satu selter yang terintegrasi dengan halte bus di Titik 0 Kilometer Banjarmasin.
”Memang saat ini ada upaya untuk mengembalikan. Namun, persoalannya semakin berat karena masyarakat sudah terbiasa dengan sistem transportasi darat,” ujar Ketua Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik ULM itu.
Akbar menuturkan, revitalisasi transportasi sungai sangat diperlukan karena karakter sungai adalah ciri khas Kota Banjarmasin yang memiliki banyak sungai. Di sisi lain, revitalisasi sungai juga menjadi bagian dari pembangunan global. Kondisi sungai harus dijaga dan diperhatikan bukan hanya untuk difungsikan sebagai sistem transportasi, tetapi juga untuk menjaga ekosistem sungai.
Revitalisasi sungai untuk sistem transportasi akan sangat dibutuhkan ke depan karena saat ini sistem transportasi darat di banyak kota di Indonesia mulai kompleks permasalahannya terkait dengan kemacetan atau kepadatan. Jumlah moda transportasi darat semakin hari semakin meningkat sehingga waktu yang dibutuhkan untuk menjangkau wilayah tertentu juga semakin lama.
”Maka, hadirnya sistem transportasi sungai bisa menjadi salah satu solusi untuk kemudian memecah sistem transportasi darat yang ada di wilayah perkotaan yang semakin padat dari hari ke hari,” katanya.
Mengembalikan transportasi sungai, menurut Akbar, tidak cukup hanya dengan membangun infrastruktur. Sebab, membangun infrastruktur lebih gampang dibandingkan mengubah kebiasaan masyarakat beralih dari transportasi darat ke sungai. ”Yang lebih sulit itu membangun kesadaran masyarakat untuk kembali ke sungai,” ujarnya.
Untuk itu, perlu sosialisasi terus-menerus kepada masyarakat tentang konektivitas sistem transportasi sungai yang dibangun pemerintah, juga sosialisasi tentang keunggulan transportasi sungai. Harapannya, masyarakat mau kembali menggunakan transportasi sungai seperti di masa lalu.
”Tentu saja sarana atau moda transportasi juga sungai harus ditingkatkan supaya bisa lebih cepat dan nyaman,” katanya.
Wisata
Di tengah ujian itu, warga Pulau Sewangi mencoba bertahan dan memanfaatkan peluang. Salah satunya lewat pariwisata. Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pulau Sewangi Saiful Fahri mengatakan, upaya mempertahankan pembuatan perahu akan terus dilakukan. Selain menjadi sumber mata pencarian utama warga, pembuatan perahu juga berkontribusi pada hal besar lainnya.
"Pulau Sewangi dikenal sebagai Kampung Seribu Jukung. Potensi itu ikut membantu Pulau Sewangi ditetapkan menjadi salah satu situs Geopark Meratus,” katanya.
Sekretaris Desa Pulau Sewangi Syarifah Zakiah Mabrurah juga menyebutkan, pihaknya bakal berusaha keras mempertahankan budaya pembuatan perahu. Salah satunya lewat wisata susur sungai dan balap jukung.
Sejauh ini, wisata susur sungai menjadi salah satu wisata unggulan di Kota Banjarmasin. Puluhan perahu bermotor atau kelotok wisata selalu berjejer di Sungai Martapura, sekitar Menara Pandang dan Patung Bekantan. Kelotok wisata itu siap melayani warga dari mana pun yang ingin menikmati wisata susur Sungai Martapura dengan tarif mulai dari Rp 10.000 per orang.
Nasib merana perahu di kawasan ”Seribu Sungai” jelas ironi yang tidak boleh terjadi. Tidak hanya membuat banyak manusia kehilangan sumber mata pencarian, tetapi juga rentan lenyapnya budaya yang bertahan sangat lama.