Digelar Jelang Ramadhan, Mamapas Lewu untuk Bersihkan Benih Konflik di Kalteng
Tradisi mamapas lewu dilakukan oleh warga Desa Bangkal untuk membersihkan kampung dan menolak bala.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
Warga Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, sudah jengah dengan konflik. Namun, mereka seperti tidak punya pilihan. Menjelang Ramadhan tahun ini, mereka berikhtiar membersihkan ”sampah” yang mengotori kampung lewat tradisi mamapas lewu. Sampah yang membuat nyawa kerabat mereka melayang dan jadi awal perjuangan baru.
Tamu-tamu dari berbagai kalangan datang ke Desa Bangkal, Minggu (3/3/2024) sore. Mereka terdiri dari pejabat daerah, aparat keamanan, hingga beberapa pejabat perusahaan perkebunan sawit. Kedatangan mereka disambut tari-tarian dengan musik pendukungnya.
Karmes (61), salah satu tokoh adat, menyambut mereka dengan melemparkan behas atau beras yang sudah didoakan sebagai berkat. Dia lalu merapal doa, saat rekan-rekan lainnya mempersilakan tamu-tamu itu duduk di bawah tenda, di depan huma betang atau rumah panjang, ciri khas Dayak.
Kedatangan mereka bukan tanpa tujuan. Ada tradisi tahunan penting bakal digelar. Orang Bangkal biasa menyebutnya mamapas lewu. Dalam bahasa Indonesia, mamapas artinya membersihkan, sedangkan lewu adalah kampung atau permukiman.
Di daerah lain di Kalteng disebut babantan laman. Artinya juga serupa, tradisi membersihkan kampung.
Di Bangkal, ada tiga tahapan pelaksanaan ritual ini, yaitu di air, daratan, dan di depan rumah betang. Biasanya, ritual ini dilaksanakan pada awal tahun baru. Namun, kali ini dilakukan berdekatan dengan bulan suci Ramadhan.
Tidak lama setelah para tamu undangan hadir, mamapas lewu dimulai. Untuk sesi siang, kerbau dan sapi sengaja dikurbankan untuk Ranying Hatala Langit atau Sang Pencipta yang dipercayai masyarakat pemilik kepercayaan Kaharingan. Dagingnya dimakan bersama-sama yang hadir dalam acara itu.
Acara tidak hanya sampai di sana. Puncaknya terjadi saat malam. Warga menyiapkan sesajen berupa beras, daging, dan banyak bahan pangan lainnya untuk disimpan dalam wadah kayu kecil. Wadah itu ditempatkan di beberapa penjuru desa, mengelilingi desa.
”Kami memanggil leluhur untuk menjaga kampung ini, di seluruh tempat. Di darat, di air, di dalam hutan, di ujung jalan desa, semuanya. Supaya kampung ini bersih,” kata Karmes di Bangkal, Senin (11/3/2024). Karmes dipercaya warga menjadi penjaga kampung.
Di sungai, mereka membuat semacam rumah kecil dari kayu yang kemudian dilarutkan. Sebelum dilarungkan, rumah itu sudah didoakan, agar semua ”sampah” dibuang dan dihanyutkan ke laut. Sampah yang dimaksud bukan plastik kotor atau sisa makanan, melainkan simbol petaka, konflik, dan bencana.
Konflik lahan
Keinginan jauh dari petaka itu bukan tanpa alasan. Setelah 17 tahun terlilit konflik lahan, setahun terakhir menjadi momen terkelam. Ada warga meregang nyawa. Besar harapan mereka semuanya lekas berakhir dengan damai tahun ini.
Riyus (43), warga Bangkal, misalnya, punya harapan tinggi dari tradisi adat yang digelar di desanya. Adik kandung Riyus, Gijik (35), tewas tertembak saat sedang memperjuangkan tanah yang sedang bersengketa dengan salah satu perusahaan perkebunan sawit.
Gijik tewas di tengah bentrokan dengan aparat yang saat itu berjaga. Peluru menembus dada Gijik. Ia pun tewas di tempat. Sampai saat ini, Riyus dan keluarga Gijik lainnya masih berjuang mencari keadilan. Penembak Gijik belum diketahui batang hidungnya.
Konflik di Bangkal ini bermula sejak beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit masuk ke wilayah itu 17 tahun lalu. Awalnya, warga Bangkal menolak praktik perkebunan perusahaan. Namun, karena mendengar kabar pemerintah memberikan izin, mereka pun terpaksa menyerahkan lahan.
James Watt (53), adik Karmes yang juga tokoh adat, menjelaskan, saat itu pemerintah mendesak warga menerima perusahaan karena menilai perusahaan akan bawa kesejahteraan untuk masyarakat.
”Janjinya kebun plasma dan pekerjaan di kebun, kami sebenarnya tidak mau. Tapi akhirnya menerima saja,” kata James.
Akan tetapi, janji tak kunjung dipenuhi. Untuk pertama kalinya, pada 2013, masyarakat berdemonstrasi di perusahaan karena tahu lahan seluas 1.175 hektar lahan yang ditanami perusahaan ternyata di luar hak guna usaha (HGU), bahkan sebagian berada di kawasan hutan. Lahan itu yang kemudian menjadi sengketa.
Konsepnya membersihkan desa, bila terjadi sesuatu seperti pembunuhan atau wabah penyakit, yang membuat alam kehilangan keseimbangan atau harmoni, maka dilakukan ritual ini. (Marko Mahin)
Aksi kembali digelar pada 16 September 2023. Tak tanggung, aksi itu mereka lakukan selama lebih kurang 23 hari. Beberapa kali mediasi sudah dilakukan. Namun, yang ada hanya jalan buntu. Ujungnya Gijik tewas tanpa tahu peluru siapa yang menyebabkannya.
Kini pemerintah membentuk koperasi dan meminta perusahaan untuk memberikan hak kebun plasma untuk masyarakat, tetapi bukan dalam bentuk lahan melainkan uang. Solusi itu dinilai bermasalah oleh sebagian warga Bangkal karena tidak semua orang masuk dalam koperasi tersebut.
”Sekarang kami ingin semua kembali seperti semula, perjuangan kami memang belum selesai. Ini justru perjuangan yang baru untuk mempertahankan hak kami,” kata James.
Peristiwa yang menimpa Gijik merupakan salah satu petaka yang ingin dihapus dari desa. Petaka yang tidak bisa dilupakan, tetapi diharapkan tidak terjadi lagi setelah tradisi mamapas lewu.
Keseimbangan alam
Antropolog Dayak asal Kalteng, Marko Mahin, menjelaskan, mamapas lewu atau ritual membersihkan desa atau tolak bala ini dilaksanakan saat momen tertentu. Momennya beragam, mulai dari karena adanya wabah penyakit, pembunuhan, dan banyak hal lainnya.
Marko menjelaskan, ritual pemulihan ini dilakukan agar alam kembali seimbang dan keadaan bisa membaik seperti semula. ”Konsepnya membersihkan desa, bila terjadi sesuatu seperti pembunuhan atau wabah penyakit, yang membuat alam kehilangan keseimbangan atau harmoni, maka dilakukan ritual ini,” kata Marko.
Mamapas lewu menjadi satu dari sekian banyak harapan yang diapungkan warga Bangkal untuk hidup damai. Tidak ada orang yang ingin selalu hidup tak nyaman dalam dekapan konflik tidak berkesudahan. Digelar menjelang Ramadhan, keinginan banyak warga untuk mendapat berkah untuk semua di bulan yang suci bertambah besar.