Polda Sultra Dituntut Evaluasi karena Jadikan Pemrotes Tambang Tersangka
Dua warga Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, ditetapkan jadi tersangka seusai protes pertambangan di permukiman mereka.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Dua warga Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Sultra. Keduanya dianggap menghalangi aktivitas pertambangan meskipun hanya menanyakan izin lingkungan perusahaan yang menambang di belakang rumah mereka. Polisi didesak untuk mencabut status tersangka, tidak berpihak pada perusahaan, dan proses penyelidikan dievaluasi.
Andi Firmansyah (42) dan Haslilin (31), dua warga Desa Torobulu, Konawe Selatan, ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Sultra pada Selasa (5/3/2024). Mereka dianggap menghalang-halangi aktivitas pertambangan dan melanggar Pasal 162 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
”Kami sebelumnya dilaporkan ke Polres Kendari, lalu dilaporkan lagi setelahnya ke Polda Sultra, dan ternyata ditetapkan (sebagai) tersangka. Padahal, kami itu hanya mempertanyakan amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) perusahaan di mana? Kenapa sampai mengolah lahan di dekat permukiman?” kata Firmansyah, Selasa malam, di Kendari.
Firmansyah bercerita, perusahaan tambang nikel telah lama beroperasi di wilayah Torobulu dan sekitarnya. Selama penambangan, ia dan sejumlah warga tidak pernah protes karena berdasarkan informasi, semua syarat terpenuhi.
Hingga akhirnya perusahan beraktivitas semakin dekat ke permukiman. Jarak lokasi penambangan dengan kediamannya tersisa 100 meter. Sejumlah alat berat dioperasikan untuk mengolah tanah setiap hari.
”Kami protes dan akhirnya bertemu (pihak perusahaan tambang) dengan difasilitasi Pak Camat. Di situ, kami diarahkan untuk sama-sama menahan diri, dan perusahaan tidak dulu beroperasi. Tapi, ternyata besoknya perusahaan kembali bekerja, kami protes dan pertanyakan izinnya, malah kami dilaporkan,” tuturnya.
Haslilin menceritakan, pertambangan nikel di sekitar permukiman telah berdampak besar ke masyarakat. Sumber air warga tercemar yang membuat dampak kesehatan khususnya pada anak-anak.
Tidak hanya itu, debu dari aktivitas pertambangan masuk hingga ke rumah-rumah warga. Anak-anak terserang batuk hingga ISPA. ”Kami protesnya di situ. Bukan menolak pertambangan, tapi kami prihatin kondisi aktivitas yang masuk sampai ke desa. Kalaupun saya sampai ditahan karena ini, mau tidak mau dijalani daripada kampung kami rusak,” tuturnya.
Dua warga ini sebelumnya dilaporkan oleh PT Wijaya Inti Nusantara (WIN). Total warga yang dilaporkan di Polda Sultra sebanyak 32 orang, khususnya yang mengadakan aksi penolakan aktivitas pertambangan di sekitar desa.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sultra Andi Rahman menerangkan, penersangkaan dua warga ini tendensius, bahkan seperti pesanan. Sebab, kasus ini didalilkan tidak sesuai fakta yang dialami masyarakat di lapangan.
Sebab, dalam protesnya terhadap perusahaan, masyarakat hanya menanyakan amdal perusahaan saat beroperasi di dekat permukiman. Mereka ingin memastikan proses tersebut sesuai aturan, dan ada legalitasnya. Sebab, yang mereka tahu, aktivitas penambangan tidak boleh berada dekat dengan permukiman warga.
Bukan menolak pertambangan, tapi kami prihatin kondisi aktivitas yang masuk sampai ke desa. Kalaupun saya sampai ditahan karena ini, mau tidak mau dijalani daripada kampung kami rusak.
Warga tersebut, ia melanjutkan, adalah pejuang lingkungan yang justru harus dilindungi hak-haknya. Mereka mempertahankan lingkungan untuk kemaslahatan masyarakat banyak, tetapi justru dikriminalisasi.
”Oleh karena itu, kami mengecam Kapolda Sultra yang telah membiarkan pejuang lingkungan menjadi tersangka dalam kasus ini,” ucapnya.
Ardi Hasyim dari Forum Alam Nusantara mengungkapkan, kasus ini memang terkesan sarat akan kepentingan tertentu. Sebab, berdasarkan surat penetapan tersangka yang dikeluarkan Polda Sultra, juga terlihat beberapa hal yang menjadi pertanyaan besar.
Salah satunya adalah waktu pelaporan polisi hingga penyidikan hanya berselang satu hari. Hal itu menunjukkan proses penyelidikan berlangsung kurang dari 24 jam. Padahal, kasus pertambangan membutuhkan banyak pertimbangan, baik dari keterangan saksi dan pelapor, hingga saksi ahli.
”Kalau hanya sehari pelaporan lalu penyidikan, ini seperti penyidiknya yakin sudah ada pidana. Terus, proses penyelidikannya seperti apa? Menurut saya, penetapan tersangka ini cacat hukum, dan harus dicabut. Karena kasus ini untuk kepentingan hukum, atau kepentingan tertentu?” kata Ardi.
Fatahillah dari Lembaga Bantuan Hukum Ansor Kendari menambahkan, kepolisian tidak boleh memproses setiap orang yang memperjuangkan lingkungan. Sebab, dalam Pasal 66 UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan, setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana ataupun digugat secara perdata (ketentuan anti SLAPP).
Oleh sebab itu, koalisi masyarakat sipil akan melaporkan penyidik ke Propam Polda Sultra karena tidak profesional dalam menjalankan tugas. Tidak hanya itu, mendesak Kapolri untuk mencopot Kapolda Sultra yang telah membiarkan kasus ini hingga ditetapkannya tersangka.
Kabid Humas Polda Sultra Komisaris Besar Iis Kristian menuturkan, proses penetapan tersangka telah berdasarkan alat bukti yang cukup. Penyidik telah melakukan penyelidikan dan klarifikasi kepada 18 orang, utamanya sejak diterimanya aduan polisi di awal November 2023.
”Proses penyelidikan juga tidak hanya sehari, tapi sejak aduan masuk awal November lalu. Sejak saat itu dimulai penyelidikan, pemeriksaan saksi, pemeriksaan TKP (tempat kejadian perkara), saksi ahli, hingga gelar perkara. Di situ penyidik yakin memenuhi unsur pidana, yaitu mereka menghalang-halangi aktivitas pertambangan, bahkan melempari,” ucapnya.
Dihubungi secara terpisah pada Rabu (6/3/2024) siang, Kasman dari Humas PT WIN yang dihubungi tidak merespons panggilan dan pertanyaan yang dikirimkan.