Belasan anak autis di Malang Raya memamerkan karya seni dekoratif buatannya seusai dilatih.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Belasan anak autis di Malang Raya dilatih dan diberi kesempatan berkarya seni dekoratif. Diharapkan semakin banyak ruang apresiasi bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) sehingga mereka bisa berkarya di ruang-ruang publik.
Hal itu menjadi benang merah pameran karya dan pelatihan Rupacitra di Malang Creative Center (MCC) Kota Malang, Jawa Timur, 27 Februari 2024-6 Maret 2024. Pelatihan diberikan pada anak ABK spektrum autis di Malang Raya berusia 17-28 tahun. Dalam kegiatan itu turut terundang perwakilan dinas di Malang Raya.
Kegiatan ini diselenggarakan Malang Autism Center (MAC) bekerja sama dengan perusahaan cat premium, Wouww, yang berbasis di Tangerang. Pelatihan ini bertujuan untuk memberikan bekal keterampilan kepada anak berkebutuhan khusus (ABK), terutama penyandang autisme.
Selain pelatihan intensif selama beberapa hari, para peserta juga mendapatkan sertifikat keahlian yang dikeluarkan Balai Latihan Kerja (BLK) Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Tangerang.
Mohammad Cahyadi, pendiri Malang Autism Center (MAC), mengatakan, mereka ingin menyampaikan bahwa anak autis jika diberi kesempatan, ruang, dukungan, dan pendampingan, terbukti bisa berkarya. ”Pada 12 anak yang kami latih ini, mereka akhirnya membuktikan bahwa karya seni dekoratif mereka bagus dan layak dipamerkan di ruang publik,” kata Cahyadi seusai acara.
Menurut Cahyadi, dengan bukti tersebut, ia berharap pemerintah bisa mendorong ABK, terutama anak autis, agar diberi kesempatan berkarya di ruang-ruang publik kota. ”Di luar pemerintah pun, mari kita beri ruang dan kesempatan untuk mereka berkembang. Mereka adalah saudara kita dengan keterbatasan di satu sisi, tetapi punya kelebihan di bidang lain yang jika kelebihannya dikelola dengan baik bisa menjadi karya luar biasa,” kata Cahyadi.
Hal penting, menurut Cahyadi, autisme bukan sebuah penyakit. Hanya saja, autisme itu gangguan tumbuh kembang anak. Gangguan itu tampak dalam tiga hal, yaitu perilaku, interaksi sosial, serta bahasa dan komunikasinya.
Intervensi anak dengan autisme itu, tambahnya, harus dilakukan sesuai kebutuhan dan tahapannya. Berikutnya, jika kondisi anak sudah tenang, stabil, fokus, dan bisa mengontrol emosi, intervensi ekonomi harus dilakukan. ”Sebab, jika tidak didukung dan diberi ruang, bagaimana bisa mereka bertarung dengan angkatan kerja lain yang kondisinya normal?” kata Cahyadi.
Mengutip data pemerintah, Cahyadi menyebut jumlah pengangguran di Indonesia tahun 2023 sebesar 7,4 juta jiwa. Adapun anak autis, data Kementerian Perempuan dan Pemberdayaan Anak pada tahun 2022, jumlahnya mencapai 4 juta jiwa.
Dengan kondisi itu, jika tidak ada intervensi ekonomi yang dilakukan, anak-anak autis akan kesulitan secara ekonomi ke depan dan terus bergantung pada keluarga. Hal ini bisa sangat memberatkan keluarga, apalagi keluarga dengan ekonomi terbatas.
”Itu sebabnya, kami berharap pemerintah bisa turut andil dan mendukung program seperti ini. Anak-anak spesial kita ini hanya butuh ruang dan kesempatan berkarya. Maka, berilah mereka ini kesempatan berkarya di ruang-ruang publik kota kita,” katanya.
Dalam kesempatan itu, pelatihan seni dekoratif dengan melukis di kanvas secara bersama-sama tersebut didukung perusahaan cat Wouww. Founder dan Chief Operations Officer (COO) Wouww Ricky Soesanto berharap agar hal dilakukannya ini bisa disambut baik oleh pemerintah.
“Harapan kami ke depan, dengan bekal keahlian dan sertifikasi yang kami berikan, pemerintah dan publik bisa memberikan kesempatan kepada mereka untuk bekerja dengan karyanya,” kata Ricky.
Anak-anak spesial kita ini hanya butuh ruang dan kesempatan untuk berkarya. Maka, berilah mereka ini kesempatan berkarya di ruang-ruang publik kota kita
Ricky berharap anak ini bisa mandiri secara ekonomi dan tidak tergantung orangtuanya. Masyarakat, menurutnya, harus memberikan ruang. Jika masyarakat percaya adanya diversity dan equality (keberagaman dan kesetaraan), kemandirian harus dilakukan.
Ricky menyebut bisnis usahanya memiliki dua nilai di atas untuk tumbuh. Ricky berharap pekerjaan-pekerjaan publik, seperti membuat mural dan seni dekoratif kota, ke depan bisa diberikan untuk penyandang disabilitas dan autisme.
Kepala Dinas Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak Kota Batu, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana, Aditya Prasaja, mendukung program kemitraan seperti dilakukan MAC dan Wouww tersebut. “Kemitraan seperti ini sangat penting. Sebab prinsipnya, masalah di masyarakat tidak bisa diatasi sendiri oleh pemerintah. Butuh kemitraan dan kerja sama dengan banyak orang,” kata Aditya.
Di Kota Batu, menurut Aditya, setidaknya terdata ada 700-an ABK. Mereka bersekolah, baik di sekolah umum inklusi maupun di SLB. Dukungan Pemkot Batu untuk ABK dilakukan mulai di bidang pendidikan, yaitu sekolah inklusi. Adapun di bidang sosial ada program disabilitas di luar panti.
”Di dinas kami ada Puspaga, yaitu Pusat Pembelajaran Keluarga. Untuk keluarga dengan ABK, yang butuh dikuatkan bukan hanya anaknya tapi juga keluarganya. Kawan-kawan Puspaga ini lebih mengarahkan dan mendukung orangtuanya agar mereka tetap semangat dan bisa membantu mengarahkan atau mendampingi selama tumbuh kembang sang anak,” katanya.
Bima (17), seorang anak autis yang turut berpameran saat itu, senang bisa mengikuti program pelatihan hingga bisa melukis bersama-sama. “Senang sekali, itu lukisan saya,” katanya sambil menunjuk pada lukisan yang dipamerkan.