Potensi Autisme pada Anak Bisa Dideteksi sejak Janin
Autisme terjadi akibat gangguan perkembangan otak. Mereka yang mengidap autisme memiliki lobus insularis dan amigdala yang lebih besar dibanding yang tidak menderita. Perbedaan ukuran ini sudah terdeteksi sejak janin.
Risiko seorang anak mengembangkan autisme sudah bisa diketahui dari pemindaian otak mereka saat masih janin dalam kandungan. Janin yang berpeluang mengalami autisme itu adalah yang memiliki bagian otak lobus insularis dan amigdala lebih besar dibandingkan dengan otak janin pada umumnya.
Gangguan spektrum autisme (ASD) atau sering disebut autisme saja adalah kondisi yang berkaitan dengan perkembangan otak dan berdampak pada cara seseorang memandang atau bersosialisasi dengan orang lain. Akibatnya, gangguan ini bisa memicu masalah dalam interaksi sosial dan komunikasi penderitanya.
Dikutip dari situs Mayo Clinic, lembaga riset dan layanan kesehatan di Amerika Serikat, ASD ini mencakup sejumlah gangguan yang sebelumnya dianggap berbeda, seperti autisme, sindrom Asperger, gangguan disintegrasi masa kanak-kanak, dan gangguan perkembangan pervasif lainnya yang bentuknya tidak teridentifikasi dengan jelas.
Sebagian orang masih menyebut gangguan ini dengan sindrom Asperger yang dianggap sebagai kondisi ASD ringan mendekati parah. Gangguan ini disebut spektrum karena gejala dan tingkat keparahannya sangat beragam.
Baca juga : Sapuan Kuas Autisme
Gejala ASD ini umumnya mulai muncul pada masa awal kanak-kanak yang membuat mereka mengalami masalah dalam interaksi sosial. Gejala ini sudah bisa terdeteksi saat anak baru berusia 1 tahun. Namun, ada pula yang baru menunjukkan gejala pada usia 18-24 bulan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 30 Maret 2022 menyebut 1 dari 100 bayi di seluruh dunia mengidap autisme. Gangguan ini disebabkan sejumlah hal, mulai dari masalah genetika hingga kondisi lingkungan, khususnya pencemaran udara. Namun, data epidemiologi menegaskan, ASD tidak terkait dengan vaksin untuk bayi, seperti vaksin campak, gondok, dan rubella, atau vaksin lainnya.
Hingga kini, gangguan ini tidak bisa diobati atau disembuhkan. Meski demikian, intervensi sejak awal bisa memberikan kualitas hidup anak jauh lebih baik. Karena itu, deteksi dini menjadi penting, termasuk deteksi ketika anak masih berupa janin dalam kandungan. Perkembangan otak yang memicu ASD diyakini sudah terjadi sejak anak-anak masih dalam kandungan.
Studi yang dipimpin Alpen Ortug, peneliti di Rumah Sakit Umum Massachusetts, Sekolah Kedokteran Harvard, AS, yang dipresentasikan dalam Pertemuan Biologi Eksperimental di Philadelphia, Amerika Serikat, Selasa (5/4/2022), menemukan janin berumur 25 minggu yang memiliki bagian otak lobus insularis lebih besar dibandingkan dengan rata-rata berisiko mengembangkan austime saat lahir dan bertumbuh kembang.
”Kita perlu fokus pada daerah otak tersebut (lobus insularis) karena berpotensi untuk dijadikan penanda biologis yang potensial untuk mengetahui perubahan ini,” kata Ortug seperti dikutip Livescience, Jumat (7/4/2022).
Kita perlu fokus pada daerah otak tersebut (lobus insularis) karena berpotensi untuk dijadikan penanda biologis yang potensial untuk mengetahui perubahan ini.
Riset ini dilakukan dengan memindai otak 39 janin berusia 25 minggu dan mengaitkannya dengan potensi autisme yang mungkin diidap anak saat besar nanti. Saat ini, seorang anak baru bisa didiagnosis mengalami autisme atau tidak saat mereka umumnya sudah berumur 18 bulan.
Perkembangan khas
Pemindaian dilakukan menggunakan pencitraan resonansi magentik (magnetic resonance imaging/MRI) di RS Anak Boston, AS. Hasilnya, sembilan anak didagnosis memiliki autisme, 20 anak mempunyai perkembangan khas, dan 10 anak tidak memiliki autisme tetapi memiliki gangguan kesehatan lain, seperti gangguan terkait sistem kardiovaskular.
Dari studi ditemukan bahwa anak yang mengidap autisme memiliki lobus insularis lebih besar sejak mereka dalam janin. Lobus insularis adalah bagian otak yang berperan dalam kesadaran persepsi, perilaku sosial, dan pengambilan keputusan.
Hasil studi ini juga sejalan dengan sejumlah studi sebelumnya yang menunjukkan pengidap austime dewasa memiliki ukuran lobus insularis berbeda dibandingkan dengan mereka yang tidak mengidap autisme. Riset ini juga menambah bukti bahwa autisme dan proses penyakit yang terkait autisme sudah berlangsung sejak penderitanya masih janin atau dalam tahap awal perkembangan kehidupan.
Baca juga : Hak Anak Berkebutuhan Khusus Belum Dipenuhi Optimal
Meski demikian, riset Ortug dan rekan itu belum dipublikasikan dalam jurnal ilmiah. Karena itu, penelitian lebih besar perlu dilakukan.
Profesor emeritus psikiatri dan kesehatan perilaku di Pusat Kedokteran Wexner, Universitas Negeri Ohio, AS, L Eugene Arnold, yang tidak terlihat dalam riset, mengatakan, replikasi lebih besar riset itu diperlukan karena studi lain menunjukkan anak dengan autisme lebih berpeluang memiliki gangguan pada jantung, ginjal, atau kepala mereka.
Selain itu, pembesaran lobus insularis juga bisa terkait dengan sejumlah gangguan kejiwaan lain, bukan hanya ASD, seperti gangguan bipolar. Karena itu, metode deteksi ASD perlu dikembangkan sebelum pemindaian menggunakan MRI. Selama ini, pemeriksaan janin umumnya hanya menggunakan ultrasonografi (USG). Pemindaian dengan MRI hanya dilakukan jika ada indikasi klinis.
Amigdala
Studi lain yang dipimpin Joseph Piven, profesor psikiatri dan dokter spesialis anak di Universitas North Carolina, Chapel Hill, AS, dan dipublikasikan di The American Journal of Psychiatry, 25 Maret 2022, menemukan anak usia 2 tahun yang didiagnosis mengalami autisme mengalami pertumbuhan amigdala yang berlebihan saat umur mereka 6 bulan-12 bulan.
Amigdala adalah bagian otak seukuran kacang yang terlibat dalam pemrosesan emosi, termasuk rasa takut atau memahami ekspresi wajah.
Riset ini dilakukan dengan memindai otak 400 bayi dengan 270 bayi di antaranya berisiko mengidap autisme karena ada saudara mereka yang lebih tua juga mengidap gangguan serupa. Selain itu, 109 responden bayi memiliki perkembangan khas dan 29 bayi dengan sindrom fragile X (FXS), yaitu kelainan genetik yang memicu cacat perkembangan dan intelektualitas.
Baca juga : Anak Berkebutuhan Khusus Makin Rentan
Bayi-bayi itu dipindai otaknya sebanyak tiga kali, pada usia 6 bulan, 12 bulan, dan 24 bulan. Hasilnya, 21 persen atau 58 bayi yang sejak awal didiagnosis berisiko memiliki ASD terbukti mengalami autisme saat berumur 24 bulan.
Selama studi, bayi-bayi itu memiliki amigdala dengan ukuran sama pada umur 6 bulan. Namun, pada usia 12 bulan, anak-anak yang mengembangkan autisme mengalami pembesaran amigdala dibandingkan dengan yang tidak mengembangkan autisme atau menderita sindrom fragile X. Semakin cepat bayi itu mengalami pembesaran amigdala, maka gejala autisme yang dialaminya makin parah.
”Semakin cepat amigdala tumbuh pada masa bayi, maka semakin banyak kesulitan sosial yang ditunjukkan anak yang didiagnosis mengalami autisme,” kata Mark Shen, asisten profesor psikiatri dan ilmu saraf di Universitas North Carolina, Chapel Hill, AS seperti dikutip Livescience, 28 Maret 2022.
Peneliti menduga pembesaran amigdala itu dipicu oleh masalah awal yang terjadi saat bayi memproses informasi visual dan sensorik. Anak-anak dengan autisme umumnya memang memiliki masalah dalam memperhatikan rangsangan visual sejak bayi.
Di sisi lain, amigdala menerima sinyal dari sistem visual otak dan sensorik lainnya untuk mendeteksi adanya ancaman. Akibatnya, masalah pemrosesan informasi itu menekan amigdala hingga membuat amigdala tumbuh berlebih.
Intervensi
Karena itu, Piven menilai, intervensi pada bayi berisiko tinggi terhadap autisme perlu berfokus pada peningkatan pemrosesan informasi visual dan sensorik pada bayi. Intervensi dini itu baru bisa dilakukan saat anak berumur 2 tahun-3 tahun atau setelah mereka terdiagnosis sebagai pengidap autisme.
Karena tidak ada obat untuk mengatasi autisme, pengobatan yang dilakukan adalah untuk memperbaiki tanda-tanda utama ASD atau membantu mengendalikan gejala. Terapi juga dilakukan demi memaksimalkan kemampuan anak hingga mereka bisa berfungsi secara sosial, mengurangi gejala ASD, serta mendukung perkembangan dan pembelajaran anak.
Pengobatan untuk pengidap ASD itu bersifat sangat spesifik, bergantung pada gejala masing-masing pasien sehingga pengobatan untuk satu penderita belum tentu cocok untuk penderita lainnya. Karena itu, penting untuk mendiskusikan dengan dokter, intervensi apa yang tepat untuk setiap anak penderita ASD.
Adapun pilihan intervensi itu sangat banyak, baik yang berbasis rumah maupun sekolah. Pilihan intervensi tersebut juga berkembang sesuai dengan kondisi dan perkembangan tiap-tiap anak. Beberapa intervensi yang bisa dipilih itu antara lain terapi perilaku dan komunikasi, terapi pendidikan, terapi keluarga, atau terapi lainnya sesuai kebutuhan anak.
Apa pun intervensi yang dilakukan, anak ASD butuh untuk terus belajar dan menghadapi gangguan ini seumur hidupnya. Untuk bisa menjalani itu, sebagian besar penderita ASD butuh dukungan yang berarti. Karena itu, orangtua tetap perlu merancang masa depan anak dengan ASD, sama seperti anak normal lainnya, hingga mereka bisa menjalani hidup lebih berarti dan sebisa mungkin bisa mandiri.