Petani cenderung menjual gabah basah ketimbang kering kepada pengepul dengan alasan butuh modal cepat.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·3 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Petani padi di wilayah Jawa Timur mulai panen dan menjual gabahnya secara langsung atau dalam kondisi basah kepada pengepul. Langkah itu dilakukan petani karena mereka terkendala pengeringan di musim hujan dan juga butuh modal cepat untuk segera tanam lagi.
Hamparan padi seluas 12 hektar di Desa Wonokupang, Kecamatan Balongbendo, Sidoarjo, telah menguning dan kini hampir habis dipanen. ”Kami panen sudah sejak Minggu (3/3/2024), tetapi tidak bersamaan. Hampir setiap hari ada yang panen,” ujar Subandi (60), Selasa (5/3/2024).
Subandi memiliki satu petak sawah seluas 1.700 meter persegi. Pada panen kali ini dia bisa mendapatkan 1,3 ton gabah basah atau gabah kering panen atau sekitar 7 ton per hektar. Gabah itu ditawar pedagang dengan harga Rp 7.200 per kilogram (kg).
Tanpa pikir panjang, Subandi langsung menerima tawaran tersebut. Padahal, dia bisa mengeringkan gabahnya terlebih dahulu dan menyimpannya di gudang. Gabah kering giling harganya lebih tinggi, yakni Rp 8.200-Rp 8.500 per kg.
”Selisih harga Rp 1.000 sampai Rp 1.200 per kg, untuk saat ini, tidak menarik bagi petani. Sebab, biaya pengeringan tidak murah karena masih musim hujan. Bahkan, kualitas gabah bisa turun jika tidak benar-benar kering,” kata Subandi.
Miskan (61), petani lainnya, juga memilih langsung menjual hasil panen padinya saat masih di sawah. Dia hanya membawa gabah satu karung untuk kebutuhan keluarga. Selain terkendala proses pengeringan gabah di musim hujan, Miskan mengaku butuh uang untuk modal tanam berikutnya.
”Mumpung masih ada hujan, saya mau cepat tanam lagi. Tapi ndak punya modal karena hasil panen sebelumnya habis untuk kebutuhan sehari-hari,” ucap Miskan.
Muhammad Suud (49), petani di Desa Krian, mengaku sempat berniat menyimpan gabah hasil panen karena memiliki gudang yang cukup besar. Namun, dia kesulitan pada proses pengeringan karena tidak punya dryer atau mesin pengering sehingga hanya mengandalkan panas matahari.
”Selisih harganya tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan. Apalagi upah pekerja juga mahal,” jelas Suud.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur, luas panen padi pada Januari 2024 mencapai 47.130 hektar. Adapun potensi panen sepanjang Februari hingga April diperkirakan mencapai 629.410 hektar.
”Dengan demikian, luas total panen padi pada subround Januari hingga April 2024 diperkirakan mencapai 676.530 hektar,” ujar Kepala BPS Jatim Zulkipli.
Produksi pada Januari diperkirakan 267.400 ton gabah kering giling (GKG). Adapun produksi padi sepanjang Februari hingga April mencapai 3,62 juta ton. Dengan demikian, total potensi produksi padi pada Januari hingga April diperkirakan 3,89 juta ton GKG.
Produksi GKG sepanjang Januari hingga April 2024 itu turun sebesar 706.690 ton atau 15,38 persen dibandingkan pada periode yang sama tahun 2023.
Berdasarkan data BPS Jatim, potensi produksi padi tertinggi pada Januari hingga April 2024 terjadi di beberapa kabupaten, seperti Lamongan, Bojonegoro, dan Jember. Sementara produksi padi terendah berpotensi terjadi di perkotaan, yakni Kota Blitar, Kota Mojokerto, dan Kota Batu.
Zulkipli mengatakan, Jatim merupakan salah satu lumbung produksi beras nasional. Luas panen padi tahun 2023 mencapai 1,698 juta hektar. Luas panen itu naik 4.870 hektar atau sekitar 0,29 persen dibandingkan tahun 2022 yang hanya 1,693 hektar.
Produksi padi pada 2023 sebesar 9,71 juta ton GKG alias naik 184.150 ton atau 1,3 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya. Adapun produksi beras untuk konsumsi pangan penduduk mencapai 5,61 juta ton, naik 106.330 ton atau 1,93 persen dari tahun sebelumnya.
Produksi padi di Jatim tertinggi terjadi pada Maret 2023, yakni sebesar 2,11 juta ton GKG. Sementara itu, produksi gabah terendah terjadi pada Januari 2023, yakni sebesar 0,32 juta ton GKG.