Program Pemerintah Dinilai Belum Efektif Turunkan Harga Beras di Palangkaraya
Warga Palangkaraya mulai resah dengan kenaikan harga beras. Mereka berharap segera ada solusi untuk masalah itu.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Harga beras di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, kian mahal. Sejumlah upaya yang dilakukan pemerintah dinilai belum efektif untuk menurunkan harga beras. Masyarakat pun merasa resah karena kenaikan harga beras juga diikuti kenaikan harga bahan pangan lain.
Siti Nur Fitiah (27), ibu rumah tangga di wilayah Bukit Batu, Palangkaraya, mengeluhkan harga beras yang kembali naik. Fitiah menuturkan, pada awal Januari, dirinya biasa membeli beras merek Mayang Super dengan harga Rp 22.000 per kilogram (kg). Harga beras itu kemudian naik pada awal Februari menjadi Rp 25.000 per kg.
”Sekarang naik lagi harganya jadi Rp 28.000 per kg. Ini beras naik terus harganya, enggak pernah turun. Dulu saya biasanya beli yang kemasan 5 kilogram, sekarang beli paling beli 2 atau 3 kilogram saja,” kata Fitiah, Senin (4/3/2024).
Akibat kenaikan harga itu, Fitiah mengaku harus lebih banyak berhemat. Apalagi, kenaikan harga juga terjadi pada sejumlah komoditas lain. ”Enggak hanya beras yang harganya naik. Harga bawang, tomat, dan bumbu dapur juga pada naik,” ujarnya.
Meliana (27), pedagang beras dan barang kebutuhan pokok di Pasar Kahayan, Palangkaraya, mengatakan, kenaikan harga beras sudah terjadi sejak tahun lalu. Dia mencontohkan, tahun lalu, harga beras merek Lahap awalnya Rp 120.000 per 10 kg. Namun, pada akhir tahun lalu, harganya naik menjadi Rp 145.000 per 10 kg. Saat ini harga beras itu kembali naik menjadi Rp 160.000 per 10 kg.
Beras merek Pangkoh yang biasa dijual Rp 190.000 per 15 kg kini naik menjadi Rp 205.000 per 15 kg. Meliana mengaku membeli beras Pangkoh dari Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng, yang berjarak 85 kilometer dari Palangkaraya.
”Kalau beras Mayang Super dan beberapa merek lain itu saya beli dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Itu beras dari Jawa,” ujarnya.
Beras dengan merek Sekar Arum yang sebelumnya dijual Rp 14.000 per kg juga naik menjadi Rp 18.000 per kg. Harga beras itu terpaut cukup jauh dari harga eceran tertinggi beras premium di Kalimantan yang ditentukan dalam Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 7 Tahun 2023, yakni Rp 14.400 per kg.
Asisten Perekonomian dan Pembangunan Sekretariat Daerah Kalteng Sri Widanarni mengatakan, Pemprov Kalteng bersama Bulog telah mendistribusikan beras subsidi melalui program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Beras SPHP dijual dengan harga Rp 57.500 per 5 kg.
Sri menambahkan, Pemprov Kalteng juga membuat pasar penyeimbang. Di pasar itu, masyarakat bisa membeli bahan kebutuhan pokok dengan harga murah. ”Kami juga lakukan inspeksi mendadak ke pasar untuk memastikan SPHP ini berjalan dan masyarakat bisa membelinya dengan harga terjangkau,” katanya.
Bahan pokok lain
Tak hanya beras, kenaikan harga juga terjadi pada bahan pokok lainnya. Dari pantauan Kompas di Palangkaraya, harga cabai rawit merah tembus Rp 100.000 per kg, naik dari harga normal Rp 60.000 per kg. Daging ayam potong yang biasanya dijual Rp 35.000 per kg, kini naik menjadi Rp 40.000 per kg. Harga bawang merah juga naik dari Rp 36.000 per kg menjadi Rp 38.000 per kg.
Selain itu, harga sayuran pun mengalami kenaikan cukup tinggi. Sayur kangkung yang biasanya dijual per ikat seharga Rp 1.000 kini menjadi Rp 5.000 per ikat.
Staf Ahli Gubernur Kalteng Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan Yuas Elko mengatakan, Pemprov Kalteng telah membentuk tim satuan tugas pangan yang berisi petugas dari berbagai instansi, mulai dari Bulog hingga aparat keamanan. Tim ini bertugas melakukan inspeksi harga di lapangan hingga membantu operasi pasar.
”Mereka harus bisa menjaga harga di hilir, tetapi tidak lupa harga di hulunya atau di tingkat produsen. Saat Lebaran nanti, kami harap soal beras ini bisa aman,” kata Yuas.
Kami juga lakukan inspeksi mendadak ke pasar untuk memastikan SPHP ini berjalan dan masyarakat bisa membelinya dengan harga terjangkau.
Pengamat ekonomi dari Universitas Palangka Raya, Fitria Husnatarina, menjelaskan, kenaikan harga beras merupakan anomali di Kalteng. Sebab, provinsi itu disiapkan menjadi kawasan lumbung pangan nasional atau food estate.
”Food estate enggak semua berhasil, cukup banyak yang gagal panen. Selain itu, soal kenaikan harga, menaikkan produksi saja tidak cukup,” kata Fitria.
Fitria mengungkapkan, sejak lama, petani di Kalteng memproduksi gabah yang terpaksa dijual dan diolah menjadi beras di Kalsel. Setelah diolah, beras itu dijual lagi ke Kalteng. Hal itu membuat rantai pasok atau jalur distribusi menjadi berbiaya tinggi sehingga memengaruhi harga.
”Jalur distribusi ini yang harus dipotong dengan membuat kawasan industri untuk padi di Kalteng sehingga beras tidak keluar,” kata Fitria.
Fitria juga menilai, program pasar penyeimbang merupakan solusi jangka pendek yang tidak bisa menyelesaikan masalah kenaikan harga beras yang terjadi sejak lama. Dia menyebut, dibutuhkan solusi yang lebih komprehensif untuk mengatasi persoalan tersebut.