Puluhan pelajar di SMAN 1 Sigaluh, Banjarnegara, Jateng, belajar sejarah reformasi dengan gelar simulasi demonstrasi.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
Riuh rendah mewarnai jam mata pelajaran sejarah di SMAN 1 Sigaluh, Banjarnegara, Jawa Tengah. Berbekal spanduk bertuliskan aneka tuntutan, siswa-siswi berkeliling kelas dan pemimpin aksi naik ke atas kursi lalu mulai berorasi. Mereka menggelar simulasi aksi demonstrasi dalam rangka pembelajaran sejarah reformasi.
”Turunkan Harga”, ”Rakyat Minta Soeharto Turun!”, ”Bersatu Sehati Menuntut Reformasi 1998”, ”Tolak Hasil SU MPR 98”, ”Rakyat Menjerit, Penguasa Mencekik”, ”Kami Tidak Butuh Janji Manis”. Itulah beberapa tulisan tuntutan yang ditulis besar-besar pada kertas dan kain spanduk tuntutan.
Dibagi ke dalam sejumlah kelompok, para siswa terlebih dahulu menyiapkan struktur organisasi aksi, mulai dari memilih koordinator lapangan, orator, agitator, petugas keamanan, staf humas, hingga tim kreatif. Sebelum beraksi, mereka membuat surat pemberitahuan kepada polisi, serta menyiapkan siaran pers dan teks orasi.
Di antara mereka, ada orator yang membawa corong suara dari buku yang digulung serta agitator yang terus berteriak-teriak menyemangati peserta aksi. Tidak hanya di kelas, sejumlah kelompok juga menggelar aksi demonstrasi di lapangan sekolah.
Rangkaian kegiatan simulasi aksi demonstrasi itu menjadi bagian pembelajaran mata pelajaran sejarah di SMAN 1 Sigaluh. Hal itu juga dalam rangka mengajak siswa untuk memahami aneka bentuk penyaluran aspirasi dalam demokrasi.
”Kita jadi tahu ternyata kalau aksi harus ada struktur organisasinya, harus buat surat pemberitahuan ke polisi dan seterusnya. Intinya jangan sampai kita ikut demo tetapi tidak tahu aturan, hanya ikut-ikutan, apalagi demo karena dibayar. Kita harus tahu isu yang dibawa dalam sebuah aksi,” kata Mico Yudhistira, siswa kelas XII IPS 2, Senin (4/3/2024).
Lain halnya dengan Rivalent Fahreza, siswa kelas XII IPS 3. Rivalent mengaku simulasi aksi memberinya pengalaman melakukan orasi. ”Ternyata tidak mudah juga berorasi. Di depan teman-teman sekelas saja grogi, apalagi kalau di depan masyarakat dan polisi, tentu lebih grogi. Ini pengalaman yang sangat berharga,” ujarnya.
Jangan sampai siswa menganggap bahwa demo adalah suatu hal yang terlarang. Karena terkadang bahkan aksi demonstrasi menjadi solusi bagi sebuah permasalahan.
Guru Sejarah SMA N 1 Sigaluh, Kabupaten Banjarnegara, Heni Purwono, menyampaikan, siswa diajak untuk belajar tentang sejarah Reformasi 1998 dan juga People Power Philipina. Materi tersebut diajarkan untuk kelas XII IPS dan Reformasi 1998 untuk kelas XII MIPA.
”Pembelajaran yang akan selalu diingat siswa biasanya adalah yang siswa diminta memperagakan atau mendemonstrasikan, tidak hanya guru ceramah di depan kelas. Karena itu, siswa saya ajak melakukan pembelajaran berbasis simulasi ini,” kata Heni.
Ia menyebutkan, demonstrasi merupakan hak konstitusional warga negara yang dilindungi undang-undang. ”Jangan sampai siswa menganggap bahwa demo adalah suatu hal yang terlarang. Karena terkadang bahkan aksi demonstrasi menjadi solusi bagi sebuah permasalahan,” tutur Heni.
Para pelajar di SMAN 1 Sigaluh, Kabupaten Banjarnegara, Jateng, belajar sejarah reformasi dengan menggelar simulasi aksi demonstrasi di sekolahnya, Senin (4/3/2024).
Heni menyampaikan, dalam simulasi ini, siswa diberikan rambu-rambu tentang bagaimana aksi yang baik, terstruktur, santun, dan tidak melanggar undang-undang. ”Jangan sampai siswa menganggap ketika demo boleh melakukan apa saja, itu pemahaman yang keliru dan harus diluruskan,” ujar Heni.
Menurut dia, kegiatan simulasi ini juga diharapkan menjadi bekal bagi para siswa yang nantinya kuliah untuk menjadi mahasiswa yang tidak takut atau bahkan antidemonstrasi. Adapun bagi siswa yang tidak kuliah diharapkan pengetahuan ini juga bermanfaat untuk hidup di masyarakat menjadi warga yang kritis.
Kita mendorong upaya-upaya pendidikan demokrasi kepada generasi muda dengan cara-cara yang kreatif dan rekreatif.
Secara terpisah, dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Edi Santoso, mengapresiasi upaya kreatif pendidikan demokrasi sejak dini di sekolah tersebut. Demokrasi merupakan satu sistem yang dianggap saat ini paling ideal untuk Indonesia. Namun, demokrasi menuntut sejumlah prasyarat di antaranya masyarakat yang siap.
”Harus kita akui untuk konteks Indonesia, kita belum memenuhinya itu kan masyarakatnya. Jadi demokrasi itu oke kalau masyarakatnya oke. Ada faktor-faktor pendidikan sebagai syarat utama kepahaman. Makanya, saya sangat mengapresiasi bagi siapa pun yang mengupayakan pendidikan demokrasi sejak awal atau sedini mungkin,” kata Edi.
Edi menyampaikan, di sekolah-sekolah terdapat kurikulum seperti Pancasila dan Kewarganegaraan, tetapi belum optimal diajarkan di kelas. ”Pendidikan-pendidikan itu belum optimal, masih diajarkan dengan cara-cara konvensional yang di kelas sehingga membutuhkan satu inovasi pendidikan atau pembelajaran demokrasi yang lebih atraktif. Misalnya saya melihat ada beberapa sekolah yang mengajak muridnya datang ke ruang Dewan (DPRD), berkunjung ke ruang fraksi atau Komisi. Ini lho Dewan. Dewan itu apa, tugas mereka apa,” ujar Edi.
Menurut Edi, ada jalur-jalur yang bisa dipakai untuk menyampaikan aspirasi termasuk juga dengan demonstrasi. Ada jalur-jalur konstitusional, menyampaikan aspirasi itu macam-macam, misalnya datang ke fraksi. Kadang menyampaikan aspirasi itu mungkin juga dengan demonstrasi. Siswa perlu belajar demonstrasi yang berkeadaban yang bertika.
”Jadi bagus itu menurut saya. Kita mendorong upaya-upaya pendidikan demokrasi kepada generasi muda dengan cara-cara yang kreatif dan rekreatif sehingga mereka jadi bagian dari warga negara yang tercerdaskan sebagai upaya untuk menjadikan demokrasi bisa kita nikmati berkahnya atau manfaatnya,” katanya.