Sarkem, Apem, dan Semarak Yogyakarta Kota Festival
Tiga misi besar Festival Sarkem di DIY, yakni pelestarian budaya, pengembangan pariwisata, dan memupus citra negatif.
Pasar Kembang atau yang lebih populer dengan akronimnya, yakni Sarkem, adalah nama sebuah jalan di Yogyakarta yang kerap diasosiasikan miring. Namun, kawasan di jantung kota itu sesungguhnya memiliki pesona budaya dan pariwisata yang memikat, jauh dari bayangan negatif.
Hal itulah yang hendak digaungkan dalam penyelenggaraan Sarkemfest atau Festival Sarkem di Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada akhir pekan, 1-2 Maret 2024. Sarkemfest digelar rutin setiap tahun sejak 2019.
Tahun ini, Sarkemfest dihelat di Jalan Sosrowijayan, yang terhubung dengan Jalan Malioboro di sisi timur dan Jalan Pasar Kembang di sisi utara. Satu blok kawasan yang diapit ketiga jalan di Kelurahan Sosromenduran itu dikenal sebagai kawasan Sarkem.
Sejak zaman kolonial, sebagian kecil area di kawasan itu menjelma sebagai lokasi prostitusi. Namun, sebagian besar area lainnya adalah permukiman warga biasa yang tak terkait aktivitas ”remang-remang” tersebut. Bahkan, kawasan itu kini lebih ramai dengan geliat wisata kuliner, toko oleh-oleh, dan hotel berbintang.
Masyarakat di Sosromenduran pun dikenal teguh melestarikan tradisi dan budaya, salah satunya yakni ruwahan. Tradisi inilah yang diangkat sebagai kegiatan utama dalam Sarkemfest setiap tahun.
Ruwahan adalah tradisi masyarakat Jawa untuk menyambut puasa Ramadhan. Ruwahan diambil dari kata Ruwah, nama bulan dalam kalender Jawa sebelum bulan Ramadhan. Ruwah berasal dari bahasa Arab yang artinya arwah, karena pada bulan itu juga menjadi momentum warga untuk mendoakan leluhur dan anggota keluarga yang telah berpulang.
Apem
Dalam tradisi itu, warga Sosromenduran bergotong royong membuat dan menyajikan tiga jenis penganan, yakni kue apem, kolak, dan ketan. Namun, “bintang utama” dari ketiganya adalah apem sehingga tradisi ini juga kerap disebut sebagai apeman.
Purwadi dan kawan-kawan dalam Ensiklopedi Kebudayaan Jawa (2005) menerangkan, apem berasal dari bahasa Arab, afuwun, yang berarti ampunan. Apem dimaknai sebagai simbol memohon ampunan kepada Allah Yang Maha Kuasa karena hakikat manusia yang tak luput dari salah dan dosa.
Dalam konteks hubungan antarmanusia, apem juga berarti simbol permintaan maaf kepada sesama atas segala khilaf dan keliru. Melalui ini, diharapkan setiap orang dapat memasuki bulan Ramadhan dengan hati yang bersih.
Apem dan penganan lain itu kemudian diarak dalam kirab atau pawai keliling kampung, Jumat (1/3/2024) sore. Ada apem yang dibawa dengan nampah, ada pula yang disusun jadi gunungan. Di sepanjang rute kirab, sebagian apem dibagikan kepada warga dan wisatawan, termasuk di hotel-hotel yang tersebar di kawasan tersebut.
Pada 2019, tradisi ini kemudian dikolaborasikan dengan Sarkemfest agar bisa menjadi daya tarik wisata juga.
Dalam semarak festival, kirab diikuti oleh berbagai kelompok warga dari tujuh kampung di Kelurahan Sosromenduran. Mereka antusias mengikuti acara itu dengan mengenakan berbagai macam kostum.
Barisan kirab paling depan dipimpin oleh rombongan berkostum bregada atau prajurit keraton, kemudian diikuti rombongan ibu-ibu berkebaya, anak sekolah, kelompok seni, hingga barongsai. Usai kirab, apem dan sejumlah sajian lainnya didoakan dalam kenduri bersama sebelum dibagikan kepada warga dan tamu.
Edi Subagyo, pengelola Kampung Wisata Sosromenduran sekaligus salah satu tokoh masyarakat setempat, mengatakan, ruwahan ini merupakan tradisi warisan leluhur. Namun, karena perkembangan zaman, pelaksanaan tradisi ini sempat memudar di masyarakat.
”Karena itu, warga berinisiatif menghidupkan kembali tradisi ini dalam acara besar pada 2010. Pada 2019, tradisi ini kemudian dikolaborasikan dengan Sarkemfest agar bisa menjadi daya tarik wisata juga,” ujarnya.
Citra positif
Edi mengungkapkan, selain melestarikan budaya dan mengembangkan pariwisata, Sarkemfest juga mengemban misi mengangkat citra positif Sarkem. Hal ini untuk mengikis bayangan negatif yang telah melekat pada nama tersebut sejak lama.
Selama dua hari perhelatan festival, sejumlah acara disuguhkan, seperti pentas kesenian tradisional, tarian, musik, dan teater. Ada pula bazar ekonomi kreatif dan kuliner yang dijajakan warga di sepanjang Jalan Sosrowijayan.
Kepala Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta Wahyu Hendratmoko mengatakan, Sarkemfest menjadi event daya tarik wisata Yogyakarta. Nama Sarkem dipakai sebagai nama festival karena sudah dikenal publik luas, tetapi sekaligus hendak diubah persepsinya ke arah yang lebih baik.
Sejak 2021, festival ini pun diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata Yogyakarta dari yang sebelumnya digelar secara swadaya oleh masyarakat. ”Festival ini akan terus rutin diselenggarakan setiap tahun. Tahun depan, kami upayakan lebih besar lagi,” ujar Wahyu.
Baca juga: Malioboro, Kuali Lebur Peradaban Yogyakarta
Dia menjelaskan, kegiatan budaya menjadi salah satu kekuatan Kota Yogyakarta dalam pariwisata. Sebab, kota ini praktis tak memiliki destinasi alam dan minim penambahan obyek-obyek wisata baru.
Karena alasan itu, Kota Yogyakarta memiliki 124 event pariwisata yang terjadwal sepanjang tahun. ”Kami ingin Yogyakarta dikenal sebagai city of festival,” ujar Wahyu.
Hary (45), pengunjung festival asal Jakarta yang menginap di salah satu hotel di Jalan Sosrowijayan, mengaku senang bisa menyaksikan kirab budaya dalam Sarkemfest. ”Atraksi unik yang menampilkan budaya asli Yogyakarta ini tak ditemukan di tempat lain,” katanya.
Asisten Bidang Perekonomian Kota Yogyakarta Kadri Renggono, yang hadir membuka Sarkemfest, menyatakan, event yang lahir dari inisiatif masyarakat seperti ini akan lebih kuat fondasinya. Apalagi, lokasinya sangat strategis di pusat tujuan wisata Yogyakarta.
”Tantangan ke depan adalah bagaimana dalam setiap penyelenggaraan selalu ada hal baru atau berbeda dari sebelumnya. Ini agar masyarakat makin tertarik dan selalu menanti-nanti festival setiap tahun,” ujar Kadri.
Baca juga: Populerkan Destinasi Wisata melalui Festival Budaya