Banjir Landa Tapal Batas Negara di Sambas, Akses Jalan Sempat Terputus
Kendati sudah surut, banjir di Aruk, Kabupaten Sambas, menarik didalami penyebabnya.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·4 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di Aruk, Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, dilanda banjir, Jumat (1/3/2024) malam hingga Sabtu (2/3/2024) pagi. Pada Sabtu siang, banjir berangsur surut. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sambas masih mendata spesifik dampak bencana.
Kepala BPBD Kabupaten Sambas Marjuni menuturkan, hujan lebat melanda Kecamatan Sajingan Besar, tepatnya di Dusun Aruk, Jumat malam. Di sekitar Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Aruk, yang berbatasan dengan wilayah Biawak, Serawak, Malaysia, juga terendam banjir, hingga akses jalan antarnegara sempat terputus.
”Subuh tadi sempat ada jalan yang sulit dilintasi karena tergenang sekitar 50 sentimeter sebab jalannya agak cekung. Namun, pada Sabtu siang jalan sudah bisa dilintasi. Masyarakat juga sudah mulai membersihkan rumah,” kata Marjuni, Sabtu (2/3/2024).
Menurut dia, banjir dipicu curah hujan yang tinggi, hingga air sungai dari perbukitan mengalir deras dan meluap di wilayah Aruk. ”Sungai Aruk sedikit mendangkal karena sudah lama tidak dilakukan pengerukan sehingga air meluap. Banjir di daerah itu baru pertama kali terjadi,” kata Marjuni.
Salah satu wilayah yang terkena banjir adalah Desa Kaliau. Kepala Desa Kaliau, Petrus, menuturkan, hujan di desa pada Jumat malam sebetulnya tidak terlalu lebat. Oleh sebab itu, masyarakat menduga tidak akan banjir. Pada pukul 22.00 ketinggian air bertambah.
Setelah itu, pada Sabtu sekitar pukul 03.00 saat masyarakat tertidur tiba-tiba ada yang terapung karena banjir. Banyak warga yang tidak bisa menyelamatkan barang-barang seperti beras dan sebagainya. Ketinggian banjir saat itu berkisar 30 cm-2 meter.
Hujan lebat kemungkinan justru terjadi di bukit. Di Desa Kaliau biasanya hujan dua malam dua hari pasti sudah diwaspadai akan terjadi banjir. Namun kali ini, baru satu hari satu malam hujan sudah banjir dan terhitung tidak lebat.
“Ini kategori banjir bandang. Sebelumnya pernah beberapa kali terjadi banjir bandang sejak 2008. Namun kali ini berbeda. Hujan di kampung tidak lebat tapi ketinggian air secara tidak terduga bertambah,” ungkapnya.
Desa Kaliau terdiri dari lima dusun. Tiga di antaranya terdampak banjir, yaitu Dusun Sajingan semua penduduk yang berjumlah 963 orang terkena banjir. Kemudian, di Dusun Sungai Enau semua penduduknya yang berjumlah 560 orang juga terkena banjir, dan di Dusun Keranji sekitar tiga per empat dari 506 total penduduknya terkena banjir.
Warga ada yang sempat mengungsi di tempat keluarga yang agak tinggi rumahnya. Namun, jumlahnya tidak diketahui pasti. Ada juga yang bertahan di rumah banjir karena banjir berlangsung hanya sekitar tiga jam yaitu dari pukul 03.00 hingga pukul 06.00.
“Kerusakan fasilitas kesehatan dan sekolah masih didata,” ujar Petrus.
Pantauan BPBD Sambas pada Sabtu sore, banjir sudah surut. Pendataan di lokasi yang terdampak banjir masih terus dilakukan.
Menarik didalami
Sejumlah kalangan menduga banjir yang terjadi tidak semata karena cuaca. Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar Hendrikus Adam menyatakan, di sebagian wilayah perbatasan di Sambas terjadi alih fungsi lahan hutan. Ketika bentang alamnya berubah, saat cuaca ekstrem dengan intensitas hujan cukup lebat, bisa memicu banjir.
”Kami melihat daerah resapan tidak berfungsi optimal. Sungai tidak memiliki kemampuan menampung air yang melimpah hingga meluap,” kata Adam.
Jika dilihat dari berbagai video yang diunggah, menurut dia, banjir di wilayah Aruk di perbatasan Sambas itu cukup luar biasa. Untuk itu, penting bagi pihak terkait memastikan penyebabnya.
”Aruk merupakan wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia. Menarik jika kemudian didalami lebih jauh penyebab banjir termasuk aspek tata ruangnya,” ujar Adam.
Laili Khairnur, Direktur Eksekutif Lembaga Gemawan (Lembaga Pengembangan Masyarakat Swadaya dan Mandiri), yang juga bergerak di bidang lingkungan, menduga, banjir yang terjadi tidak semata karena cuaca, tetapi juga karena alih fungsi lahan di sekitarnya untuk industri ekstraktif perkebunan. Hal tersebut bisa dilihat saat perjalanan darat ke daerah tersebut.
”Sekitar 10 tahun lalu, masih banyak hutan. Tapi, sekarang, sedih melihatnya. Itu bisa dibuktikan ketika melintas dengan jalan darat,” kata Laili.
Setelah ada konversi lahan, diduga terjadi perubahan struktur tutupan hutan sehingga dampaknya seperti sekarang. Ia menambahkan, Kecamatan Sajingan Besar sebetulnya secara topografi posisinya relatif tinggi sehingga seharusnya tidak mudah dilanda banjir.
Catatan Kompas, banjir di Kabupaten Sambas bukan yang pertama kali terjadi tahun ini. Banjir juga sempat terjadi pada Januari. Namun kala itu, banjir terjadi di 8 kecamatan dan 20 desa. Terdapat 2.034 keluarga terdampak banjir dengan ketinggian air hingga 1 meter kala itu (Kompas.id, 17/1/2024).