Banjir Terjadi Tidak Semata karena Cuaca
Bencana banjir di Kalimantan terjadi tak semata faktor cuaca, tetapi diduga pula karena degradasi lingkungan,
Sebagian kabupaten/kota di Kalimantan Barat diterjang banjir. Banjir bahkan memutus transportasi di jalur Trans-Kalimantan. Bencana itu terjadi tak semata faktor cuaca, tetapi diduga pula karena degradasi hutan dan sungai.
Sejumlah sopir truk angkutan logistik duduk di dekat mobil mereka yang terparkir di ujung jalan Trans-Kalimantan, Kecamatan Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, Rabu (12/10/2022), 300 km daari Pontianak, ibu kot Kalbar. Hari itu mereka telah empat hari tertahan di lokasi tersebut karena tidak bisa melintas akibat banjir 1 meter di kota Nanga Tayap.
Mereka tidak bisa mengantar barang ke tempat tujuan tepat waktu. Akhirnya mengeluarkan biaya tambahan untuk makan sekitar Rp 100.000 per hari. Bahkan, ada yang merogoh kocek sendiri karena uang makan sudah tidak mencukupi.
“Saya tidur di mobil selama di Nanga Tayap,” ujar Gino (45), sopir truk logistik yang hendak mengantar barang dari Pontianak, menuju Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang.
Banjir kali ini membuat ia dan rekan-rekannya tertahan lebih lama. Banjir memang pernah menggenangi jalur Trans-Kalimantan di Nanga Tayap beberapa kali. Namun biasanya maksimal dua hari sudah surut.
Tidak hanya Gino yang terhambat. Warga yang memiliki pekerjaan pun tidak bisa menyelesaikan pekerajaannya tepat waktu. Pekerja yang hendak mengecek tower di Kecamatan Sungai Melayu Rayak, masih di Kabupaten Ketapang, juga terjebak di jalan akibat banjir Trans-Kalimantan.
“Harusnya pekerjaan ini sudah selesai kemarin (Selasa). Tapis sampai sekarang masih menunggu banjir surut,” ujar Adit (30), Rabu lalu.
Pengendara sepeda motor yang hendak melintas juga mengeluarkan biaya tambahan karena harus menyewa rakit. Biaya yang dikeluarkan setidaknya berkisar Rp 20.000-Rp 25.000 sekali menyeberang. Sementara di lokasi tersebut ada tiga lokasi banjir sehingga paling tidak memerlukan biaya Rp 60.000-Rp 75.000 sekali menyeberang.
Aktivitas perdagangan pun nyaris lumpuh. Namun warga masih bisa berbelanja ke beberapa toko yang buka karena tidak terkena banjir.
Jalur Trans-Kalimantan di Nanga Tayap sangat strategis karena menghubungkan Kalbar dengan Kalimantan Tengah. Banjir kali ini telah mengancam jalur transportasi yang penting Kalbar-Kalteng. Jalur Trans-Kalimantan di Nanga Tayap tidak bisa dilintasi setidaknya sejak Senin (10/10) hingga Jumat (14/10) dan pada Sabtu (15/10) jalur tersebut baru bisa dilintasi kendaraaan umum.
Banjir di Kecamatan Jelai Hulu, Kabupaten Ketapang, pekan lalu bahkan mencapai lebih dari 2 meter, nyaris mencapai atap rumah. Lebih dari 1.000 jiwa terdampak banjir di daerah tersebut pekan lalu. “Banjir kali ini luar biasa dan diluar dugaan kami,” ujar Camat Jelai Hulu Markus, pekan lalu.
Baca juga : Jalur Trans-Kalimantan di Kabupaten Ketapang Masih Tergenang Banjir
Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Kalbar, hingga Senin (17/10) pukul 09.55 terdapat delapan kabupaten/kota di Kalbar masih dilanda banjir di berbagai lokasi.
Sebanyak 109 desa di 13 kecamatan di Kabupaten Ketapang terendam banjir. Sebanyak 13.385 jiwa di Ketapang terdampak banjir. Sebanyak 116 desa di 11 kecamatan di Kabupaten Sintang terdampak banjir. Sebanyak 56.204 jiwa terdampak banjir di Kabupaten Sintang dan 1.454 jiwa mengungsi.
Dari data yang dihimpun Kompas, geobag yang dibangun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tahun lalu di tepian sungai di kota Sintang, tidak bisa menahan luapan air sungai. Bahkan, pada hari Jumat berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sintang sudah ada warga terserang penyakit batuk, pilek, dan gatal-gatal.
Kabupaten Sekadau juga dilanda banjir. Sebanyak 19 desa dan lima kecamatan terdampak banjir. Sebanyak 20.369 jiwa terdampak banjir di Kabupaten Sekadau dan 651 jiwa mengungsi. Tak hanya itu, Kabupaten Sanggau juga dilanda banjir. Sebanyak 10 desa dan empat kecamatan di terdampak banjir. Sebanyak 5.736 jiwa di Kabupaten Sanggau terdampak banjir.
Selanjutnya, Kabupaten Kapuas Hulu juga dilanda banjir. Sebanyak 10.377 jiwa di 18 kecamatan terdampak banjir. Setelah itu di Kabupaten Melawi. Sebanyak 38.718 jiwa di 169 desa dan 11 kecamatan terdampak banjir di Kabupaten Melawi. Daerah-daerah di atas dilintasi sungai Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia.
Kabupaten Kubu Raya juga banjir. Sebanyak 4.962 jiwa di tiga desa dan tiga kecamatan terdampak banjir. Kota Singkawang juga tidak luput dari banjir. Sebanyak 100 jiwa di tiga kelurahan dan satu kecamatan terdampak banjir.
Meski dari sisi tren pada Senin pagi di sejumlah wilayah yang banjir ada penurunan 20 cm-30 cm, namun warga tetap mewaspadai kemungkinan banjir susulan. Sebab di sejumlah daerah masih hujan.
Dari sisi respons kebijakan, Pemerintah Provinsi Kalbar saat banjir telah menyampaikan bantuan sembako ke daerah terdampak. BPBD juga mengerahkan mobil penjernih air untuk daerah yang kesulitan air minum. Di jalur Trans-Kalimantan Nanga Tayap telah dibuat dapur umum.
Degradasi lingkungan
Di sisi lain banjir yang terjadi di Kalbar sudah diprediksi. Berdasarkan peta prakiraan curah hujan, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memprakirakan, sebanyak enam kabupaten di Kalbar berpotensi terjadi banjir kategori tinggi Oktober hingga November. Enam kabupaten yang berpotensi banjir kategori tinggi, yaitu Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sintang, Kabupaten Melawi, dan Kabupaten Ketapang, Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Kayong Utara.
Namun hal itu diduga bukanlah faktor satu-satunya penyebab banjir. Banjir yang terjadi diduga diperparah oleh degradasi lingkungan yang sejak lama terjadi. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Provinsi Kalbar Nikodemus Ale, mengatakan, bencana ekologis yang terjadi selama ini karena degradasi lingkungan.
DAS Kapuas dan anak Kapuas sudah rusak, salah satunya karena pertambangan emas tanpa izin. Oleh sebab itu, darah timur Kalbar juga kerap banjir
Jika dilihat dari aspek tata ruang “di atas kertas” dari luas administratif Kalbar sekitar 14 juta hektar (ha), sekitar 8 juta ha di antaranya diperuntukan sebagai kawasan non-produksi, dan sekitar 6 juta ha diperuntukan sebagai kawasan produksi, antara lain untuk konsesi perkebunan, pertambangan, hutan tanaman industri dan lain sebagainya.
“Namun kenyataannya, setidaknya tahun 2018-2019, area yang diperuntukan sebagai perkebunan sudah 5 juta ha, hutan tanaman industri sudah 2 juta ha lebih, pertambangan sekitar 3 juta ha. Artinya, ada lahan non-produksi yang digunakan untuk produksi,” ungkap Nikodemus.
Belum lagi kondisi sungai di Kalbar yang kritis. Daerah aliran sungai (DAS) banyak yang dibebani oleh aktivitas investasi berbasis ekstraktif. Pertambangan emas tanpa izin juga mengakibatkan pendangkalan sungai. Tata ruang perlu ditinjau ulang.
“DAS Kapuas dan anak Kapuas sudah rusak, salah satunya karena pertambangan emas tanpa izin. Oleh sebab itu, darah timur Kalbar juga kerap banjir,” ujar Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalbar yang juga pegiat lingkungan Dominikus Uyub.
Berdasarkan catatan Kompas (2021), secara umum, di Kalbar, luas tutupan hutan juga terus berkurang. Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kalbar, pada 1990 luas tutupan hutan 7,5 juta ha. Pada 2012 luas tutupan hutan menjadi 6,9 juta ha dan pada tahun 2018 menjadi 5,5 juta ha. Penyebab deforestasi tersebut karena lemahnya tata kelola.
Sementara itu terkait kondisi sungai, berdasarkan data Balai Pengelola DAS dan Hutan Lindung Kapuas hingga tahun lalu, dari sekitar 14 juta ha luas DAS di Kalbar, sekitar 1,01 juta ha di antaranya dalam kondisi kritis, di antaranya DAS Kapuas. Oleh sebab itu, perlu upaya-upaya nyata dalam jangka panjang mengatasi banjir akibat degradasi lingkungan.
Gubernur Kalbar Sutarmidji, menuturkan, banjir akan terus berulang jika tidak dilakukan pengerukan sungai Kapuas dan pertemuan dua sungai seperti sungai Melawi dan sungai Sintang. Sungai Kapuas saja contohnya, 10 tahun lalu ketika surut kedalamannya 5 meter-7 meter. Namun sekarang hanya 4,5 meter-5,5 meter.
Baca juga : Kapuas, Eksotika yang Merana
Sehingga ada pendangkalan sekitar 2 meter. “Kalau provinsi punya anggaran, biarlah kami yang mengeruk sungai meski itu kewenangan pusat, namun anggaran provinsi terbatas karena anggaran untuk perbaikan jalan rusak saja cukup besar,” tuturnya.
“Yang menjadi masalah saat ini sungai sebagai drainase primer yang menjadi tanggung jawab pusat banyak pendangkalan, antara lain sungai Kapuas, sungai Landak, sungai Melawi, dan sungai Sintang,” ungkapnya.
Selain itu, daya tampung air di darat menurun karena hutan rusak. Tanaman endemik hilang menjadi perkebunan dan pertambangan. Tata kelola hutan di masa lalu tidak terencana dengan baik. “Moratorium penanaman sawit perlu diperpanjang. Kemudian lahan yang dikuasai perkebunan, namun hutannya sudah tidak ada tetapi belum ditanam, izinnya dicabut saja,” tuturnya.