Semangat Restorasi Leuser di Aceh Tamiang
Hutan yang pernah dijadikan perkebunan kelapa sawit kini menjadi agroforestri, bermanfaat bagi alam dan manusia.
Malam mulai larut saat Ngatimin (72), warga Tenggulun, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, mengulang kisah perjuangan merebut hutan lindung dari tangan perusahaan. Hutan yang dulu ditanami kelapa sawit kini dikelola warga menjadi agroforestri.
”Dulu di sini sawit semua. Perusahaan yang tanam,” kata Ngatimin, Selasa (27/2/2024). Belasan warga yang hadir malam itu mengamini pernyataan Ngatimin.
Sejumlah jurnalis nasional dan lokal diundang Yayasan Inisiatif Dagang Hijau dan Forum Konservasi Leuser (FKL) mendokumentasikan gerakan warga akar rumput dalam melindungi hutan.
Pertemuan berlangsung di balai kayu Pusat Restorasi Tenggulun yang terletak di Desa Sumber Makmur, Kecamatan Tenggulun. Lahan yang kini menjadi kompleks pusat restorasi itu pernah menjadi perkebunan sawit ilegal yang ditanami perusahaan. Namun, setelah sawit dimusnahkan, lahan tersebut dipulihkan kembali melalui agroforestri.
Baca juga: Dorong Tanggung Jawab Perusahaan Dagang Atasi Deforestasi Leuser
Lokasi itu masuk dalam hutan lindung bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Menanam kelapa sawit di dalam hutan lindung adalah perbuatan pidana. Namun, kala itu perusahaan dengan gampang mengubah hutan lindung menjadi perkebunan sawit.
KEL merupakan kawasan hutan hujan dataran rendah, rawa gambut, hutan pegunungan dan pesisir, serta padang rumput alpine. KEL diakui secara global sebagai salah satu hamparan hutan hujan tropis terkaya di Asia Tenggara dan memainkan peran sebagai salah satu penyerap karbon terbesar di Asia. KEL juga menjadi rumah bersama empat satwa kunci, yakni orangutan sumatera, gajah sumatera, badak sumatera, dan harimau sumatera.
Ngatimin menuturkan, perjuangan itu dimulai tahun 2006. Awalnya, Ngatimin dan kawan-kawan iri melihat perusahaan dengan mudah memperoleh lahan untuk menanam sawit, sementara warga nyaris tidak punya lahan untuk bertani. Luas lahan yang dibuka itu lebih dari 1.000 hektar.
Warga melakukan advokasi kepada pemerintah agar hutan lindung yang telah ditanami sawit dipulihkan kembali menjadi hutan. Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh dan Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang mengamini desakan warga. Tahun 2014, sawit ilegal di dalam hutan lindung Leuser itu mulai ditebang.
Restorasi
Pemerintah, FKL, dan warga bersepakat untuk memulihkan lahan itu menjadi hutan kembali agar fungsi hutan tetap berjalan. Restorasi dilakukan dengan menanami pohon agroforestri. Melalui skema kerja sama, warga diberi izin mengelola kawasan.
”Maka, dibentuk kelompok tani untuk mengelola dan memulihkan hutan lindung ini,” kata Ngatimin.
Dari 1.000 hektar lebih lahan yang dirambah oleh perusahaan, 716 hektar telah dipulihkan. Sebanyak 350 petani lebih terlibat dalam program restorasi itu. Setiap petani diberi hak mengelola lahan maksimal 2 hektar. Izin pengelolaan berlaku 10 tahun sejak 2016 hingga 2026.
Baca juga: Aceh Kehilangan Tutupan Hutan 8.906 Hektar
Namun, setelah pembatalan semua bentuk kerja sama di dalam hutan yang digantikan dengan skema perhutanan sosial, kawasan itu telah ditetapkan sebagai perhutanan sosial. Artinya, hingga 35 tahun ke depan warga dapat mengelola hutan.
”Kami sangat beruntung mendapatkan perhutanan sosial, kami bisa mengelola hutan tanpa harus membayar. Kalau HGU perusahaan hanya 25 tahun dan harus bayar pajak,” kata Ngatimin.
Di lahan itu kini telah tumbuh tanaman agroforestri. seperti durian, jengkol, nangka, dan sengon, serta tanaman hutan. Di antara tanaman keras, mereka menanam pisang dan hortikultura. ”Petani selalu punya penghasilan,” ujarnya.
Keberadaan agroforestri menjadi harapan baru bagi petani di Tenggulun. Beberapa tahun lagi Tenggulun tidak hanya dikenal sebagai penghasil sawit, tetapi juga durian.
Petani lain, Rahwanto (47), telah menanam 1.000 batang pohon durian di lahan 2 hektar itu. Sebagian telah berusia tiga tahun, mungkin dua atau tiga tahun lagi mulai berbuah. ”Kami mau Tenggulun menjadi contoh pengelolaan agroforestri,” katanya.
Rahwanto memperlihatkan batang pohon durian yang telah berusia tiga tahun. Pohonnya rimbun. Selain menggunakan pupuk organik, bibitnya pun unggul. Untuk memenuhi kebutuhan bibit, FKL membuat rumah pembibitan.
Manajer Restorasi FKL Nurul Hidayat Lubis menuturkan, selain melakukan penanaman, warga bersama tim FKL dan petugas dari kesatuan pengelolaan hutan berpatroli rutin untuk mencegah aksi perambahan dan pembalakan liar.
Petani antusias memulihkan hutan dan menjaganya. Dia pun optimistis, dengan pola agroforestri, lahan itu akan pulih dan memberikan manfaat bagi manusia dan lingkungan.
Baca juga: Pelestarian Hutan Leuser untuk Konservasi dan Kesejahteraan Warga
Dihubungi terpisah, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) III DLHK Aceh Fajri mengatakan, restorasi merupakan upaya untuk mengembalikan fungsi hutan ke posisi semula. Pelibatan warga diperlukan dalam pemulihan itu. Ini sekaligus sebagai bentuk pemberdayaan warga yang tinggal di sekitar hutan. Dengan demikian, warga tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga ikut merawat, melindungi dan menikmati hasil.
Fajri mengatakan dampak baik dari restorasi mulai terlihat. Dulu anak-anak sungai di kawasan itu keruh dan kerap kering, tetapi kini airnya mulai jernih. ”Dulu tidak ada burung, sekarang mulai banyak,” katanya.
Restorasi memberikan dua manfaat, yakni pemulihan alam dan manfaat ekonomi bagi warga. Warga yang berada di sekitar hutan, lanjutnya, dapat mengelola lahan sehingga memiliki sumber penghasilan.
Namun, aktivitas restorasi yang berjalan lancar bukan berarti tanpa tantangan. Ia khawatir dengan masih adanya bujuk rayu dari sejumlah orang agar petani meninggalkan aktivitas restorasi. Karena itu, diperlukan dukungan yang berkelanjutan terhadap para petani. Jangan sampai petani merasa sendirian.