Dorong Tanggung Jawab Perusahaan Dagang Atasi Deforestasi Leuser
Kawasan Ekosistem Leuser di Aceh Tamiang diproteksi dari perluasan perkebunan sawit illegal. Petani lokal diberdayakan.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
KARANG BARU, KOMPAS — Alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian merupakan ancaman paling besar kelestarian Kawasan Ekosistem Leuser di Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh. Melalui program lanskap berkelanjutan yang melibatkan dunia usaha, pemerintah, dan lembaga swadaya, deforestasi ditekan dan petani sawit diberdayakan.
Manajer Komunikasi Yayasan Inisiatif Dagang Hijau (YIDH) Margareth Meutia menyatakan, dari program lanskap berkelanjutan, sebanyak 2.200 petani di Aceh Tamiang mendapatkan dua sertifikasi sekaligus, yakni perkebunan kelapa sawit Indonesia berkelanjutan (ISPO) dan standar global untuk perkebunan kelapa sawit (RSPO).
Perolehan dua sertifikasi tersebut menjadi jaminan bahwa kelapa sawit milik 2.200 petani Aceh Tamiang dengan luas lahan 3.189 hektar telah memenuhi standar nasional dan global, baik dari sisi praktik pertanian maupun komitmen menjaga kawasan hutan. Sertifikat tersebut membuat kelapa sawit dari Aceh Tamiang mudah diterima di pasar global.
”Melalui program ini kami mendorong perusahaan dagang untuk ikut bertanggung jawab terhadap lingkungan atas aktivitas dagang yang mereka lakukan,” kata Meutia, Selasa (27/2/2024).
Meutia mengatakan, program lanskap berkelanjutan di Aceh Tamiang dimulai 2020 dan berakhir Maret 2024. Program ini diinisiasi oleh YIDH dan Unilever. Tujuan utama program ini untuk menerapkan praktik pertanian berkelanjutan dengan semangat melindungi kawasan dan meningkatkan kesejahteraan petani.
Aceh Tamiang menjadi lokasi program lanskap berkelanjutan karena kabupaten itu masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). KEL merupakan kawasan hutan hujan dataran rendah, rawa gambut, hutan pegunungan dan pesisir, serta padang rumput alpine.
KEL diakui secara global sebagai salah satu hamparan hutan hujan tropis terkaya di Asia Tenggara dan memainkan peran sebagai salah satu penyerap karbon terbesar di Asia. KEL juga menjadi rumah bersama empat satwa kunci, yakni orangutan sumatera, gajah sumatera, badak sumatera, dan harimau sumatera.
Melalui program ini kami mendorong perusahaan dagang untuk ikut bertanggung jawab terhadap lingkungan atas aktivitas dagang yang mereka lakukan.
Meutia menuturkan, program lanskap berkelanjutan jadi bentuk intervensi bersama untuk menyelamatkan KEL dan memberdayakan petani lokal. Program ini didanai oleh Unilever, tetapi dalam pelaksanaan melibatkan para pihak.
Meutia mengatakan, melalui program lanskap berkelanjutan, kawasan hutan yang mengalami alih fungsi karena telanjur ditanami kelapa sawit direstorasi kembali. Tanaman kelapa sawit tanpa izin ditebang, kemudian ditanami tanaman hutan. Sedikitnya 546 hektar kawasan bekas perkebunan telah direstorasi.
”Dampak dari program ini pada tahun 2022 laju deforestasi di Aceh Tamiang menurun signifikan menjadi 50 hektar per tahun,” kata Meutia.
Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Aceh Tamiang Yunus mengatakan, pihaknya sangat mengapresiasi program lanskap berkelanjutan karena manfaat program dirasakan langsung oleh petani lokal dan telah berhasil menurunkan angka deforestasi kawasan hutan Leuser.
”Program ini tidak boleh berakhir karena masih banyak petani yang harus diberdayakan,” kata Yunus.
Yunus mengatakan, atas pencapaian sertifikasi ISPO dan RSPO petani Aceh Tamiang yang terlibat dalam program itu telah menerima pembayaran premium pembelian kredit oleh Unilever senilai Rp 850 juta. Dana itu disalurkan sebagian untuk insentif petani, pembelian pupuk, dan kebutuhan perkebunan sawit lainnya.
”Petani tidak lagi mengganggu hutan. Kami membatasi kawasan yang bisa ditanami sawit dan untuk hutan agar tetap menjadi paru-paru dunia. Kami ingin petani Aceh Tamiang dikenal sebagai petani yang juga menjaga kawasan,” kata Yunus.
Secara geografis separuh dari kawasan Aceh Tamiang terdiri atas hutan alam, 112.000 hektar. Sedangkan wilayah perkebunan 67.300 hektar atau 30 persen dari luas wilayah. Perkebunan kelapa sawit paling dominan, yakni 43.000 hektar. Setengah dari luasan ini, yakni 21.000 hektar, merupakan kebun sawit petani swadaya dan sisanya adalah konsesi perusahaan. Adapun jumlah petani sawit di Aceh Tamiang mencapai 11.000 orang.
Koordinator Program Keberlanjutan Forum Konservasi Leuser (FKL) Hendra mengatakan, pengembangan kelapa sawit di Aceh Tamiang tidak boleh lagi merusak hutan. Program lanskap berkelanjutan merupakan jalan keluar untuk memberdayakan petani dan menjaga hutan.
”Kami ingin Aceh Tamiang menjadi model secara global meningkatkan produksi kelapa sawit tanpa merusak hutan,” kata Hendra.
Melalui program itu petani dilatih pola perkebunan yang baik, tidak merusak hutan, membuat pupuk organik, penguatan kelembagaan, hingga literasi keuangan.