Nestapa Petani Jateng dalam Cengkeraman Anomali Iklim
Tidak pernah ada yang mengira semua padi akan rusak gara-gara banjir. Uang yang seharusnya dibayar ikut hilang.
Para petani di sejumlah wilayah di Jawa Tengah masih terus berjuang di tengah anomali iklim. Saat musim hujan tiba, para petani merana karena banjir meluluhlantakkan tanamannya. Sementara itu, ketika kemarau tiba, para petani menderita karena tanamannya puso kekurangan air.
Hujan deras mengguyur Desa Cangkring B, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Demak, Jateng, Sabtu (24/2/2024) pagi hingga siang. Kendati hujan belum sepenuhnya reda, Tumini (57), warga setempat, tetap melangkahkan kakinya menuju ke sawahnya. Siang itu, ia bersama suaminya bermaksud untuk memanen padi mereka yang terendam banjir selama banjir selama lebih kurang 16 hari.
Baca juga: Beras Mahal
Beberapa kali, mata Tumini menatap nanar hamparan tanaman padinya yang telah rebah. Sekitar sebulan sebelumnya, padi-padi yang ditanam di lahan dengan luas sekitar 3.600 meter persegi itu sudah laku dibeli pengepul dengan harga yang disepakati sebesar Rp 5 juta.
”Tidak pernah ada yang mengira semua (padinya) akan rusak gara-gara banjir. (Uang) Yang seharusnya dibayar juga ikut hilang terbawa banjir,” kata Tumini sambil tertawa getir.
Selama puluhan tahun menjadi petani, Tumini baru pertama kali mengalami gagal panen akibat banjir. Sebelumnya, banjir beberapa kali terjadi di wilayahnya, tetapi banjir tersebut langsung surut dalam dua hingga tiga hari sehingga tanaman-tanaman Tumini masih bisa diselamatkan.
”(Gabah) Ini nanti tetap akan saya ambil untuk konsumsi sendiri. Busuk yo wis ben, mau bagaimana lagi? Kalau mau dijual juga tidak akan laku,” tutur Tumini sambil terus bergerak mengumplkan bulir-bulir gabah dengan kedua telapak tangannya.
Sedianya, tanaman padi yang ditanam Tumini sejak November 2023 digadang-gadang bakal menghasilkan gabah hingga 10 kantong atau 550 kilogram. Karena tergenang banjir sembilan hari sebelum dipanen, gabah yang kemungkinan dihasilkan paling banyak 5 kantong atau sekitar 275 kilogram.
Baca juga: Harga Tidak Terkendali Beras di Wakatobi Capai Rp 1 Juta Per Karung
Banjir yang menggenangi lahan pertanian Tumini terjadi karena jebolnya belasan tanggul sungai di sejumlah titik di Demak pada Kamis (8/2/2024). Di saat yang sama, hujan ekstrem mengguyur wilayah itu. Akibatnya, air dengan ketinggian mencapai 3 meter merendam permukiman hingga lahan pertanian selama belasan hari.
Tumini menyebut, tanggul-tanggul sungai yang jebol itu tanahnya merekah disengat udara panas di sepanjang musim kemarau. Begitu hujan deras turun, rekahan-rekahan tanah itu terisi air.
”Habis kemarau panjang, terus hujan derasnya minta ampun sehingga ambrol tanggulnya,” ujarnya.
Saya sedih sekali melihat gabah-gabah saya jadi seperti ini.
Tanaman padi seluas 2.000 meter persegi milik Ahmad Sudirman (44), warga Desa Cangkring B, juga gagal panen akibat banjir. Dari total sekitar 1,5 ton gabah yang dipanen Ahmad, lebih dari separuhnya dalam kondisi busuk. Ahmad memutuskan untuk menjual murah gabah-gabah yang belum busuk.
”(Hasil panenan) Sudah saya tawarkan ke sejumlah pedagang. Sayangnya, belum ada yang mau menawar. Kalau gabah yang bagus, bisa laku Rp 8.000 per kilogram. Namun, kalau gabah saya ada yang menawar Rp 6.000 per kilogram, saya langsung lepas,” kata Ahmad.
Jika gabah-gabahnya itu laku dijual, hasilnya akan dipakai Ahmad untuk membayar upah buruh yang membantunya panen.
Tak hanya memorak-porandakan harapan petani di Demak, banjir yang terjadi pada pekan kedua Februari itu juga berdampak kepada para petani di Kecamatan Undaan, Kudus. Pada Minggu (25/2/2024) siang, matahari bersinar terik.
Sumikah (38), warga Desa Lambangan, Kecamataan Undaan, sibuk membolak-balikkan gabah yang dijemurnya di atas atas anyaman bambu di depan rumahnya.
Sesekali, tangan Sumikah menggenggam gabah-gabah itu lalu menatapnya lekat-lekat. Di ujung gabah-gabah itu telah muncul kecambah. Saat masih di sawah, gabah-gabah itu dua kali terendam akibat hujan deras dan luapan sungai. Total waktu terendam padi-padi tersebut enam hari.
”Saya sedih sekali melihat gabah-gabah saya jadi seperti ini. Kemarin-kemarin pas masih di sawah itu nyenengke (menyenangkan), kuning, bagus banget. Saya sudah senang karena akhirnya bisa panen bagus setelah empat tahun berturut-turut panennya jelak, eh kok malah akhirnya begini lagi,” ujarnya.
Empat tahun terakhir, panen padi yang dihasilkan Sumikah tidak maksimal karena banjir dan kekeringan. Sawah seluas seperempat hektar milik Sumikah berada di selatan tanggul Sungai Wulan. Posisinya yang lebih tinggi dari tanggul membuat sawah itu kesulitan mendapatkan pengairan.
”Kalau kemarau, susah sekali air. Harus keluar uang lagi untuk biaya memompa air dari sungai ke sawah. Jika sungainya kering dan air yang bisa dipompa sedikit, tanaman padinya kekurangan air sehingga tumbuhnya tidak maksimal,” ujar Sumikah.
Sumikah menuturkan, gabah-gabah yang dipanennya itu akan dikonsumsi sendiri dan akan dijual sebagian. Dari tetangganya, Sumikah mendapatkan informasi bahwa gabah yang terendam banjir masih bisa dijual dengan harga Rp 6.000 per kilogram. Hal itu karena di ketersediaan gabah di pasaran menipis dan permintaannya tinggi.
”(Hasil penjualan gabah) Mungkin tidak akan cukup untuk menambal kerugian yang saya tanggung. Kalau dihitung sejak awal menyiapkan lahan, menanam, memupuk, merawat dan menjaga dari serangan hama, kira-kira saya merugi Rp 20 juta,” kata Sumikah.
Gagal panen akibat banjir yang terjadi awal Februari 2024 juga dirasakan oleh para petani di Kecamatan Gubug, Kabupaten Grobogan. Ahmadi, pengurus Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Gubug, mengatakan, ada empat desa yang terdampak banjir di Kecamatan Gubug. Wilayah paling parah terdampak banjir adalah Desa Kemiri dengan total luasan lahan pertanian terdampak 159 hektar. Seluruhnya merupakan lahan tanam padi dengan usia 40-50 hari.
”Dari 159 hektar yang terdampak banjir, yang sudah pasti puso sekitar 50 hektar. Yang masih bisa diselamatkan sekitar 109 hektar meskipun produktivitasnya turun dari 7-8 ton per hektar menjadi 3-4 ton per hektar,” ujar Ahmadi.
Karena sudah capek usaha ini dan itu, uang juga sudah keluar banyak, saya menyerah.
Ribuan hektar
Berdasarkan catatan Dinas Pertanian dan Perkebunan Jateng, banjir yang terjadi di sepanjang Februari di Demak dan Grobogan memicu ribuan hektar tanaman padi puso. Di Demak sedikitnya 3.280 hektar lahan tanam padi terdampak genangan banjir. Dari jumlah tersebut, sedikitnya 1.975 hektar puso.
Di Grobogan, luas lahan tanam padi yang terendam, yakni 5.401 hektar. Adapun yang gagal panen akibat banjir sedikitnya 440 hektar.
”Saat ini dalam proses pengusulan untuk bantuan ganti rugi. Jika sebelumnya hanya petani yang tanamannya puso yang boleh mengusulkan bantuan, sekarang yang terdampak juga boleh mengusulkan,” ujar Kepala Balai Perlindungan Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Dinas Pertanian dan Perkebunan Jateng Francisca Herwati Prarastyani, Kamis (29/2/2024).
Menurut Herwati, para petani yang tanamannya terdampak dan puso bakal mendapatkan bantuan berupa benih. Kendati demikian, ia mengaku tak mengetahui jumlah benih yang akan diterima oleh petani. Hal itu ditentukan oleh Kementerian Pertanian.
Selain bantuan benih, para petani yang sudah mengikuti program Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP) juga berhak mendapatkan uang ganti rugi. Besaran ganti rugi untuk petani peserta AUTP sebesar Rp 6 juta per hektar.
Kekeringan
Kamelan (50), petani asal Kecamatan Margorejo, Kabupaten Pati, mengaku, tanaman padinya tidak terdampak oleh hujan deras yang mengguyur wilayahnya. Tanaman padi yang ditanam di lahan seluas 3,6 hektar tersebut akan segera dipanen pada pekan pertama Maret.
Kini, Kamelan akhirnya bisa berbahagia menyambut masa panen padi yang ditanamnya. Lima bulan sebelumnya, Kamelan menderita karena padi yang ditanamnya puso akibat kekeringan.
”Saat puso itu, padi saya berusia dua bulan. Tinggal satu bulan lagi sudah panen. Tetapi gagal karena saat itu memang benar-benar tidak ada air. Embung, waduk, sungai, mengering semua karena kemarau yang berkepanjangan,” tutur Kamelan.
Bukan tanpa usaha, Kamelan telah berupaya mencari sumber air lain untuk sawahnya. Ia pernah membuat sumur bor di sungai yang berada di sekitar sawahnya. Kamelan harus menggali hingga ke dalaman 120 meter untuk mendapatkan air, yang ternyata jumlahnya tidak banyak. Bahkan, hanya dalam hitungan hari, sumur itu mengering.
Kamelan juga sudah pernah meminta suplai air dari Waduk Randugunting di Blora. Hasilnya, air dari waduk tersebut dua kali mengalir ke sungai yang berada di sekitar sawah Kamelan. Air yang dialirkan itu disebutnya tak cukup.
”Karena sudah capek usaha ini dan itu, uang juga sudah keluar banyak, saya menyerah. Akhirnya saya harus menanggung kerugian mencapai ratusan juta,” kata Kamelan.
Kamelan bukanlah petani satu-satunya yang merana karena sawahnya gagal panen akibat kekeringan yang melanda Jateng. Berdasarkan catatan Dinas Pertanian dan Perkebunan Jateng hingga Agustus 2023, sedikitnya 5.150,7 hektar lahan tanam padi di berbagai daerah di Jateng terdampak kekeringan.
Dari jumlah tersebut, sedikitnya 254,1 hektar dinyatakan puso. Padi-padi yang puso itu tersebar di berbagai daerah, seperti Banyumas, Cilacap, Brebes, Kendal, Pekalongan, Rembang, Kebumen, Tegal, dan Purworejo.
Baca juga: Dampak El Nino Membuat Waktu Panen Mundur
Anomali iklim yang membuat cuaca menjadi tak menentu merugikan para petani. Untuk itu, Wakil Ketua KTNA Jateng Hardiono berharap para petani mengikuti program AUTP. Jika tanaman mereka puso akibat banjir maupun kekeringan, mereka akan mendapatkan biaya ganti rugi.
”Iuran AUTP itu tergolong murah, yakni Rp 36.000 per hektar per musim tanam. Kalau misal puso, gagal panen, yang ikut (program AUTP) dapat Rp 6 juta per hektar, lumayan daripada tidak dapat ganti sama sekali,” ujarnya.