Tawuran Meneror Magelang, Hukuman Menanti Siswa Pembawa Senjata Tajam
Perilaku membawa senjata tajam sudah tidak bisa ditoleransi. Pelajar yang membawa senjata tajam akan diproses hukum.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Kepolisian Resor Kota Magelang, Jawa Tengah, memastikan bahwa setiap pelajar yang ketahuan membawa senjata tajam untuk keperluan tawuran akan diproses hukum. Karena kasus itu sudah meresahkan dan berpotensi membahayakan keselamatan orang lain, polisi tidak akan lagi memberi peluang untuk menyelesaikannya dengan penyelesaian secara kekeluargaan (restorative justice).
”Kami sudah menutup peluang bagi pembawa senjata tajam untuk melakukan restorative justice. Baik itu sudah melakukan tawuran atau belum, menimbulkan korban atau tidak, perilaku membawa senjata tajam itu sudah tidak bisa ditoleransi lagi,” ujar Kepala Polresta Magelang Komisaris Besar Mustofa, Kamis (29/2/2024).
Perilaku membawa senjata tajam tersebut sering kali dikeluhkan karena menimbulkan keresahan masyarakat. Di jalan, dengan membonceng atau mengendarai sepeda motor, para pelajar tersebut sering diketahui membawa senjata tajam, misalnya celurit atau parang, kemudian menggesekkannya ke jalan di sepanjang perjalanan.
Entah apa tujuannya, tetapi tindakan ini tentu saja membuat banyak orang yang berpapasan merasa ngeri, cemas, dan takut.
Selain itu, perilaku membawa senjata tajam tersebut dinilai tidak lagi bisa ditoleransi karena para pelajar yang masih berusia anak-anak tersebut sudah mempersiapkannya dengan memesan atau bahkan membuatnya sendiri.
”Dengan membuat dan mempersiapkan senjata tajamnya sendiri, berarti dalam dirinya sudah ada niat, keinginan untuk melukai, atau bahkan membunuh orang lain,” ujarnya.
Tidak sekadar parang atau celurit, seorang pelajar pembawa senjata tajam diketahui pernah membuat senjata berupa cakram, mirip dengan senjata cakra, yang dalam kisah pewayangan Mahabharata merupakan senjata dari Prabu Kresna.
Tidak sekadar menjadi urusan polisi, Mustofa menuturkan, perilaku pelajar yang membawa senjata tajam ini semestinya juga menjadi perhatian sekolah, keluarga, dan orangtua.
Tawuran selama ini terjadi pada larut malam atau bahkan dini hari, yang semestinya menjadi waktu istirahat bagi anak-anak. Dengan mempertimbangkan tersebut, orangtua semestinya lebih peduli dan segera mencari anak-anaknya yang belum pulang dan masih berkeliaran di luar rumah pada malam hari.
Aksi tawuran di Kabupaten Magelang biasanya juga bermula dari saling tantang di media sosial. Hal ini semestinya juga menjadi perhatian orangtua.
Sekolah, termasuk dinas pendidikan dan kebudayaan, menurut dia, sebaiknya juga tidak ragu untuk memberikan sanksi tegas, seperti mengeluarkan pelajar pembawa senjata tajam dari sekolah dan tidak memberi akses bagi pelajar tersebut untuk bersekolah di wilayah Kabupaten Magelang.
”Harus ada sanksi tegas sehingga pelajar dan keluarganya turut berpikir bahwa perilaku membawa senjata tajam bukan masalah sepele yang bisa dibiarkan terjadi,” ujarnya.
Perilaku membawa senjata tajam tersebut sering kali dikeluhkan karena menimbulkan keresahan masyarakat.
Selama dua bulan terakhir, di Kabupaten Magelang telah terjadi lima kali kejadian tawuran yang menimbulkan dua korban meninggal dan belasan lainnya mengalami luka-luka.
Sebanyak 95 persen tawuran ini dilakukan oleh pelajar. Dalam kejadian tersebut, banyak pelaku membawa senjata tajam dan beberapa orang di antaranya melakukan tawuran dalam kondisi mabuk.
Terakhir, 18 dan 24 Februari lalu, Polresta Magelang telah mengamankan lima pelaku pembawa senjata tajam dari dua lokasi, yaitu di Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang. Semua pelaku masih berusia 15-16 tahun. Mereka membawa senjata tajam untuk tawuran.
Kelima pelaku anak ini dinyatakan melanggar Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara.
Kepala Bidang Pembinaan SMP Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Magelang Zamzin mengatakan, pihaknya sudah berupaya mendata semua anak yang pernah bermasalah dengan hukum, yaitu ketahuan membawa senjata tajam. Sekolah tempat pelajar tersebut belajar wajib untuk memantau anak-anak tersebut tiga kali dalam sehari.
Selain pagi hari di kelas, sekolah harus memastikan keberadaan anak-anak tersebut pada siang hari di rumah dan kemudian pada pukul 21.00 untuk memastikan semua anak sudah berada di rumah.
Selain itu, di sekolah juga sudah dijalankan pembelajaran profil pelajar Pancasila yang memberi kesempatan kepada anak-anak untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
”Dengan membuat anak-anak sibuk di sekolah, maka diharapkan mereka pun tidak akan lagi terpikir untuk berlaku yang aneh-aneh saat di rumah,” ujarnya.