Harga Beras Mencekik, Pangan Lokal dan Operasi Pasar Belum Optimal
Kenaikan harga beras yang tidak terkendali mengerek harga pangan lain, termasuk pangan lokal. Warga semakin resah.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
Kenaikan harga beras memicu kenaikan harga barang lain, termasuk pangan lokal. Kasoami, olahan ubi yang menjadi pangan lokal masyarakat di kepulauan Sulawesi Tenggara, misalnya, ikut melonjak. Warga resah akan harga bahan pangan yang semakin tidak terkendali. Di sisi lain, operasi pasar belum sepenuhnya bisa mengatasi persoalan itu.
Kamis (29/2/2024) pagi, di Kaledupa, Wakatobi. Edi (34) takjub saat menanyakan harga seporsi kasoami kepada pedagang. Harganya mencapai Rp 10.000. Sehari sebelumnya, ia membeli seporsi yang sama dengan harga Rp 8.000.
”Kalau di pembuat itu harganya masih Rp 8.000, tapi kalau tangan kedua sudah naik Rp 10.000. Sebulan lalu, seporsi yang sama masih Rp 5.000,” kata Edi, dihubungi dari Kendari.
Kasoami, atau disebut soami di beberapa wilayah, adalah makanan pokok masyarakat kepulauan Sultra yang berbahan dasar singkong. Setelah diparut, singkong diperas dan disebut kaopi. Bahan ini yang menjadi bahan utama pembuatan kasoami yang dicetak berbentuk lancip.
Edi menuturkan, kenaikan harga kasoami ini mulai terjadi seiring melonjaknya harga beras. Di Kaledupa, harga beras premium tertinggi sekitar Rp 850.000 untuk 50 kilogram. Sebelumnya, harga beras di pulau ini Rp 720.000 per karung isi 50 kilogram.
Menurut salah satu penyalur, tambahnya, saat ini mereka hanya berani mengambil untung Rp 20.000 per karung, jauh dibandingkan sebelumnya yang bisa Rp 70.000 per karung. ”Karena kalau untung tinggi, harga juga tinggi, dan masyarakat yang akan semakin kesulitan. Alhamdulillah harga beras tidak seperti di daerah seberang yang saya dengar sudah sampai Rp 1.000.000 per karung,” katanya.
Wa Sapoo (47), warga Wangi-wangi, pulau ibu kota Kabupaten Wakatobi, menceritakan, selain kasoami, harga berbagai bahan pangan lokal memang terus naik. Harga sekarung keladi bisa mencapai Rp 400.000, dari sebelumnya Rp 200.000.
”Harga ubi kuning, ubi putih, juga naik. Kasoami sudah naik, ukurannya juga jadi kecil. Semuanya naik sejak harga beras terus melonjak,” ucapnya.
Iin Suyanto (40), warga Wangi-wangi lainnya, menuturkan, harga beras memang terus melonjak tinggi, sekitar Rp 900.000 per karung. Sebelumnya, harga beras ada pada kisaran Rp 600.000-Rp 700.000 per karung.
”Kalau ambil di eceran bisa sampai Rp 1 juta per karung dengan harga Rp 20.000 per kilogram,” kata Iin.
Berdasarkan data harga harian bahan pokok yang dikumpulkan Pemerintah Kabupaten Wakatobi pada Senin (26/2/2024), beras kualitas sedang dijual Rp 19.500 per kilogram. Sementara itu, harga beras kualitas premium Rp 21.000 per kilogram atau Rp 1.050.000 per karung isi 50 kilogram.
Meski bukan penghasil beras, wilayah Wakatobi kaya akan pangan lokal, mulai dari ubi, singkong, hingga keladi. Sebelum beras masif, masyarakat daerah yang terkenal dengan keindahan alamnya ini mengonsumsi pangan lokal.
Pasar murah
Dihubungi terpisah, Sekretaris Daerah Sulawesi Tenggara Asrun Lio mengatakan, pihaknya telah menurunkan Satgas Pangan ke Wakatobi untuk mengecek tingginya harga beras. Tim akan mengecek situasi hingga penyebab kenaikan harga yang tinggi.
”Mereka berkoordinasi dengan Pemkab, Bulog, dan jajaran lainnya. Saya masih menunggu laporan tim di lapangan, seperti apa temuannya,” katanya, Kamis pagi.
Secara umum, ia menambahkan, harga beras yang tinggi di Sultra disebabkan hasil panen petani lebih banyak dijual ke luar daerah. Akibatnya, stok beras di wilayah itu sedikit dan harus didatangkan dari luar. Selain itu, hasil panen juga tidak maksimal karena pengaruh El Nino dan banjir lokal yang terjadi. Berbagai program dijalankan, termasuk pasar murah di sejumlah tempat di wilayah ini.
Program pasar murah memang bisa menekan harga, tetapi tidak menyelesaikan persoalan. Selama ini, beras di Sultra, misalnya, terkendala pengelolaan hasil panen.
Ekonom dari Universitas Halu Oleo, Syamsul Anam, menjabarkan, kenaikan harga pangan lokal secara otomatis terjadi saat warga mulai beralih akibat harga beras yang tinggi. Pasar akan mengoreksi harga seiring tingginya permintaan.
”Warga yang tidak mampu membeli beras mulai mencari substitusi. Dan secara alamiah akan mengerek harga di pasar,” katanya.
Pemerintah, lanjut Syamsul, harus melihat kenaikan harga pangan ini secara lebih luas. Program pasar murah memang bisa menekan harga, tetapi tidak menyelesaikan persoalan. Selama ini, beras di Sultra, misalnya, terkendala pengelolaan hasil panen.
Akibatnya, gabah dari Sultra lebih banyak terserap ke daerah lain. ”Hilirisasi pangan harus dilakukan, bagaimana agar hasil panen benar-benar hingga produk akhir. Termasuk juga upaya untuk kemajuan pangan lokal di wilayah,” ucapnya.