Budidaya Perikanan Maluku Didorong Kian Menjangkau Pasar Global
Tidak hanya dalam negeri, pengembangan sektor budidaya perikanan diharapkan mendorong kinerja ekspor Maluku.
Oleh
RAYNARD KRISTIAN BONANIO PARDEDE
·4 menit baca
AMBON, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Maluku serta Kementerian Kelautan dan Perikanan terus mendorong kegiatan budidaya untuk meningkatkan sektor perikanan. Potensi budidaya yang terus naik membuat masyarakat mulai meminati sektor ini. Kerja sama dengan berbagai negara juga diperlukan agar hasil perikanan di Maluku bisa secara rutin menembus pasar global.
Kepala Bidang Budidaya Pengolahan Pemasaran Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Maluku Karolis Iwamony mengatakan, pemerintah masih akan fokus mengembangkan budidaya berbasis potensi tiap-tiap wilayah kepulauan. Hal ini sejalan dengan ditetapkannya lima prioritas pengembangan budidaya di Maluku oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Lokasi pengembangan tersebut ada di wilayah Maluku Tengah dengan budidaya kepiting, Kota Tual untuk budidaya teripang, dan Kabupaten Maluku Tenggara yang menjadi kampung budidaya rumput laut. Selain itu, ada pula Kabupaten Kepulauan Aru, Kabupaten Buru, serta Kabupaten Buru dengan rumput laut. Meskipun demikian, pihaknya tetap akan mengembangkan potensi budidaya lain, khususnya pembudidaya skala kecil, seperti di wilayah Kota Ambon.
Dalam pengembangan nantinya, pemerintah akan memberikan bantuan pelatihan, benih, dan peralatan. Bantuan alat seperti keramba dan jaring memang sangat dibutuhkan, mengingat harganya yang bisa mencapai ratusan juta rupiah.
”Budidaya mulai potensial dan bisa bersaing dengan sektor perikanan tangkap yang memang masih menjadi pilihan banyak warga Maluku. Namun, kinerja sektor budidaya konsisten positif sehingga potensial untuk dibantu,” ucapnya di Ambon, Maluku, Selasa (27/2/2024).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Maluku, nilai tukar pembudidaya ikan (NTPi) meningkat positif. Saat budidaya mulai menggeliat pada 2019, nilai NTPi sudah berada di angka 108,2, lalu turun akibat pandemi Covid 19 menjadi 90,14 tahun 2020. Kondisi mulai membaik pada 2021 dengan naiknya nilai NTPi menjadi 97,63, dan naik lagi pada 2022 menjadi 109,19.
Pada 2023 nilai NTPi bahkan mencapai angka 116, tetapi pada akhir tahun lalu turun menjadi 110,53. Angka ini dinilai masih cukup baik. Hal ini mengingat, apabila nilai NTPi berada di atas nilai 100, maka pembudidaya sudah mendapatkan surplus keuntungan dari kegiatan usahanya. Penurunan ini diduga terjadi karena menurunnya produksi rumput laut, yang terganggu akibat perubahan iklim.
Di Maluku, pamor sektor budidaya memang belum setenar sektor perikanan tangkap, khususnya dalam mengambil porsi ekspor. Karena itu, agar dapat memberikan nilai tambah bagi pembudidaya, pemerintah daerah mulai menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, salah satunya dari Korea Selatan. Pembahasan kerja sama pengembangan rumput laut dengan Korea Selatan tersebut diharapkan dapat membantu pembudidaya mengembangkan produknya langsung di tempat.
Karolis menjelaskan, selama ini rumput laut Maluku masih harus dikirim ke Makassar dan Surabaya untuk diolah, lalu diekspor menuju negara tujuan. Meski demikian, beberapa pembudidaya tingkat industri sudah mulai menjajal pasar global, seperti ekspor udang dari wilayah Seram menuju China dan ikan kakap merah dari wilayah Teluk Ambon menuju Hong Kong.
”Ribuan ton hasil perikanan dari Maluku dikirim ke China, Jepang, Hong Kong, diterima dengan baik. Pasarnya luas sehingga harus berpikir untuk melirik sektor budidaya,” ucapnya.
Apabila ekspor langsung rutin dilakukan, maka bisa menambah produksi perikanan di wilayah Maluku.
Mendorong ekspor langsung ke negara tujuan merupakan upaya memberikan efek ekonomi ganda bagi masyarakat di Maluku. Ketua Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan Provinsi Maluku Hadi Basalamah mengatakan, pihaknya mendorong ekspor melalui penerbangan langsung (direct flight) dari Ambon menuju Bandara Narita, Jepang. Selama ini pengiriman masih harus menumpang penerbangan umum dengan tarif yang cukup tinggi.
Pihaknya pun akan menjalin kerja sama dengan salah satu perusahaan penerbangan khusus ekspor. Dengan adanya kerja sama tersebut, hasil perikanan, khususnya ikan tuna, dapat diangkut menggunakan pesawat kargo berkapasitas 20 ton, dengan waktu tempuh selama 8-9 jam, dari Ambon ke Jepang. Selain tuna, ekspor juga akan menyasar komoditas seperti kepiting dan kayu gaharu.
Apabila penerbangan langsung rutin dilangsungkan, produksi perikanan di kabupaten dan kota di Maluku bisa dipacu sehingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
”Kalau masih menggunakan penerbangan komersial, tarif mahal. Potensi ekspor tinggi terlihat dari data selalu ada pengiriman ikan tuna segar setiap bulan secara rutin, dengan total 400 hingga 500 ton dalam setiap 10 bulan,” ucapnya.