KEDIRI, KOMPAS — Empat santri ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penganiayaan yang berujung tewasnya salah satu santri di Pondok Pesantren Al-Hanifiyyah di Mojo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Korban bernama BBM (14), siswa kelas VIII, warga Karangharjo, Kecamatan Glenmore, Banyuwangi.
Korban meninggal pada Jumat (23/2/2024). Jenazahnya diantar oleh pihak pesantren ke kampung halaman. Pihak pesantren menyatakan korban meninggal akibat terpeleset di kamar mandi.
Namun, keluarga menaruh curiga sehingga memeriksa kondisi jenazah korban. Pihak keluarga mendapati ada luka lebam di tubuh korban dan sundutan benda diduga rokok di kaki korban. Kasus ini pun lantas dilaporkan ke Kepolisian Sektor (Polsek) Glenmore.
Kepala Polres Kediri Kota Ajun Komisaris Besar Bramastyo Priaji, Senin (26/2/2024), menyatakan telah menetapkan empat tersangka. Mereka adalah MN (18), santri kelas XI asal Sidoarjo; MA (18), santri kelas XII asal Nganjuk; AF (16), santri asal Denpasar; dan AK (17), santri asal Surabaya. Keempat tersangka ditahan.
”Sejak kasus ini dilaporkan ke Polsek Glenmore, 24 Februari, hasil koordinasi Satreskrim (Satuan Reserse Kriminal) Polres Banyuwangi dan Kediri Kota, kami telah melaksanakan tindak lanjut berupa olah TKP (tempat kejadian perkara), juga memeriksa beberapa saksi. Minggu (25/2/2024) malam kami telah menahan empat orang dan kami tetapkan mereka sebagai tersangka,” katanya.
Bramastyo menyebut para pelaku merupakan santri di pondok pesantren yang sama dengan korban. Mengenai motif penganiayaan, untuk sementara disebabkan oleh kesalahpahaman di antara para santri. ”Karena ada kesalahpahaman di antara mereka, kemudian terjadi penganiayaan yang dilakukan berulang-ulang,” ujarnya.
Mengenai detail tindak kekerasan yang dilakukan terhadap korban, polisi masih mendalami dengan menggali keterangan dari saksi-saksi, baik yang ada di lingkungan pesantren maupun dokter yang memeriksa jenazah korban di Banyuwangi. Polisi juga mendalami ada tidaknya tambahan tersangka lain nantinya.
Terkait lokasi penganiayaan, Bramastyo menyebut, terjadi di lingkungan pesantren. Pihaknya pun mengajak semua pihak terkait untuk saling menjaga dan mengingatkan agar persitiwa seperti ini tidak terulang, tidak hanya di pesantren, tetapi juga di tempat pendidikan lain.
Baca juga: Siswa MTS di Blitar Tewas Diduga Akibat Dianiaya Teman Sekolah
Keempat tersangka dijerat Pasal 80 Ayat 3 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak, Pasal 170 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penggunaan kekerasan terhadap orang atau barang, serta Pasal 351 KUHP tentang tindak pidana yang dilakukan secara berulang yang mengakibatkan kematian.
Niat dan rencana
Dihubungi terpisah, kriminolog Universitas Brawijaya Malang, Prija Djatmika, mengatakan, secara hukum perlu diselisik apakah niat penganiayaan yang berakibat tewasnya korban itu direncanakan atau tidak. Jika tidak direncanakan, pelaku dijerat dengan Pasal 351 KUHP. Sebaliknya, jika direncanakan, dijerat menggunakan Pasal 353 KUHP.
”(Dari sisi) Niatnya sejak awal menganiaya saja atau membunuh? Kalau niatnya membunuh, ya, (dijerat menggunakan) Pasal 338 KUHP,” katanya.
Menurut dia, di pesantren terdapat pendidikan berjenjang, ada senior dan yunior. Pengurus pesantren yang tidak bisa mengontrol langsung anak asuh lazimnya mendelegasikan kepada para senior untuk mengatur perilaku para yunior.
Sistem pendidikan berjenjang itu boleh, tetapi kontrol dari guru dan pengasuh harus tetap dilakukan, tidak sepenuhnya diserahkan kepada senior yang diberi tanggung jawab mendidik yuniornya.
Santri yang jumlahnya banyak itu dibagi dalam kelompok-kelompok. Setiap kelompok memiliki senior yang kesehariannya mendidik perilaku yunior, mengontrol pendidikan, ibadah, dan kewajiban yang lain. ”Namun, itu sering disalahgunakan,” ucapnya.
Prija mencontohkan salah satu kasus penganiayaan yang mencuat di salah satu pesantren di Jawa Timur pada 2022, yang dipicu oleh hilangnya pasak untuk tenda kemping. Ada salah satu yunior yang menghilangkan pasak tenda. Si yunior itu lalu disuruh mencari pasak tersebut oleh seniornya, tetapi tidak ditemukan. Akhirnya si yunior dihajar hingga meninggal.
Baca juga: 0rangtua Korban Penganiayaan di Malang Tetap Tempuh Proses Hukum
”Sistem pendidikan berjenjang itu boleh, tetapi kontrol dari guru dan pengasuh harus tetap dilakukan, tidak sepenuhnya diserahkan kepada senior yang diberi tanggung jawab mendidik yuniornya. Konsepnya sebenarnya baik, senior mengawasi, mendisiplinkan adik-adiknya, tetapi sering disalahgunakan,” ujarnya.
Ke depan, lanjut Prija, pesantren perlu melibatkan orangtua santri sebagaimana di sekolah negeri. Dengan begitu, orangtua bisa ikut campur dalam mekanisme pendidikan, pengelolaan, dan pengawasan pondok sehingga tidak tertutup dan bisa lebih transparan. Ada kontrol dari publik.