Masyarakat di pedalaman NTT tidak merasakan kehadiran Bulog. Pihak Bulog mengaku armada dan personelnya terbatas.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Operasi pasar untuk meringankan beban masyarakat dari tingginya harga beras hingga kini tidak menjangkau wilayah pedalaman Nusa Tenggara Timur. Masyarakat meminta Bulog selaku operator agar menjangkau wilayah mereka yang justru mengalami kenaikan harga lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan.
Hery Abraham (40), warga Desa Kolbano, Kecamatan Kolbano, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Sabtu (24/2/2024), mengatakan, sejak kenaikan harga beras pada Januari 2024, belum pernah dilangsungkan operasi pasar di daerah itu. ”Kami hanya baca lewat berita bahwa ada operasi pasar di tempat lain,” ujarnya.
Operasi pasar dimaksud dilakukan Bulog bersama pedagang yang menjadi mitra. Harga beras yang dijual Rp 11.500 per kilogram. Harga ini masuk dalam interval harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp 10.900 hingga Rp 11.800 per kilogram.
Saat ini, lanjut Hery, di Kolbano dan sekitarnya, harga beras paling murah Rp 15.000 per kilogram dan paling mahal Rp 18.000 per kilogram. Untuk beras paling murah, kondisinya tidak layak konsumsi. Masyarakat yang telanjur bergantung pada beras terpaksa membelinya.
Kolbano berada di sisi timur Pulau Timor. Jarak Kolbano ke Soe, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan, sejauh 103 kilometer. Untuk membeli beras dengan harga sedikit lebih murah, mereka harus datang ke Soe dengan menumpang mobil bak terbuka. Waktu perjalanan paling cepat 2,5 jam.
Jangan hanya operasi pasar di kota. Kami di pedalaman ini juga bagian dari masyarakat Indonesia.
Ia berharap Bulog selaku operator pasar murah dapat menjangkau wilayah mereka. Dengan adanya operasi pasar, diharapkan masyarakat terbantu mendapatkan beras yang lebih murah dan berkualitas baik. ”Jangan hanya operasi pasar di kota. Kami di pedalaman ini juga bagian dari masyarakat Indonesia,” ucapnya.
Berbeda dengan Hery, Tinus Naban (35), warga Desa Oelolok, Kecamatan Insana, Kabupaten Timor Tengah Utara, mengatakan, kenaikan harga beras menjadi momentum bagi masyarakat, terutama di pedalaman, untuk menyiapkan pangan secara mandiri. Selama ini, pangan lokal, seperti umbi-umbian dan pisang, mulai diabaikan.
Padahal, masyarakat di pedalaman memiliki banyak lahan kosong yang tidak digarap selama bertahun-tahun. Masyarakat lebih banyak memilih menjadi buruh serabutan dengan upah harian. Upah itu kemudian digunakan untuk membeli beras yang sebagian besar didatangkan dari luar.
”Kita harus sadar betapa rapuhnya pangan kita. Mulai sekarang kita masuk lagi ke kebun untuk tanam. Kita harus punya cadangan makanan. Ke depan, masalah pangan bisa lebih parah dibandingkan saat ini,” kata Tinus, pemuda yang aktif dalam pemberdayaan masyarakat itu.
Sebagian besar model pertanian di NTT menggunakan sistem tadah hujan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2022, luas lahan tadah hujan mencapai 3,6 juta hektar. Dari jumlah tersebut, ladang yang digarap hanya 355.971 hektar atau kurang dari 10 persen.
Manajer Operasional dan Pelayanan Publik Bulog Wilayah NTT Faizal Jafar menerangkan, operasi pasar oleh Bulog dilakukan di dalam pasar. Adapun pasar yang menjadi fokus kebanyakan berada di ibu kota kabupaten. Di sisi lain, tidak semua warga di perkampungan datang ke pasar dengan alasan ongkos transportasi.
”Memang tidak semua kampung dapat dijangkau karena armada dan personel kami kurang. Kami perbanyak di pasar saja biar semua bisa akses,” kata Faizal.