Pesan Penting dari Sisa Luka Dihantam Puting Beliung
Puting beliung bukan bencana yang datang sekali di daerah sama. Mitigasi sangat diperlukan untuk meminimalkan dampaknya.
Cemas masih tertinggal di wajah Agus Permana (54), warga di kompleks Griya Permata Raya, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Kamis (22/2/2024), saat menceritakan kejadian yang menimpanya sehari sebelumnya. Rabu (21/2/2024), angin kencang bersama gemuruh petir memburu Agus dan keluarganya. Seperti warga terdampak lainnya, Agus terluka tetapi beruntung tidak kehilangan nyawa.
Agus masih ingat jarum jam baru saja menginjak pukul 16.00 saat kabar teror itu datang. Dia baru mendapat informasi bila ada puting beliung dari Jatinangor menuju tempat tinggalnya. Jarak Jatinangor-Rancaekek sekitar 1 kilometer.
Ingin memastikan kabar itu bukan bohong, ia keluar rumah menembus hujan yang turun deras. Namun, langkah Agus terhenti sekitar 10 meter dari rumah.
Putaran angin kencang terpampang di depan mata. Perlahan, pusaran tinggi besarnya semakin mendekat. Ada beragam material benda-benda ikut dibawa serta puting beliung itu.
”Saya langsung masuk lagi ke rumah. Pintu dikunci. Bersama dua anak saya, pintu itu ditahan agar tidak rusak diterjang angin,” katanya.
Baca juga: Bahaya Memandang Remeh Puting Beliung
Brak ! Tidak lama, puting beliung itu menabrak rumahnya. Suaranya bergemuruh. Getarannya hebat. Genteng di lantai dua bahkan beterbangan.
Sembari tetap menahan pintu depan rumah, Agus dan empat anggota keluarga lainnya melafalkan doa mohon selamat. Mereka tetap kukuh dalam doa saat gerobak jualan gorengan milik Agus hancur diguncang angin.
Prang! Kacanya hancur tak keruan. Tubuh gerobak rusak tak berbentuk.
”Kira-kira 10 menit kami diteror puting beliung. Sejak tinggal di sini, ini yang pertama. Namun, apa pun kerugiannya, kami bersyukur semua anggota selamat,” kata Agus yang hampir 20 tahun bermukim di sana.
Hingga Kamis malam, rumah Agus menjadi satu dari 706 bangunan yang rusak akibat puting beliung. Akibatnya, 834 keluarga terdampak, salah satunya Agus beserta anak istrinya.
Nabila Apriliati (23), warga Griya Permata Raya lainnya, juga hanya bisa pasrah. Puting beliung dengan mudah merusak rumah. Rumah yang umurnya hampir seusia dia itu dirusak angin kencang yang datang hanya sekitar 10 menit.
Genteng di ruang tamu, kamar tidur, dan dapur entah ke mana. Dinding batako di salah satu rumahnya juga roboh.
Banyak barang miliknya hilang. Saat kejadian, dia hanya menggendong Arsila (2), anaknya, ke rumah tetangganya. Bagi Nabila, tidak ada yang lebih berharga selain anaknya semata wayangnya itu. Waktu kejadian, suaminya masih bekerja di Bandung.
”Yang penting, saya dan Arsila selamat,” katanya.
Bangun kembali
Luka di Rancekek juga dirasakan sebagian warga Citanggulun, Desa Cintamulya, Jatinangor. Hati Ai Fatimah (45), misalnya, teriris saat melihat Masjid Al Barokah di dekat rumahnya rusak. Masjid yang dibangun lewat swadaya warga dan diresmikan sebulan lalu itu kubahnya runtuh.
Tempat kerja Ai di Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) Muhammadiyah Citanggulun juga rusak. Empat ruang kelas untuk 120 pelajar itu kini bocor. Sebagian genteng hilang.
”Kami berharap semua yang rusak bisa diperbaiki pemerintah,” kata Ai, Kepala MIS Muhammadiyah Citanggulun.
Pemerintah Kabupaten Sumedang sudah menetapkan status tanggap darurat bencana puting beliung di Jatinangor dan Cimanggung. Keputusan berlangsung sejak Kamis hingga tanggal 29 Februari 2024.
”Penetapan status ini karena terjadi kerusakan berat akibat puting beliung,” kata Penjabat Bupati Sumedang Herman Suryatman.
Namun, kepedulian itu sebaiknya tidak hanya perkara membangun kembali infrastruktur atau rumah yang rusak. Pemerintah dan berbagai pihak lain mesti membangun kesiapan warga menghadapi bencana serupa.
Baca juga: Memitigasi Puting Beliung di Era Perubahan Iklim
Pemahaman tentang mitigasi harus disiapkan. Selain dampak perubahan iklim, ada kondisi lokal, seperti tutupan lahan, dinilai turut memicu bencana ini.
Nurjanna Joko Trilaksono, dosen Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung, mengatakan, fenomena puting beliung merupakan dinamika dari awan kumulonimbus (Cb). Awan berwarna pekat dan berbentuk serupa kol ini menjulang tinggi serta memicu hujan deras.
”Tapi, jangan salah, selama ini orang banyak menunjukkan kalau ada awan kumulonimbus, isinya hujan. Tidak hanya itu, justru ada yang lainnya, seperti angin kencang dan puting beliung,” ungkap Joko.
Puting beliung di Bandung-Sumedang pada Rabu sore diawali munculnya awan Cb. Pembentukan awan Cb ini, katanya, disebabkan ketidakstabilan di atmosfer sesuai dengan situasi daerahnya.
”Ibaratnya, kalau hujan duluan di satu tempat, di lokasi lain belum,” ujarnya.
Di wilayah yang terkena puting beliung itu, tutupan lahannya berkurang. Wilayah itu beralih fungsi menjadi kluster hunian dan tambang-tambang kecil. Memang itu wilayah industri, tetapi tetap ada fungsi hijaunya. (Haerudin Inas)
Kondisi lokal yang ia maksud, seperti distribusi jenis tutupan lahan daerah setempat. ”Ada wilayah yang bisa terkena panas yang lebih dibandingkan daerah lainnya. Misalnya, di situ (Rancaekek) daerah pabrik dan atapnya terbuat dari seng. Ini kontribusi untuk menjadi sumber panas lebih besar,” ungkapnya.
Sementara, pemanasan yang lebih cepat di permukaan ini membuat atmosfer tidak stabil karena ada perbedaan suhu. Akhirnya, awan Cb bertumbuh. Kondisi uap air juga mendorong terbentuknya awan Cb. Uap itu tidak hanya berasal dari lingkungan lokal, tetapi juga daerah lainnya.
Puting beliung juga bisa dipicu insolasi atau masuknya radiasi matahari ke permukaan Bumi. ”Kalau kita cek kemarin, ada beberapa waktu yang ternyata cerah kondisi di sekitar situ (wilayah terdampak) sehingga membuat ketidakstabilan di atmosfer,” ungkap peraih gelar Doktor di Universitas Kyoto, Jepang, ini.
Selain kondisi lokal, perubahan iklim turut dinilai memengaruhi puting beliung. Menurut Joko, tanpa perubahan iklim, awan Cb yang memicu puting beliung tetap terbentuk. Namun, masalah iklim bisa berdampak pada frekuensi dan intensitas bencana tersebut.
Manajer Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jabar Haerudin Inas menilai, puting beliung dipengaruhi kondisi alam yang tidak ideal. Persoalan lingkungan, katanya, turut memperburuk dampak bencana.
”Di wilayah yang terkena puting beliung itu tutupan lahannya berkurang. Wilayah itu beralih fungsi menjadi kluster hunian dan tambang-tambang kecil. Memang itu wilayah industri, tetapi tetap ada fungsi hijaunya,” ungkap Inas.
Ia juga menduga, puting beliung berkolerasi dengan bukit-bukit setempat yang gundul bahkan habis akibat alih fungsi lahan. Oleh karena itu, Inas mengatakan, pemerintah dan masyarakat perlu memitigasi dampak dari perubahan iklim yang semakin terasa.
Puting beliung bukan bencana alam yang datang sekali di daerah yang sama. Tanpa perlakuan alam yang benar dan kesiapan manusianya, kedatangannya hanya akan terus membawa luka.
Baca juga: Bukan Tornado, Kecepatan Puting Beliung di Bandung 36 Kilometer Per Jam