Suhu Laut hingga Awan Konvektif Diduga Penyebab Puting Beliung di Bandung
Analisis sementara BMKG, puting beliung di Bandung dan Sumedang, Jawa Barat, dipicu suhu muka air laut dan awan.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika atau BMKG menganalisis penyebab puting beliung yang menerjang beberapa wilayah di Bandung dan Sumedang, Jawa Barat. Analisis sementara, suhu muka air laut hingga pertumbuhan awan konvektif turut memicu bencana itu.
Kepala Stasiun Geofisika Kelas I Bandung Teguh Rahayu, Kamis (22/2/2024), mengatakan, pihaknya masih menganalisis penyebab puting beliung yang terjadi pada Rabu sore itu. Analisis itu, antara lain, menyangkut kecepatan angin, kondisi cuaca, dan potensi dampak dari cuaca ekstrem.
”Puting beliung merupakan dampak ikutan pertumbuhan awan CB (kumulonimbus) dan berlanjut hujan lebat disertai angin kencang tiba-tiba dengan durasi singkat dan skala lokal,” ungkap Rahayu dalam keterangan tertulisnya. Kencangnya angin kemarin telah merusak pagar pabrik dan rumah warga.
Menurut dia, analisis sementara menunjukkan, puting beliung dipicu suhu muka air laut di wilayah Indonesia yang relatif hangat. Kondisi ini menambah suplai uap air ke sejumlah daerah, termasuk Jabar. Kelembaban udara di lapisan 850-500 milibar juga relatif basah, yakni 45-95 persen.
Pihaknya juga memantau adanya sirkulasi siklonik di Samudra Hindia barat dan Pulau Sumatera yang mengakibatkan terbentuknya area ”netral poin” dengan area pertemuan dan perlambatan angin (konvergensi) serta belokan angin (shearline) di sekitar Jabar. Kondisi ini meningkatkan pertumbuhan awan.
”Indeks labilitas yang berada pada kategori labil sedang hingga tinggi di sebagian wilayah Jabar juga berpotensi meningkatkan aktivitas pertumbuhan awan konvektif pada skala lokal,” ungkap Rahayu. Pihaknya pun telah mengingatkan masyarakat terkait potensi cuaca ekstrem, termasuk angin kencang.
”Peringatan dini cuaca ekstrem wilayah Jawa Barat telah dibuat oleh prakirawan BMKG Stasiun Klimatologi Jabar dan didiseminasikan pada tanggal 21 Februari 2024 mulai pukul 11.30 WIB hingga pukul 16.40 WIB sebanyak empat kali untuk wilayah terdampak,” katanya.
Hingga kini, pihaknya masih memantau potensi cuaca ekstrem di wilayah Jabar. Ia meminta masyarakat meningkatkan kewaspadaan terhadap dampak cuaca ekstrem. Hujan lebat hingga sangat lebat dengan durasi lebih dari satu jam, misalnya, bisa menyebabkan banjir.
Puting beliung merupakan dampak ikutan pertumbuhan awan CB (kumulonimbus) dan berlanjut hujan lebat disertai angin kencang tiba-tiba dengan durasi singkat dan skala lokal.
Hujan deras di daerah curam dapat menyebabkan tanah longsor. Puting beliung juga dapat memicu pohon tumbang hingga kerusakan lain. ”Waspada juga hujan lebat yang disertai dengan kilat atau petir dan angin kencang pada sore hari,” ujar Rahayu.
Indikasi cuaca ekstrem itu, lanjutnya, dapat terlihat jika terjadi pemanasan kuat antara pukul 10.00 dan 14.00. Kondisi ini biasanya ditandai dengan jenis awan kumulonimbus. Awan ini berwarna gelap, menjulang tinggi seperti kembang kol, dan terkadang memiliki landasan pada puncaknya.
Dampak bencana
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jabar terus mendata dampak puting beliung di Bandung dan Sumedang. Data sementara menunjukkan, bencana itu menyebabkan 116 bangunan rusak dan 735 keluarga terdampak.
Wilayah terdampak adalah Cicalengka, Rancaekek, dan Cileunyi di Bandung. Adapun daerah terdampak di Sumedang tersebar di Jatinangor dan Cimanggung. ”Tercatat 32 orang terluka akibat terkena material rumah dan pohon,” ucap Hadi Rahmat Hardjasasmita dari Humas BPBD Jabar (Kompas.id, 22/2/2024).
Puting beliung di wilayah Bandung bukan kali ini saja. Akhir Desember 2023 lalu, bencana serupa menerjang tiga kecamatan di Bandung. Akibatnya, 72 rumah terdampak.