Pasang Surut Energi Literasi di Kendari
Pegiat literasi di Kendari berjuang menggerakkan semangat pengetahuan di Kota Lulo ini. Benih literasi menunggu bersemi.
Serupa riak gelombang di tepian, gerakan literasi di Kendari, Sulawesi Tenggara, juga mengalami pasang surut. Energi literasi para pegiatnya pernah begitu intens berjejaring, berkolaborasi, dan berkarya. Kini, benih literasi bertebaran dan menunggu bersemi bersama.
Suatu waktu, saat menggelar lapak buku, Marwan (27) didatangi ”tamu agung”. Dua anak perempuan datang ke lapak tempatnya menggelar buku, di Kolam Retensi Kendari, Sulawesi Tenggara, medio 2023. Biasanya, hanya orang dewasa yang singgah meluangkan waktu.
Dua bocah yang juga anak pedagang di kawasan itu memilih buku cerita lokal, yang ditulis penulis setempat. Mereka ingin dibacakan. Tidak menunggu lama, lulusan Universitas Halu Oleo itu mendongengkan sejumlah kisah rakyat dari ”Bumi Anoa”, sebutan untuk Sultra.
”Saat mendongeng itu, mereka tertawa dan tampak bahagia. Itu pencapaian yang bikin selalu semangat untuk buka lapak baca. Dan setiap kami datang, anak itu selalu datang juga,” tutur Marwan, di Kendari, Selasa (20/2/2024).
Bersama sejumlah rekannya, Marwan terus aktif menggelar lapak baca. Kolam retensi dipilih karena ramai masyarakat beraktivitas di akhir pekan. Beralas tirai, puluhan buku digelar di jalan. Novel, puisi, hingga buku anak-anak disajikan. Mereka juga memanfaatkan gazebo yang kini dibangun. Membuka ruang baca rutin dilakukannya seiring masih rendahnya minat literasi di kota ini.
Ia adalah segelintir pegiat yang masih intens menggelar lapak baca, diskusi, bedah buku, telaah film, dan kegiatan literasi lainnya di Kendari. Kegiatannya hanya terhenti saat harus istirahat karena sakit.
Perkenalannya dengan komunitas literasi dimulai sejak kuliah. Ia tertarik dengan sastra, dunia teater, dan kegiatan kebudayaan lainnya. Dari situ, Marwan mulai bergerak bersama untuk mendorong literasi lebih bermakna. Ia turut bergabung dengan komunitas.
Baca juga: Sekali Mendayung di Pucuk Kendari
Situasi ini, Marwan bilang, jauh berbeda dibandingkan dengan pada 2017-2019. Saat itu, komunitas literasi bermunculan serupa jamur di musim hujan. Dari Kota Lama Kendari hingga batas kota. Semua komunitas aktif berkegiatan dengan cara masing-masing.
Lebih dari itu, mereka juga berjejaring dan berkolaborasi. Bermacam interaksi terjadi dan bersalin rupa menjadi helatan bersama. Mereka menggelar festival yang berlangsung beberapa pekan di sejumlah komunitas.
Kahar Mappasomba (38) mengenang hal yang sama. Pendiri komunitas Rumah Bunyi ini turut menginisiasi gerakan literasi lintas komunitas. Kegiatan rutin dilakukan hampir setiap pekan. Diskusi rutin berlangsung tiap malam hingga dini hari.
Tidak hanya berdiskusi, mereka juga berupaya menerbitkan karya. Mereka belajar bersama dan saling berbagi pengetahuan. Hingga akhirnya, mereka mampu menerbitkan buku puisi, esai, atau cerita pendek.
”Rumah Bunyi juga berkembang menjadi lembaga penerbitan. Sampai sekarang telah ada 68 buku yang kami bantu terbitkan,” katanya.
Tidak hanya dari internal komunitas, para penulis bahkan lebih banyak dari masyarakat umum. Mereka adalah guru, pensiunan, atau pegawai kantoran. Mereka menulis cerita fiksi ataupun nonfiksi. Geliat menulis dan berliterasi turut menumbuhkan semangat di masyarakat umum.
Tantangan berkolaborasi
Situasi Covid-19 mengubah banyak hal dan menghantam semua sektor kehidupan. Interaksi menjadi berkurang dan kegiatan luar ruang sangat terbatas. Masyarakat terkungkung dalam ruang masing-masing, dan perlu waktu untuk beradaptasi.
Situasi ini turut berdampak pada geliat literasi di masyarakat, khususnya Kendari. Para pegiat tidak leluasa untuk berkegiatan. Sebagian lalu mati suri. Kondisi ini berkelindan dengan regenerasi yang jalan di tempat, hingga membuat semangat turut redup.
Padahal, data Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2019 menunjukkan, Sulawesi Tenggara masuk dalam zona rendah dari sejumlah kategori yang diukur. Untuk kategori indeks dimensi akses, wilayah dengan sebutan ”Bumi Anoa” ini berada di urutan ke-23 dari 34 provinsi. Pada indeks budaya yang mencakup kebiasaan membaca, Sulawesi Tenggara berada di urutan ke-18 yang juga tergolong rendah.
Menurut Kahar, situasi Covid-19 telah memotong generasi di komunitasnya. Secara lebih luas, gerakan kolektif turut meredup, bahkan saat pandemi telah berlalu. Kegiatan di komunitas berjalan dengan program masing-masing.
Baca juga: Teluk Kendari, dari Kumuh Jadi Magnet Wisata Baru
”Di Sultra banyak penulis. Hanya yang perlu dipikirkan memang adalah pentingnya sebuah gerakan bersama untuk ekosistem literasi. Saya percaya ini dinamika dan akan kembali menyala dalam waktu dekat,” katanya.
Syaifuddin Gani, penggagas Pustaka Kabanti, berpendapat tidak jauh beda. Namun, ada sejumlah hal yang turut membuat gerakan literasi tidak berpendar seperti sebelumnya. Salah satunya adalah dinamika di komunitas masing-masing. Berkaca di tempatnya, regenerasi selalu penting untuk keberlanjutan kegiatan.
Pandemi memang meruntuhkan banyak hal. Namun, mereka kemudian beradaptasi membuat kegiatan secara daring, baik lewat media sosial maupun diskusi jarak jauh. Mereka juga membuat kegiatan baca puisi daring.
Menurut Pudding, panggilannya, bergelut di literasi merupakan kerja kebudayaan. Komunitas yang muncul tidak sekadar euforia, tetapi juga dengan misi tertentu yang dibangun bersama. Kegiatan yang dilakukan merupakan kerja kreatif untuk kemajuan bersama.
”Literasi bukan hanya kemampuan mengakses pengetahuan untuk akal budi, tapi juga kemampuan membaca dan menulis untuk lingkungan yang lebih luas. Karena itu, sejak awal kami menegaskan dalam misi komunitas untuk tidak sekadar membaca dan diskusi, tetapi juga ada karya,” ujarnya.
Mulai bersemi
Dua tahun terakhir, ia melihat geliat literasi mulai bersemi di beberapa tempat. Komunitas muncul di Baubau, Kolaka, Konawe, Buton, dan daerah lainnya. Sementara itu, komunitas yang telah lebih dulu ada mulai menata kembali kegiatan internal.
Ia juga melihat munculnya nama-nama penulis baru, terutama dari luar komunitas yang ada. Hal itu memunculkan optimisme akan semangat literasi yang terus tumbuh dan berkembang.
”Salah satu pekerjaan rumah adalah mengangkat penulis, sastrawan di Kendari, dan Sultra secara luas, untuk terus tampil. Ini membutuhkan kolaborasi dan sinergi bersama. Saya yakin itu akan bisa kita lakukan ke depannya,” katanya.
Irianto Ibrahim, pengajar penulisan kreatif di Universitas Halu Oleo, yang juga pegiat literasi, mengungkapkan, kondisi ini terjadi karena situasi yang kompleks dalam gerakan literasi di Kendari. Hal itu dimulai dari kurangnya bacaan anyar, minimnya pemikiran baru, hingga pergeseran orientasi dan sekat yang terjadi.
Sejumlah komunitas tetap bergerak dengan kegiatan masing-masing. Mereka tetap menggelar diskusi, bedah buku, dan kegiatan penulisan. Namun, ekosistem literasi dan semangat berkolaborasi tidak tumbuh seperti sebelumnya.
Padahal, wilayah ini tidak pernah kekurangan penulis dan pegiat literasi baru. Mereka tumbuh di komunitas ataupun individual. ”Tapi, di sisi lain, saya tetap optimistis. Karena ada beberapa anak muda yang menginisiasi diskusi, membaca, pelatihan menulis, di kafe atau tempat baru. Semoga energi ini bisa bersemi di waktu dekat,” imbuhnya.
Kahar melanjutkan, suatu waktu ia berharap semangat membaca, berjejaring, dan berkarya bersama bisa tumbuh di Kendari. Bukan hal yang mustahil dalam beberapa waktu ke depan kota ini bisa menggelar festival literasi yang kontinu.
”Beberapa hari lalu di warung kopi saya lihat ada anak muda yang baca buku seorang diri. Itu pemandangan yang sangat jarang sekarang dan di satu sisi sangat indah sekali,” ujarnya.