Harga Beras Tinggi Ganggu UMKM Makanan di Surabaya
Kenaikan harga beras mengganggu UMKM makanan dengan bahan utama nasi, lontong, dan kupat di Surabaya, Jawa Timur.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Harga beras premium di Surabaya, Jawa Timur, dua pekan ini bertahan di Rp 17.000-Rp 18.000 per kilogram. Kisaran harga naik 31-38 persen dibandingkan dengan awal tahun yang Rp 13.000-14.000 per kilogram. Situasi ini mengganggu usaha mikro dan kecil makanan olahan berbahan utama beras.
Di sisi lain, beras medium dan beras program stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) terbatas untuk warga tak mampu. Ada sebagian warga tak mampu yang juga mengelola usaha mikro makanan olahan. Namun, akses untuk mendapat beras medium dan beras SPHP terbatas, yakni maksimal 10 kg per pembelian dengan memperlihatkan kartu tanda penduduk (KTP).
Sampai dengan Rabu (21/2/2024), beras medium dan beras SPHP didapat di kios pedagang tertentu, kios tim pengendalian inflasi daerah (TPID), dan ritel mitra resmi program SPHP. Selain itu, di Surabaya, juga diadakan operasi pasar atau pasar murah dua kali dalam sepekan secara bergiliran di kelurahan. Komoditas ini dijual tidak melebihi harga eceran tertinggi (HET) Rp 10.900 per kg.
Amat mungkin terjadi, warga yang mendapat beras medium dan atau beras SPHP menjual sampai separuhnya kepada orang lain dengan harga sampai Rp 14.000 per kg. Dengan menjual separuh, warga mendapat keuntungan maksimal Rp 15.000 yang dapat dimanfaatkan, misalnya, untuk membeli sayur mayur dan lauk pauk sederhana.
Pembeli beras medium dan beras SPHP dari warga tak mampu ialah warga yang belum mendapat akses ke pasar murah atau operasi pasar. Selain itu, juga UMK pembuat lontong, kupat, dan bubur. UMK terutama lontong dan kupat didistribusikan bagi penjual makanan arekan (kejawatimuran), yakni lontong mi, lontong kikil, lontong balap, lontong kupang, lontong capgomeh, tahu tek, tahu telur, tahu campur, rujak cingur, gado-gado, bakso, dan gorengan.
Penjual rawon, soto, nasi sambal, nasi penyetan, nasi goreng keliling, atau warung tenda mendapat dan mengolah sendiri beras menjadi nasi.
”Saya biasanya pakai beras premium, tetapi karena harga sedang tinggi, saya campur dengan beras medium yang dibeli dari tetangga,” ujar Sugiyanto, warga kampung lontong Sawahan.
Dalam sehari, Sugiyanto mengolah maksimal 5 kg beras menjadi lontong. Penganan ini tidak lagi berbahan utama beras premium saat harga komoditas tersebut melambung. Beras medium maksimal digunakan separuhnya atau 2,5 kg.
Sugiyanto melanjutkan, dengan pencampuran beras medium dan premium, ongkos produksi lontong bisa ditekan. Penganan ini bisa dijual ke pelanggan di pasar-pasar tetap seharga Rp 1.500-Rp 2.000 per lontong. Jika memakai beras premium seutuhnya, harga jual lontong naik sampai dua kali lipat.
”Bisa tidak laku dan bikin rugi,” katanya.
Suminto, penjual lontong balap di gerobak keliling di Gubeng, mengatakan, saat harga beras tinggi, lontong yang diterimanya dari pembuat lontong ukuran mengecil atau berbahan beras campuran. Namun, pembuat atau penjual lontong akan memberitahu.
”Yang paling penting itu, lontongnya segar atau dibuat pagi tadi. Saya membatasi beli lontong sekaligus mengurangi bikin sayurnya (taoge),” katanya.
Menurut Suminto, dengan membatasi produksi, pedagang makanan akan terdampak dengan potensi keuntungan yang turun. Padahal, bagi pedagang UMK makanan olahan, keuntungan merupakan sandaran utama keberlangsungan hidup ekonomi keluarga. Suminto dapat menjual sampai 50 porsi lontong balap dengan keuntungan maksimal Rp 100.000 sehari.
”Tiga hari ini, produksi lontong balapnya turun ya keuntungan juga turun sampai Rp 20.000 sehari,” ujarnya.
Kenaikan harga juga dialami sejumlah bahan pangan lainnya. Daging ayam ras per kg dari Rp 30.500 di awal tahun menjadi Rp 33.500 saat ini. Harga cabai merah keriting per kg dari Rp 50.000 menjadi Rp 69.000. Harga cabai merah besar per kg dari Rp 50.000 ke Rp 70.000. Harga kentang dari Rp 15.000 ke Rp 16.000, wortel dari Rp 12.000 ke Rp 13.000 per kg, dan tomat dari Rp 11.000 ke Rp 14.000 per kg.
Bisa tidak laku dan bikin rugi.
Kepala Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah, dan Perdagangan Kota Surabaya Dewi Suryawati mengatakan, pengendalian harga pangan dengan subsidi ongkos angkut dari produsen.
Surabaya memperluas kerja sama dengan kabupaten-kabupaten penghasil bahan pangan (beras, sayur, lauk). Subsidi ongkos angkut bertujuan memangkas biaya distribusi dengan harapan harga jual di konsumen tidak melambung atau terkendali.
Selain itu, juga menambah frekuensi operasi pasar atau pasar murah. Dewi melanjutkan, kegiatan ini biasanya dilaksanakan sepekan sekali pada Kamis. Namun, karena harga bahan pangan terutama beras masih tinggi, pemerintah menambah frekuensi menjadi dua kali dalam sepekan.
”Warga yang berbelanja di pasar-pasar tradisional besar dan tersedia monitor harga agar memantau pergerakan harga dan melaporkan ke petugas jika ada pedagang yang melambungkan harga secara tidak wajar,” katanya.