Pengembangan Kota Metropolitan Medan Terhambat Konflik Lahan
Medan menghadapi masalah antropologi perkotaan, dengan daerah perbatasan kota dikepung konflik lahan perkebunan.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Kota Medan mengalami perkembangan luar biasa sejak era perkebunan kolonial hingga menjadi kota metropolitan seperti sekarang. Kini, perkembangan kota terhambat konflik lahan yang mengepung sekeliling kota di bekas hak guna usaha perkebunan. Di daerah penyangga, masyarakat hampir tak punya peluang mempunyai properti secara legal.
Hal itu menjadi benang merah kuliah umum bertajuk ”Urban Frontier” yang diselenggarakan Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, di Medan, Selasa (20/2/2024). Hadir sebagai pembicara, Profesor Christian Lund, Guru Besar Pembangunan dari University of Copenhagen, Denmark.
”Kita tidak bisa melihat masa depan pengembangan Kota Medan dalam 20 tahun ke depan. Masyarakat biasa akan sangat sulit mempunyai properti karena hampir tidak ada cara legal kepemilikan lahan di kawasan perbatasan atau urban frontier,” kata Christian.
Dalam satu abad terakhir ini, Medan berkembang sangat luar biasa. Medan menjadi pusat perdagangan yang ditopang oleh daerah perkebunan yang berkembang pesat. Awalnya adalah perkebunan tembakau, teh, dan kini didominasi sawit dan karet. Saat ini, Medan menjadi sebuah kota industri yang maju.
Akan tetapi, menurut Christian, Medan kini menghadapi masalah antropologi perkotaan di daerah perbatasan. Kawasan perkotaan terus berkembang hingga ke daerah penyangga di sejumlah kecamatan di Kabupaten Deli Serdang. Namun, sayangnya, hampir semua daerah penyangga itu adalah bekas hak guna usaha atau HGU aktif perkebunan yang kini menjadi milik PT Perkebunan Nusantara II.
Pembangunan properti dilakukan dengan pengembangan dulu, baru membuat perencanaan. Atau, bahkan, tidak ada perencanaan sama sekali.
Kepemilikan lahan di daerah perbatasan Medan, menurut dia, sangat rumit. Hampir tidak ada cara legal yang bisa ditempuh masyarakat biasa untuk memiliki lahan. Akhirnya, hanya perusahaan properti besar yang berpeluang membangun perumahan mewah.
Pembangunannya pun dilakukan tanpa perencanaan tata ruang wilayah yang memadai. Permukiman mewah terus berkembang.
”Pembangunan properti dilakukan dengan pengembangan dulu, baru membuat perencanaan. Atau, bahkan, tidak ada perencanaan sama sekali,” kata Christian yang merupakan penulis buku Nine-Tenths of The Law yang mengulas tentang kepemilikan properti.
Masyarakat biasa yang menduduki atau menguasai lahan bekas HGU, kata Christian, dilabeli dengan istilah masyarakat penggarap. Pemerintah menyediakan prosedur formal untuk masyarakat agar bisa mendapat lahan secara legal.
Prosedurnya melalui penetapan peruntukan, penyusunan daftar nominatif, verifikasi nama-nama daftar nominatif, penetapan peruntukan dengan SK Gubernur Sumut, penghapusbukuan dari Kementerian BUMN, serta penerbitan sertifikat hak guna bangunan.
”Namun, itu hanya prosedur. Tidak ada masyarakat biasa yang bisa menjalankan prosedur itu,” kata Christian.
Akibatnya, orang-orang yang berkuasa di daerah perbatasan kota itu adalah mereka yang mempunyai kuasa ekonomi ataupun politik, mulai dari organisasi kepemudaan, preman, hingga cukong. Masyarakat pun membuat legalitas yang hanya diakui bersama oleh para penggarap, seperti surat perjanjian. Hal ini membuat konflik antara masyarakat pun sangat tinggi.
Selanjutnya, masyarakat berkembang pesat di daerah perbatasan tanpa legalitas formal kepemilikan lahan. Namun, mereka mempunyai kartu tanda penduduk dengan alamat di daerah perbatasan tersebut. Mereka juga membayar Pajak Bumi dan Bangunan, serta mendapat akses listrik.
Dalam catatan Kompas, konflik lahan di bekas HGU PTPN II terjadi sejak berakhirnya HGU perkebunan itu pada 2000. Sebanyak 5.873 hektar di antaranya tidak diperpanjang dan diserahkan peruntukannya kepada gubernur. Lahan itu berada di Kabupaten Deli Serdang, Serdang Bedagai, Langkat, dan Kota Binjai yang merupakan daerah penyangga Kota Medan.
Tak punya legalitas
Pengajar Antropologi USU, Zulkifli Lubis, mengatakan, hampir di semua sisi Kota Medan merupakan daerah konklik lahan bekas HGU atau HGU aktif perkebunan. Daerah itu antara lain kawasan Marelan, Helvetia, Saentis, Sampali, Tanjung Morawa, dan Kwala Bekala. Masyarakat menduduki lahan yang seolah legal, padahal secara hukum sebenarnya masyarakat tidak punya legalitas.
Ketua Program Studi Antropologi USU Irfan Simatupang menyebut, Kota Medan awalnya hanya pusat kota yang ada di sekitar daerah Kesawan, Lapangan Merdeka, dan Pajak Ikan. Setelah satu abad berkembang, wilayahnya terus berkembang hingga ke daerah penyangga Deli Serdang.
Beberapa puluh tahun lalu, Tembung masih merupakan daerah perdesaan yang sangat rural. Mereka umumnya memakai sepeda sebagai transportasi sehari-hari. ”Sekarang, daerah itu sudah sangat maju karena perkembangan Kota Medan,” katanya.
Adapun Dekan Fisip USU Hatta Ridho menyebut, konsep urban frontier tercipta di Medan dengan interaksi dinamis antara urbanisasi dan kemajuan kota.