Warga Boti menolak raskin karena mereka punya cukup makanan. Mereka diajarkan bekerja keras dan tidak menanti bantuan.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
Harga beras di seluruh wilayah Indonesia meroket dalam satu bulan terakhir. Di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, harganya mencapai Rp 17.000 per kilogram untuk beras medium. Harga paling murah Rp 14.000 per kilogram dengan kondisi beras yang tidak layak dikonsumsi manusia. Selain berkutu, beras paling murah itu banyak kerikil dan beraroma tidak sedap.
Antrean warga untuk membeli beras murah terjadi di Pasar Oesapa, Kota Kupang, Minggu (18/2/2024) lalu. Mereka adalah kalangan menengah ke bawah, kebanyakan pekerja serabutan. Penghasilan mereka hanya cukup untuk makan 1-2 hari. Agar periuk nasi tetap terisi, mereka terpaksa membeli beras paling murah.
”Nanti kalau mau masak, kami harus cuci sampai empat kali. Biar ada rasa, sekali-sekali kami masak nasi kuning,” kata Juli (40), pembeli di Pasar Oesapa. Mencuci beras sampai empat kali dilakukan agar beras lebih bersih dan mengolahnya menjadi nasi kuning adalah siasat menghilangkan bau.
Ia membeli hanya 5 kilogram beras yang diperkirakan cukup untuk empat hari. Itu pun paling lama mengingat di rumah mereka ada empat orang.
”Kalau habis, nanti baru pikir lagi, mau beli pakai apa. Cari uang semakin susah. Satu-satunya cara adalah masak bubur biar lebih hemat,” ujarnya.
Kondisi yang dialami Yuli menggambarkan betapa masyarakat sangat bergantung pada beras. Ada anggapan bahwa seseorang itu dikatakan makan jika sudah makan nasi. Seakan beras menjadi makanan superior jika dibandingkan makan lain.
Menurut data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan NTT, konsumsi beras di NTT mencapai 117,189 kilogram per kapita per tahun. Angka tersebut berada di atas rata-rata nasional. Sedangkan produksi beras setempat masih jauh dari total kebutuhan. Pada tahun 2022, misalnya, produksi beras di NTT hanya 430.948,5 ton, jauh di bawah kebutuhan setempat yang mencapai 642.367,53 ton.
NTT memang bukan penghasil padi. Sebagian besar lahan NTT berupa tanah tandus yang minim sumber air sementara pengolahan padi membutuhkan banyak air. Untuk mencukupi kebutuhan itu, beras untuk NTT dipasok dari Pulau Jawa dan Sulawesi.
Kenaikan harga beras membuat masyarakat tak berdaya di tengah anjloknya daya beli. Kemiskinan, rendahnya harga komoditas petani, dan minimnya lapangan kerja seakan menyempurnakan kesengsaraan warga. Masyarakat ekonomi menegah ke bawah benar-benar tersungkur.
Bulog sebagai penyalur beras pemerintah pun tak bisa berbuat banyak. Operasi pasar yang diklaim dapat mengatasi kenaikan harga beras seakan sia-sia. Jangankan menekan harga, menahan laju kenaikan pun tak sanggup. Harga beras terus meroket.
”Kami akan terus melakukan operasi pasar,” ucap Manajer Operasional dan Pelayanan Publik Bulog Wilayah NTT Faizal Jafar.
Operasi pasar ini dilakukan bersama pedagang mitra Bulog. Pedagang mendapat jatah beras untuk dijual dengan harga eceran tertinggi, yakni antara Rp 10.900 dan Rp 11.800 per kilogram. Di Kupang, Bulog menetapkan harga jual Rp 11.500 per kilogram. Sayangnya, operasi pasar ini tak diketahui banyak orang.
Kemandirian suku Boti
Di tengah gonjang-ganjing harga beras, ada kelompok masyarakat yang tidak terdampak karena memiliki kemandirian pangan lokal. Salah satunya adalah kemandirian pangan suku Boti di Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Komunitas adat yang hidup bersahabat dengan alam itu berada sekitar 150 kilometer arah timur laut dari Kota Kupang.
Seperti pada Agustus 2023, ketika musim kemarau panjang, persediaan makanan di komunitas yang dipimpin Usif (Raja) Namah Benu itu cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Suku Boti yang menganut kepercayaan lokal Halaika terdiri atas 76 keluarga dengan jumlah anggota 329 jiwa.
Makanan di lumbung mereka tersedia sepanjang tahun karena mereka mempraktikkan pangan beragam dalam sistem pertanian lahan kering yang mengandalkan hujan. Dalam satu areal lahan, mereka menanam padi, jagung, umbi-umbian, pisang, dan kacang-kacangan. Setelah padi habis, mereka masih punya cadangan jagung dan makanan lain.
Kami tanamkan kepada mereka adalah kerja keras. Kerja baru bisa makan. Makanya anak-anak semenjak kecil selalu kami ajak ke kebun untuk melihat orangtuanya bekerja.
Usif Namah kala itu menuturkan, sepanjang komunitas suku Boti ada, nyaris tidak ada cerita mengalami kelaparan. Padahal, wilayah sekitar dan NTT pada umumnya pernah mengalami kelaparan selama beberapa kali dalam kurun 60 tahun terakhir. Di luar itu, rawan pangan terjadi hampir setiap tahun di NTT.
”Kami tidak kelaparan karena kami punya banyak jenis makanan,” ucapannya.
Kelimpahan makanan itu yang menjadi alasan bagi komunitas suku Boti menolak menerima bantuan sosial berupa beras miskin atau raskin dari pemerintah. Alasan mereka sederhana. Biarlah bantuan itu diberikan kepada masyarakat di daerah lain yang lebih membutuhkan.
Tak hanya itu, Usif Namah juga ingin mengajarkan kepada rakyatnya agar tidak bermental pemalas dengan hanya menunggu bantuan pemerintah. ”Kami tanamkan kepada mereka adalah kerja keras. Kerja baru bisa makan. Makanya anak-anak semenjak kecil selalu kami ajak ke kebun untuk melihat orangtuanya bekerja,” ucapnya.
Koordinator Program Voice for Climate Action Yayasan Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal (Pikul) Dina Soro mengatakan, praktik keragaman pangan dan penolakan terhadap raskin untuk wilayah NTT hanya ada di suku Boti. Suku tersebut mandiri secara pangan. Mereka mencapai kedaulatan pangan yang sesungguhnya.
Menurut Dina, perubahan iklim sangat berpengaruh pada pangan. Krisis beras yang terjadi saat ini bisa lebih parah di masa yang akan datang. Masyarakat, terutama petani, perlu kembali mempraktikkan pangan beragam. Ketika terjadi krisis beras, mereka tidak akan terdampak. Mereka juga tidak perlu menunggu datangnya bantuan raskin dari pemerintah.