Kolaborasi Jadi Pijakan Pura Mangkunegaran dalam Pengembangan Budaya
Pura Mangkunegaran bertekad mengembangkan kebudayaan agar tak sekadar jadi warisan masa lalu. Kolaborasi menjadi kunci.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
SURAKARTA, KOMPAS – Pura Mangkunegaran, salah satu institusi kerajaan tradisional di Kota Surakarta, Jawa Tengah, terus berupaya agar kebudayaan tidak sekadar menjadi warisan masa lalu. Untuk melestarikan kebudayaan di tengah zaman yang terus berubah, beragam upaya pengembangan dilakukan melalui kolaborasi dengan berbagai pihak.
Demikian disampaikan Pemimpin Pura Mangkunegaran, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara X, seusai peringatan tahun kedua kenaikan takhtanya, Senin (19/2/2024), di Pura Mangkunegaran, Surakarta.
”Semoga kami bisa lebih bermanfaat untuk masyarakat, seniman, budayawan, dan semua pihak. Di sini, Mangkunegaran bukan hanya memikirkan diri sendiri. Kami ingin memberikan dampak yang lebih luas,” kata Mangkunegara X.
Peringatan kenaikan takhta itu turut dihadiri kerabat dari dinasti Kerajaan Mataram Islam yang juga disebut catur sagatra, yakni Keraton Surakarta, Keraton Yogyakarta, dan Pura Pakualaman. Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka dan Wakil Wali Kota Surakarta Teguh Prakosa turut hadir dalam acara itu.
Dalam peringatan kenaikan takhta itu, Mangkunegara X juga memberikan gelar kehormatan kepada sejumlah tokoh, termasuk seniman. Para seniman yang menerima gelar kehormatan itu, antara lain, Peni Candra Rini, Endah Laras, Woro Mustiko, dan Eko Supriyanto. Para seniman itu sama-sama pernah berkolaborasi dengan Pura Mangkunegaran.
”Seniman-seniman ini ikut menyengkuyung agar kebudayaan semakin kuat. Dengan adanya seniman-seniman yang luar biasa ini, kita bisa membuat dampak luas. Kolaborasi itu menjadi kunci untuk maju lagi,” kata Mangkunegara X.
Pada acara tersebut, terdapat momen menarik dalam suguhan pertunjukan seni. Bukan cuma tarian sakral dari era kepemimpinan Mangkunegara I berjudul Bedhaya Anglir Mendung yang ditampilkan kepada hadirin.
Dalam acara itu, ditampilkan pula komposisi musik yang diciptakan komposer Peni Candra Rini untuk mengiringi tari baru bernama Bedhaya Kumudha Djiwa. Komposisi musik tradisi bercorak gamelan dengan nuansa megah itu diciptakan Peni pada tahun 2023. Lirik tembang yang dilantunkan berisi doa dan harapan baik bagi Pura Mangkunegaran.
Peni mengungkapkan, pembuatan karya itu terinspirasi dari sosok Mangkunegara X yang memiliki keseriusan dalam pelestarian budaya. Pasalnya, pemimpin muda itu gemar merangkul para seniman dan budayawan untuk menciptakan karya bersama. Besarnya ruang pengembangan kebudayaan yang diberikan akan memperpanjang napas bagi kelestarian seni tradisi.
”Saya harap ini bisa menginspirasi para generasi muda pengrawit, pesinden, karawitan, dan penari tradisi untuk tidak berhenti berkarya. Bahwa karya tradisi bisa diapresiasi, karya tradisi masih hidup dan akan lahir terus dari pusat kebudayaan seperti Pura Mangkunegaran,” kata Peni.
Musisi Endah Laras menuturkan hal serupa. Menurut dia, keterbukaan Pura Mangkunegaran turut mendorong para seniman tradisi semakin produktif. Lebih-lebih para pemangku kepentingan dalam lembaga kebudayaan tersebut getol berinovasi. Cara semacam itu diyakini akan membuat seni tradisi tidak tertinggal dalam perkembangan zaman.
”Inovasi yang dilakukan seperti tiada henti, tetapi itu semua dilakukan tanpa meninggalkan jejak tradisi. Tradisi dijadikan pijakan utamanya,” kata Endah yang mendapatkan gelar Raden Nganten Tumenggung dari Pura Mangkunegaran.
Sementara itu, Gusti Kanjeng Ratu Hayu, putri Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X, mengucapkan selamat atas peringatan kenaikan takhta Mangkunegara X. Ia mengaku kagum atas berbagai suguhan seni tradisi yang ditampilkan. Perihal kelanggengan budaya, ia berpesan supaya konsistensi merawat budaya harus berawal dari dalam lingkungan keraton.
Pengageng Kawedanan Hageng Punakawan Kridhamardawa Keraton Yogyakarta Kanjeng Pangeran Haryo Notonegoro mengapresiasi langkah Mangkunegara X yang menggandeng seniman untuk berkolaborasi. Hal itu dinilai sebagai cara yang tepat guna menjaga relevansi seni tradisional bagi generasi sekarang.
”Saya senang, di sini seni tradisi tidak mandek. Sama seperti di Keraton Yogyakarta, penciptaan tari baru, bedhaya baru, gending baru terus berlangsung. Selain melestarikan, kita juga mengembangkan (kebudayaan),” kata Notonegoro.
Seniman-seniman ini ikut menyengkuyung agar kebudayaan semakin kuat. Dengan adanya seniman-seniman yang luar biasa ini, kita bisa membuat dampak luas.