Jalan Terjal Memutus Rantai Infeksi HIV di Kalangan Perempuan NTT
Ratusan ibu rumah tangga di NTT terpapar HIV/AIDS. Mereka umumnya tertular dari suami.
Ibu rumah tangga di Nusa Tenggara Timur menjadi kelompok terbesar kedua sebagai penyintas HIV/AIDS. Situasi ini tidak lepas dari sulit dikendalikannya perilaku seksual suami mereka yang kerap bergonta-ganti pasangan dan menolak untuk diperiksa dalam tes sukarela HIV/AIDS. Keterbatasan anggaran pencegahan dan penanganan HIV/AIDS menjadikan kelompok perempuan di NTT kian rentan menjadi korban.
Sepanjang 2023 tercatat ada 5.204 orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di NTT. Data yang diungkapkan Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Provinsi (KPAP) NTT menyebutkan, ibu rumah tangga menempati urutan kedua tertinggi sebagai penyintas HIV/AIDS, yakni 162 orang. Adapun wiraswasta menjadi kalangan penyintas terbesar pertama, yakni 200 orang.
Pengelola Program Komisi Penanggulangan HIV/AIDS NTT Adrianus Lamuri, di Kupang, Kamis (15/2/2024), mengatakan, kasus HIV/AIDS di NTT kurang mendapat perhatian pemerintah. Upaya untuk mencapai angka nol atau zero kasus HIV/AIDS tahun 2030 sangat sulit tercapai jika semua pihak tidak terlibat.
Terlebih lagi, virus yang menyerang kekebalan tubuh manusia itu kini ditemui hampir di semua kelompok masyarakat di NTT. Menurut data Adrianus, selain wiraswasta dan ibu rumah tangga, ada pula 129 petani yang menjadi penyintas HIV/AIDS dan kelompok yang tidak memiliki pekerjaan tetap sebanyak 81 orang.
Baca juga: HIV/AIDS Menggerogoti Remaja di NTT
Ada pula kasus HIV/AIDS yang ditemui di kalangan pelajar dan mahasiswa, yakni 57 kasus, serta pekerja migran ilegal 2 kasus. ”Kasus ini terungkap setelah penderita ke puskesmas, rumah sakit, dan dilakukan penelusuran oleh tim komisi penanggulangan HIV/AIDS,” kata Adrianus.
Khusus untuk kalangan ibu rumah tangga, Adrianus mengatakan, mereka umumnya tertular virus itu dari suaminya. Suami mereka suka berhubungan seksual di luar rumah dan bergonta-ganti pasangan. Istri yang tidak mengetahui perilaku seksual suaminya itu pun menjadi korban.
Perilaku seksual bergonta-ganti pasangan itu juga memicu penularan lebih jauh ke kalangan masyarakat yang berbeda. Sebab, kelompok laki-laki ini kerap kali sangat sulit diajak melakukan tes sukarela HIV/AIDS. Imbasnya, kasus penularan HIV/AIDS di NTT diduga lebih tinggi daripada yang tercatat secara resmi. Data dan kasus HIV/AIDS di NTT diduga merupakan puncak dari fenomena gunung es lantaran kesadaran sebagian warga, terutama kelompok laki-laki untuk memeriksakan diri sangat rendah.
Suami mereka suka berhubungan seksual di luar rumah dan bergonta-ganti pasangan. Istri yang tidak mengetahui perilaku seksual suaminya itu pun menjadi korban.
Kalangan berisiko tinggi, seperti pekerja seks komersial, menurut Adrianus, cenderung lebih mudah dikendalikan dan diajak untuk mengikuti tes sukarela HIV/AIDS. Pemeriksaan rutin bahkan dilakukan dengan menyasar kelompok rentan ini.
Sebaliknya, deteksi dini terhadap kelompok masyarakat lain lebih sulit dilakukan. Kasus HIV/AIDS yang menimpa ibu rumah tangga, misalnya, baru terungkap setelah mereka mengalami infeksi menular seksual (IMS) dan diketahui juga tertular HIV. Setelah dilakukan penelusuran, ada dugaan penularan itu berasal dari suami. Sayangnya, masih ada sebagian suami yang menolak untuk melakukan tes HIV/AIDS.
Menurut Adrianus, banyak laki-laki pekerja dengan penghasilan tinggi terinfeksi HIV, tetapi tidak bersedia mengikuti tes. Kebanyakan laki-laki seperti ini takut atau malu jika virus HIV yang ada di tubuhnya itu terungkap. Ada pula yang sengaja mendiamkan kasusnya sampai meninggal.
Selain tertular dari suami, sebagian kasus HIV/AIDS yang menimpa perempuan dan ibu rumah tangga juga terjadi karena praktik seks bebas di rumah-rumah bordil atau hotel. Tindakan ini diambil karena mereka memerlukan uang untuk membiayai hidup anak-anak. Tidak ada penghasilan lain lantaran suami sudah meninggal atau telah bercerai.
Adrianus mengungkapkan, pihaknya menemukan ada tiga kasus dengan latar belakang ekonomi tersebut. Selain itu, ada pula ibu rumah tangga dengan perilaku berisiko tinggi yang terinfeksi IMS dan HIV, tetapi tidak mau mengikuti tes HIV karena malu atau takut penyakit itu terungkap.
Menolak pengobatan
Selain deteksi dini, petugas kesehatan di NTT juga kesulitan untuk mengakses ODHA karena tidak semuanya bersedia mengonsumsi obat antiretroviral atau ARV. Dari 5.204 ODHA di NTT, hanya 3.837 orang di antaranya yang bersedia rutin mengonsumsi obat antiretrovial (ARV). Sisanya, sebanyak 1.367 orang, memilih untuk menjalani pengobatan tradisional berupa herbal, terapi darah tokek, buah merah, dan jenis herbal lain. Ada pula penderita yang tidak mau menerima kenyataan dan tidak mau berobat sehingga pasrah pada nasib. Ada pula yang mengikuti kelompok doa penyembuhan tanpa menjalani pengobatan jenis apa pun.
”Kami sudah memberikan pemahaman terhadap 1.367 penderita ini tetapi tidak berhasil. Sebagian dari mereka pada awalnya mengonsumsi ARV, tetapi dalam perjalanan berhenti dengan alasan yang tidak jelas. Sebagian beralasan, konsumsi ARV atau tidak, semua orang tetap meninggal,” kata Adrianus.
Dari total 5.204 kasus HIV/AIDS di NTT, Kota Kupang menempati urutan tertinggi dengan 1.088 kasus. Menyusul Kabupaten Belu dengan 481 kasus, Lembata 199 kasus, Sumba Barat Daya 184 kasus, dan Manggarai 177 kasus. Kabupaten dengan jumlah kasus terkecil adalah Sumba Tengah dengan enam kasus HIV/AIDS.
Adrianus mengatakan, upaya penanganan HIV/AIDS di NTT akan lebih optimal jika warga bersedia memeriksakan diri atau mengikuti tes HIV/AIDS. Begitu pula jika para penyintas bersedia mengonsumsi ARV. Hal itu akan memperbesar harapan hidup dan memperbaiki kondisi kesehatan mereka.
Baca juga: Fenomena Gunung Es Kasus HIV di Kupang
Agus Tallo (49), salah satu penyintas HIV, mengatakan, dirinya rutin mengonsumsi ARV. Kini, Agus masih aktif bekerja di salah satu pusat perbelanjaan di Kota Kupang. Kasus HIV di tubuhnya itu terungkap pada 2018. Ia memiliki tiga anak yang dinyatakan negatif HIV. Namun, istrinya terpapar HIV dari Agus.
Bersama istrinya, Agus rutin mengonsumsi ARV. Keduanya sepakat rutin mengonsumsi ARV untuk bertahan hidup. Mereka masih memiliki tanggung jawab membiayai pendidikan dua anak. Satu anak duduk di perguruan tinggi, dan satu anak lainnya masih duduk di sekolah menengah pertama.
”Teman-teman yang tidak mau mengonsumsi ARV kebanyakan karena putus asa dan sudah berusia di atas 50 tahun. Tidak memiliki tanggung jawab mendidik atau membiayai pendidikan anak-anak. Kalau mereka masih punya tanggung jawab terhadap anak-anak, mereka masih berjuang untuk hidup,” kata Agus.
Untuk mendorong warga memeriksakan diri, Adrianus mengatakan, harus ada anggaran tertentu. Sebab, pengeluaran terbesar justru ada di pos honor. Hal itu, misalnya, menghadirkan pedagang dan pelaku UMKM di pasar-pasar, termasuk tukang gerobak dan tukang ojek untuk melakukan tes HIV. Mereka harus diberi makanan ringan, makan siang, dan uang ganti rugi selama pemeriksaan karena mereka tidak bisa berjualan atau mendorong gerobak. Untuk kegiatan ini, pihak KPAP menggandeng pihak ketiga termasuk dinas kesehatan provinsi atau kabupaten/kota, biro kesejahteraan sekretariat daerah provinsi, dan badan usaha milik negara (BUMN).
Baca juga: 5.367 ODHA di NTT Rutin Mengonsumsi ARV
Sejumlah pemerintah kabupaten/kota selama 2023 yang peduli terhadap penanganan HIV/AIDS menganggarkan cukup besar untuk program ini, seperti Kota Kupang, Flores Timur, Belu, Sikka, dan Kabupaten Manggarai Barat. Wilayah-wilayah itu menganggarkan Rp 500 juta-Rp 650 juta untuk penanganan HIV/AIDS.
Biaya honor ini tidak bisa ditanggung KPAP NTT sendirian karena anggaran penanggulangan HIV tahun 2024 di tingkat provinsi hanya Rp 100 juta, termasuk honor enam karyawan KPAP NTT. Sebelumnya, pada tahun 2023, alokasi anggaran untuk HIV/AIDS Provinsi NTT Rp 200 juta.
Sejumlah pemerintah kabupaten/kota selama 2023 yang peduli terhadap penanganan HIV/AIDS menganggarkan cukup besar untuk program ini, seperti Kota Kupang, Flores Timur, Belu, Sikka, dan Kabupaten Manggarai Barat. Wilayah-wilayah itu menganggarkan Rp 500 juta-Rp 650 juta untuk penanganan HIV/AIDS. Adapun daerah lain masih di bawah Rp 100 juta. Itu pun hanya cukup untuk membayar karyawan KPAD setempat.
Sekretaris Dinas Kesehatan NTT dr Emma Simanjuntak mengatakan, tahun ini pemprov dan pemkot/pemkab sibuk membiayai pemilu sehingga sebagian besar anggaran tersedot ke sana. Akan tetapi, pemerintah tetap melakukan koordinasi dengan berbagai pihak untuk memberi perhatian terhadap masalah kesehatan di antaranya HIV/AIDS dan masalah kesehatan lain.
Keberpihakan anggaran dan program dari NTT terhadap penanganan HIV/AIDS diharapkan menjadi prioritas dalam waktu dekat ini. Sudah saatnya mengakhiri rantai penularan kasus HIV. Jangan lagi ada warga NTT yang menjadi korban sikap abai dari pemerintah ataupun warga lainnya.