Ratapan Nelayan dan Petani di NTT Tak Berkesudahan
Nasib nelayan dan petani di NTT selalu tak menentu. Cuaca buruk dan El Nino mengganggu usaha mereka.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
Hampir tiga bulan terakhir, nelayan di Nusa Tenggara Timur tidak menentu mencari ikan di laut akibat cuaca buruk. Mereka hanya bisa mencari ikan di laut dangkal. Petani pun demikian. Akibat El Nino, sebagian besar lahan pertanian gagal panen. Nestapa mereka kian berat di tengah harga kebutuhan pokok yang terus melambung.
Syarief Laode (38),nelayan dari Desa Tablolong, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, menyandarkan kapal motornya di bibir Pantai Oesapa, Kota Kupang, Minggu (11/2/2024), pukul 11.00 Wita. Ia baru saja pulang mencari ikan di sekitar Teluk Kupang. Hasil tangkapan tidak seberapa, tetapi cukup membantu menghidupi ekonomi keluarganya hari itu.
Syarief menyandarkan perahu motor berbobot 3 gros ton (GT) itu di dekat Pasar Oesapa. Beberapa pedagang ikan di pasar itu menghampiri kapal motor milik Syarief. Sekitar 50 ekor kepiting laut dan beberapa jenis ikan bervariasi dibawa pulang.
”Kepiting diborong pedagang yang juga langganan dengan harga Rp 50.000. Sementara ikan dibeli Rp 20.000. (Total) dapat Rp 70.000hari ini. Beberapa jenis ikan yang tidak diambil pedagang, saya bawa untuk konsumsi di rumah. Saya berangkat pukul 04.00 Wita. Kebetulan cuaca relatif aman di sekitar teluk Kupang,” kata Syarief.
Jika cuaca normal, Syarief menjual ikan langsung kepada pedagang ikan di Desa Tablolong. Harga ikan itu pun relatif murah. Ikan kembung, misalnya, satu ember berisi sekitar 150 ekor dijual Rp 100.000. Ikan itu oleh pedagang dijual di pasar tradisional dengan harga Rp 20.000 per 10 ekor. Syarief mengaku terkadang menjual sampai tujuh ember, sekali melaut.
Abdul Notan (42), nelayan lainnya, mengatakan, pihaknya tidak melaut sejak dua bulan terakhir. Kapal Motor (KM) Laut Abadi berbobot 30 GT yang biasa digunakannya untuk memancing bersama nelayan lain tidak dioperasikan karena cuaca di Laut Timor buruk.
Mencari ikan di laut dangkal untuk sekadar memenuhi kebutuhan harian, mereka tidak mempunyai perahupribadi. Lagi pula,ada perjanjian antara nelayan dan pengusaha ikan, nelayan diberi peluang oleh pemilik kapal untuk meminjam uang sesuai kebutuhan selama tidak melaut karena cuaca buruk atau sakit.
Kami tidak hanya menghadapi cuaca buruk, tetapi juga perlakuan yang tidak adil dan merata oleh pengambil kebijakan. Kami berharap pemerintah yang akan datang benar-benar peduli terhadap nelayan kecil. Pemda mengajak nelayan membantu pemerintah mengatasi stunting dengan menjual ikan dengan harga yang terjangkau warga oleh miskin, tetapi perlakuan terhadap nelayan diskriminatif.
Ayah dua anak ini mengaku telah meminjam satu juta rupiah selama tidak melaut dari pemilik kapal yang mempekerjakan mereka. Uang itu akan dikembalikan dengan cara mencicil dari hasil tangkapannya.
”(Itu), misalnya, sekali melaut, hasil tangkapan teripang sebanyak 20 kilogram, harus dibayar pengusaha tiga juta rupiah, tetapi dipotong Rp 500.000 untuk mencicil pinjaman. Sehingga saya terima dua setengah juta rupiah. Demikian pula jenis tangkapan lain. Tentu sesuai kesepakatan,” katanya.
Abdul bersama enam rekan nelayan bekerja di kapal milik pengusaha itu. Pengusaha juga menyiapkan bahan bakar minyak dan kebutuhan lain bagi mereka selama melaut. Biasanya, kebutuhan yang disiapkan untuk satu bulan perjalanan seperti beras, minyak tanah, air minum, pulsa ponsel, dan obat-obatan yang diperlukan.
Nasib petani
Nestapa akibat cuaca tak menentu juga dialami oleh petani. Okto Nifu (46), petani lahan kering di Desa Penfui Timur, Kabupaten Kupang, mengatakan, lahan jagung miliknya seluas 3.000 meter persegi di desa itu terancam gagal panen. Jagung hampir berbuah, tetapi nyaris habis diserang ulat grayak. Ulat itu muncul setelah terjadi panas selama hampir satu pekan.
Ayahempat anak ini mengatakan, ulat grayak itu menyerang jagung sejak lebih dari 10 tahun terakhir ini. Jika hujan diselingi panas beberapa hari, saat itu pula peluangulat grayak muncul sangat besar. Petani hanya pasrah menerima keadaan hama tersebut.
”Kalau jagung sudah diserang hama, kami hanya berharap pada singkong, kacang, dan jenis tanaman lain di ladang itu,” kata Nifu.
Petani lahan kering lain di Desa Kadahang, Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur, Agus Napu (51), mengatakan, tanaman jagung miliknya mulai diserang hama belalang. Kemunculan belalang kembara itu sudah menjadi langganan tetap petani di Sumba Timur setiap musim tanam tiba. Belalang itu muncul dalam jumlah jutaan ekor, menghabiskan tanaman petani dalam hitungan jam.
”(Lahan) Jagung saya 1 hektar masih aman karena saya menjaga ketat di kebun jagung. Harga beras sudah naik. Jagung jadi andalan. Saya jaga sampai panen,” tuturnya.
Koordinator Kelompok Nelayan ”Elang Laut” di Kelurahan Oesapa, Kota Kupang, Muhammad Mansyur Dokeng mengatakan, kondisi kesejahteraan 500 nelayan di Oesapa dari tahun ke tahun tidak berubah. Sudah berulang kali nelayan menyampaikan aspirasi mereka kepada Pemerintah Kota Kupang, tetapi tidak ditanggapi.
Bahkan, saat Badai Seroja menerjang, nyaris tidak ada bantuan yang diberikan kepada nelayan terdampak. Jika ada bantuan, menurut dia, hanya nelayan tertentu yang mendapatkan dan selalu berulang kepada nelayan yang sama. Selalu ada diskriminasi dalam alokasi bantuan kepada nelayan.
”Kami tidak hanya menghadapi cuaca buruk, tetapi juga perlakuan yang tidak adil dan merata oleh pengambil kebijakan. Kami berharap pemerintah yang akan datang benar-benar peduli terhadap nelayan kecil. Pemda mengajak nelayan membantu pemerintah mengatasi stunting dengan menjual ikan dengan harga yang terjangkau warga miskin, tetapi perlakuan terhadap nelayandiskriminatif,” tuturnya.
Secara terpisah, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan NTT Sulastri Rasyid menepis anggapan adanya diskriminasi terhadap nelayan. Menurut dia, bantuan diberikan secara bertahap. Jika ada nelayan yang belum kebagian bantuan, akan mendapatkan pada tahun anggaran yang akan datang.
Di tengah kondisi sulit yang dialami nelayan dan petani, harga kebutuhan pokok terus bergerak naik. Harga beras, minyak goreng, gula pasir, telur ayam, dan daging terus naik. Bagi nelayan dan petani kecil, harga beras saat ini semakin tak terjangkau.
”Beras medium, misalnya, tahun 2019 harganya masih Rp 8.000 per kilogram, sekarang sudah mencapai Rp 14.000 per kg, itu termurah. Informasinya beras (secara) nasional langka. Itu berarti (harga) beras bakal naik lagi,” tutur Dokeng.
Sebagian nelayan juga merangkap sebagai petani. Saat cuaca buruk, mereka berladang. Saat musim kemarau tiba, mereka melaut. Namun, saat ini, usaha di darat maupun di laut sama-sama tidak menguntungkan akibat perubahan iklim global. Derita nelayan dan petani di NTT seperti tak berkesudahan.