Mengantisipasi Banjir Kembali Terulang di Sidoarjo
Banjir masih berpotensi terjadi di Sidoarjo karena kemungkinan cuaca ekstrem masih ada. Upaya mitigasi perlu diperkuat.
Banjir yang mengepung Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, awal pekan lalu, merupakan yang terparah dalam lima tahun terakhir. Potensi terjadinya bencana serupa masih ada menyusul adanya prediksi cuaca ekstrem hingga pertengahan Febuari 2024. Oleh karena itu, perlu kolaborasi guna mengoptimalkan penanganan dan memperkuat mitigasi.
Banjir yang terjadi mulai Senin (5/2/2024) itu merendam setidaknya lima desa, yakni Waru, Bungurasih, Sawotratap, Pepelegi, dan Kedungrejo. Jumlah warga terdampak sekitar 7.500 keluarga. Rata-rata rumah warga itu tergenang banjir dengan ketinggian 20-50 sentimeter.
Akibat tingginya genangan banjir, sebagian warga, terutama lansia, anak-anak, dan perempuan, terpaksa meninggalkan rumah untuk mengungsi di tempat aman. Di Desa Waru dan Bungurasih, sedikitnya ada enam titik pengungsian yang disiapkan untuk menampung warga.
Warga yang sakit juga diungsikan menggunakan perahu karet. Anak-anak dan bayi pun dievakuasi oleh para sukarelawan. Untuk memudahkan mobilitas, para korban banjir hanya diminta membawa barang berharga serta perlengkapan pribadi.
Di tempat-tempat pengungsian, para sukarelawan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jatim dan BPBD Sidoarjo bahu-membahu menyiapkan terpal dan matras untuk alas tidur para korban banjir. Mereka juga memasok kebutuhan air minum dan menyediakan air bersih untuk warga. Para sukarelawan juga membagikan selimut kepada pengungsi.
Untuk memenuhi kebutuhan makanan masyarakat korban banjir, pemerintah daerah mendirikan dapur umum yang menyediakan nasi bungkus. Makanan siap saji itu juga didistribusikan kepada warga yang bertahan di rumah selama terjadi bencana.
Baca juga: Potret Banjir di Sidoarjo
Kepala BPBD Sidoarjo Dwijo Prawito mengatakan, status tanggap darurat bencana banjir telah ditetapkan pada 7 Febuari 2024. Kebijakan itu berlaku selama 14 hari atau hingga 20 Febuari 2024. Status itu ditetapkan untuk lima kecamatan di Sidoarjo yang dilanda bencana banjir, yakni Waru, Taman, Tanggulangin, Sedati, dan Jabon.
”Selama masa tanggap darurat, posko bencana telah dioperasikan. Selain itu, dilakukan penanganan agar genangan cepat surut,” ujar Dwijo, Sabtu (10/2/2024).
Dia menambahkan, penetapan status tanggap darurat bertujuan mengoptimalkan penanganan warga terdampak bencana. Hal itu juga dilakukan untuk mengantisipasi potensi banjir terulang serta memudahkan pengalokasian anggaran.
Selain menggenangi ribuan rumah warga, banjir di Kecamatan Waru juga merendam jalan nasional Sidoarjo–Surabaya, tepatnya di samping jalan layang Waru. Genangan yang tinggi sempat menyebabkan jalan tidak bisa dilalui kendaraan roda dua dan roda empat.
Akibatnya, seluruh arus lalu lintas kendaraan dialihkan melewati jalan layang. Hal itu memicu penumpukan kendaraan yang menyebabkan kemacetan panjang dalam waktu lama. Kemacetan semakin parah terjadi pada jam-jam berangkat dan pulang kerja.
Banjir juga merendam Terminal Purabaya, Sidoarjo. Terminal bus dan mobil penumpang umum terbesar di Jatim itu dipenuhi genangan air mulai dari area jalan masuk, tempat kedatangan bus, tempat parkir bus, hingga kawasan kios-kios pedagang kaki lima.
Luapan Sungai Buntung
Wakil Bupati Sidoarjo Subandi mengatakan, banjir yang melanda Kecamatan Waru disebabkan oleh luapan Sungai Buntung. Sungai yang melintasi Kecamatan Taman, Waru, hingga Sedati itu termasuk yang terbesar di Sidoarjo sehingga dampaknya sangat signifikan.
”Meluapnya Sungai Buntung ini dipicu oleh hujan deras yang terjadi dalam waktu cukup lama. Saat bersamaan, di hilir terjadi fenomena pasang air laut sehingga air tidak bisa mengalir menuju muara,” ucap Subandi.
Baca juga: Sungai Buntung di Sidoarjo Meluap, Puluhan Warga Mengungsi
Faktor lain yang juga memicu luapan Sungai Buntung ialah daya tampung sungai yang tidak maksimal. Penyebabnya antara lain tertutupnya permukaan sungai oleh tanaman enceng gondok serta banyaknya sampah rumah tangga yang dibuang ke sungai sehingga menghambat laju aliran air.
Sungai Buntung merupakan salah satu anak Sungai Brantas. Sungai sepanjang sekitar 34 kilometer itu melintasi hampir semua desa di Kecamatan Waru. Oleh karena itu, potensi kerawanan bencana banjir saat musim hujan, terutama ketika cuaca ekstrem, di Waru sangat tinggi.
Baca juga: Banjir, Alarm dari Alam
Kewenangan pengelolaan Sungai Buntung berada di Balai Besar Wilayah Sungai Brantas Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Namun, karena luapan sungai ini berdampak terhadap obyek vital di Jatim, Pemerintah Provinsi Jatim pun tidak tinggal diam.
Wakil Gubernur Jatim Emil Elestianto Dardak mengatakan, Pemprov Jatim telah memetakan seluruh kawasan Sungai Buntung dari hulu hingga hilir. Hasilnya, ditemukan banyak titik hambatan aliran air. Salah satunya karena permukaan sungai tertutup enceng gondok sepanjang 7 km.
”Perlu ada upaya percepatan pembersihan enceng gondok untuk mengurangi potensi luapan atau tingginya muka air,” ujar Emil, Kamis (8/2/2024).
Berdasarkan catatan Kompas, pembersihan enceng gondok yang menutup permukaan Sungai Buntung sudah pernah dilakukan oleh Pemprov Jatim dan Pemkab Sidoarjo. Namun, upaya pembersihan itu kalah cepat dengan pertumbuhan tanaman gulma tersebut.
Selain itu, pembersihan sampah di sepanjang aliran sungai juga berulangkali dilakukan. Namun, volume sampah di sungai tetap tinggi karena pembuangan sampah dilakukan secara masif. Hal itu dipicu oleh rendahnya kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempat sampah.
Faktor lain yang juga memicu luapan Sungai Buntung ialah daya tampung sungai yang tidak maksimal.
Potensi cuaca ekstrem
Di sisi lain, Kepala Stasiun Meteorologi Kelas I Juanda Sidoarjo Taufiq Hermawan mengingatkan masyarakat agar mewaspadai potensi cuaca ekstrem di beberapa wilayah Jatim. Cuaca ekstrem itu dapat mengakibatkan bencana hidrometeorologi, seperti hujan lebat, banjir, tanah longsor, angin kencang, puting beliung, serta hujan es, pada 7-13 Februari 2024.
Bencana tersebut berpotensi terjadi di 38 kabupaten/kota di Jatim, termasuk Sidoarjo. Kondisi itu terjadi karena Jatim telah memasuki puncak musim hujan. Taufiq mengatakan, suhu muka laut di perairan Jatim yang hangat mengakibatkan peningkatan pasokan uap air di atmosfer.
Selain itu, kelembaban udara yang tinggi mulai lapisan bawah hingga atas mendukung terbentuknya awan-awan konvektif yang masif. Di sisi lain, terdapat daerah konvergensi atau pertemuan massa udara. Ada juga gangguan gelombang atmofer Kelvin yang mendukung terbentuknya daerah pumpunan awan hujan di wilayah Jatim.
Pakar bencana dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Amin Widodo, mengingatkan, bencana banjir akibat luapan sungai sebenarnya bisa dicegah atau setidaknya diminimalisasi dampaknya. Hal itu antara lain bisa dilakukan dengan menjaga daya tampung sungai melalui pemeliharaan dan pembersihan secara rutin.
”Selain itu, yang tidak kalah penting ialah menumbuhkan kesadaran masyarakat terkaitnya pentingnya menjaga fungsi sungai, salah satunya dengan tidak menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan sampah,” ungkap Amin.