Empuknya Jabatan di Balik ”Kue” Desa di NTT
Jabatan kepala desa diperebutkan sejak dana desa digulirkan pada 2015. Namun, warga NTT tetap miskin.
Jabatan kepala desa diperebutkan oleh sejumlah tokoh masyarakat di desa sejak dana desa digulirkan pada 2015. Jumlahnya miliaran rupiah per tahun per desa. Namun, bukan kesejahteraan masyarakat yang muncul, melainkan justru kasus korupsi yang melibatkan ratusan kepala desa, termasuk sejumlah masalah lain.
Gusti Tukan (29), warga Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, sudah empat bulan mengikuti pendidikan Paket C di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Mawar Kasih di Kupang. Program Paket C untuk mendapatkan ijazah setara SMA berlangsung satu tahun. Sebelumnya, program itu hanya butuh waktu beberapa bulan, bahkan minggu.
”Saya ingin mengikuti pencalonan kepala desa di sana. Bersaing dengan bakal calon lain di awal tahun 2025. Saya lahir dan besar di desa itu, dan terlibat dalam berbagai kegiatan desa. Hitungan matematis, jumlah pemilih saya jauh lebih banyak dari sisi anggota suku dan hubungan kekerabatan di desa,” kata jebolan kelas I SMA ini, di Kupang, Kamis (8/2/2024).
Penghasilan tetap kepala desa sesuai ketentuan saat ini Rp 4 juta per bulan, sekretaris desa Rp 2,8 juta, dan perangkat desa, termasuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Rp 2,2 juta per bulan. Honor sejumlah itu bagi warga desa termasuk tinggi karena mereka tidak bekerja secara rutin dan masih bisa mengolah lahan dan kegiatan ekonomis lain di desa itu.
Baca juga: Triliunan Rupiah Mengalir, Kemiskinan di NTT Hanya Turun Tipis
Menurut Gusti, kepala desa saat ini sejak menjabat berubah menjadi orang berpenghasilan cukup di desa itu. Memiliki kendaraan truk Fuso untuk berbisnis, menyekolahkan tiga anaknya ke Pulau Jawa, dan anggota keluarganya tidak lagi menjadi pekerja migran ilegal seperti kebanyakan warga desa lain. Sementara pembangunan di desa itu tidak berubah, meski kepala desa itu sudah lima tahun memimpin.
Dosen Hukum Universitas Nusa Cendana, Kupang, John Tuba Helan, mengatakan, dana desa memiliki daya tarik luar biasa untuk dikelola oleh kepala desa. Jabatan kepala desa sebelum adanya dana desa tidak dilirik. Sejak 2015, jabatan itu menjadi kursi empuk dan rebutan tokoh-tokoh di desa. Bahkan sebagian lulusan sarjana terlibat kontestasi pemilihan kepala desa. Konflik kepentingan sangat kuat.
Sebanyak 3.026 desa di NTT mendapatkan dana itu. Setiap desa kebagian anggaran lebih dari Rp 1 miliar per tahun. Sampai 2024, total dana desa lebih dari Rp 20 triliun menyebar di semua desa di NTT. Itu belum termasuk bantuan langsung tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), dan jenis bantuan lain dari pemerintah.
Akan tetapi, anehnya, provinsi dengan 22 kabupaten/kota ini masih terpuruk, menempati urutan ketiga nasional provinsi termiskin. Saat ini hanya bansos pemerintah yang dirasakan masyarakat miskin. Sementara dana desa diduga hanya dinikmati oknum kepala desa bersama keluarga dan anggota suku dari kepala desa. Kelompok ini mengalami perubahan hidup cukup signifikan di bidang ekonomi.
Baca juga: Dana Desa dan Arah Pembangunan Desa Capres-Cawapres 2024
Oknum kepala desa banyak merekrut anggota BPD serta aparatur desa, seperti bendahara, sekretaris, kepala urusan (kaur) pemerintahan desa, kaur pembangunan desa, dan kaur keamanan desa dari anggota marga atau suku asal kepala desa itu. Karena proses kawin-mawin, oknum kepala desa pun memiliki hubungan keluarga dengan beberapa suku lain di desa sehingga makin banyak orang terlibat menikmati dana desa itu.
”Korupsi dana pun sulit terungkap. Sama-sama saling melindungi karena menikmati bersama-sama. Korupsi berjemaah. Karena itu, tidak ada yang berani melaporkan kasus itu ke pihak berwajib. Apalagi, inspektorat kabupaten pun tidak pernah melakukan pengawasan dan audit terhadap penggunaan dana-dana itu. Lagi pula, tidak ada anggaran turun ke kabupaten kepulauan,” katanya.
Kehadiran dana desa juga membuat warga desa terpolarisasi berdasarkan suku dan garis keturunan di desa itu. Muncul sikap saling benci dan menjelekkan antara keluarga besar kepala desa atau aparatur desa dan warga lain.
Situasi ini terjadi berawal dari perilaku nepotisme dan kolusi yang dibangun kepala desa bersangkutan. Semua jenis bansos hanya dibagikan kepada anggota keluarga aparatur desa atau suku-suku di mana aparatur desa masuk di dalamnya. Meski ada warga desa yang lebih berhak mendapatkan bansos, mereka tidak kebagian karena bukan anggota suku dari kepala desa itu.
Sejak 2015-2023, sebanyak 732 dari 3.026 kepala desa di NTT terlibat korupsi. Ia mencontohkan di Kabupaten Malaka. Awal memimpin Kabupaten Malaka, 2021, Bupati Simon Nahak memerintahkan 99 dari 127 kepala desa di Malaka mengembalikan dana desa yang dikorupsi. Total dana desa yang diselewengkan mencapai Rp 9,245 miliar. Dana senilai itu pun telah dikembalikan para kepala desa dengan cara mencicil.
Baca juga: 99 dari 127 Kepala Desa di Malaka Menyelewengkan Dana Desa
Ia mengatakan, selama ini laporan pertanggungjawaban keuangan desa bisa direkayasa. Tim teknologi informasi desa memotret pembangunan saluran air, jalan, dan perbaikan talut dari desa lain atau mengambil dari sumber lain, kemudian dilaporkan sebagai hasil pembangunan desa. Dengan demikian, anggaran dana desa tetap cair pada periode berikutnya sesuai jadwal. Ini terjadi karena tidak ada tim inspektorat yang turun ke desa-desa.
Dalam sejumlah pertemuan, John selalu mengusulkan agar di setiap kecamatan dihadirkan tim inspektorat kecamatan untuk melakukan inspeksi sekaligus audit dana desa. Kehadiran tim ini untuk menjaga agar dana desa benar-benar dimanfaatkan untuk pembangunan kesejahteraan masyarakat di desa itu.
Korupsi dana pun sulit terungkap. Sama-sama saling melindungi karena menikmati bersama-sama.
Kepala Desa Lamawara, Lembata, Pato Balawala mengatakan, wacana jabatan kepala desa delapan tahun hanya membuka peluang bagi kepala desa bersangkutan untuk menyalahgunakan kekuasaan. Saat berkuasa enam tahun saja, banyak kepala desa terlibat kasus korupsi. Makin lama berkuasa, orang semakin tergoda melakukan hal-hal di luar kewenangan.
Selama dana desa digulirkan, sesuai laporan media massa, sudah ratusan kepala desa di NTT terlibat korupsi, apalagi jika menjabat selama delapan tahun. Korupsi dana desa makin meluas dan kesejahteraan masyarakat tidak terwujud meski mereka memimpin 8-9 tahun. Jabatan kepala desa 8-9 tahun itu mungkin bisa berlaku di Pulau Jawa, tetapi di Indonesia timur seperti NTT, hal itu belum bisa.
Baca juga: Pencairan Dana Desa di NTT Minim Tata Kelola Perlu Diperbaiki
”Pemimpin itu ada masa jenuhnya. Enam tahun saat ini saja terasa lama, apalagi delapan tahun. Mereka yang memperjuangkan masa jabatan 8-9 tahun itu dasarnya apa. Kita berasal dari desa itu, sudah mengenal karakter masyarakat dan memahami potensi desa, dan masalah di dalam desa. Begitu dilantik, kepala desa langsung bekerja. Alasan dari pimpinan Apdesi bahwa seorang kepala desa butuh penyesuaian dan konsolidasi sehingga butuh waktu 8-9 tahun memimpin itu tidak benar,” tutur Pato.
Hal senada disampaikan Kepada Desa Baumata Utara, Kecamatan Taebenu, Kabupaten Kupang, Pieter Aome. Masa jabatan sampai delapan tahun itu terlalu lama. Saat ini ada puluhan sarjana menganggur di desa.
Mereka juga diberi kesempatan memimpin desa. Kecuali kepala desa itu dinilai sukses oleh masyarakat, ia bisa memimpin dua periode. ”Saya sudah berusia 51 tahun sehingga masa jabatan enam tahun itu sudah cukup. Biar jabatan kepala desa diserahkan kepada orang lain,” kata Pieter.