99 dari 127 Kades di Kabupaten Malaka Menyelewengkan Dana Desa
Dana desa yang seharusnya dialokasikan untuk mengatasi ”stunting”, kemiskinan, hingga membangun desa usai dihantam badai Seroja justru dipinjam oleh kepala desa. Hingga bertahun-tahun sebagian dana belum dikembalikan.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Sebanyak 99 dari 127 kepala desa di Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, terlibat penyelewengan dana desa. Penyelewengan itu terjadi sepanjang 2014 hingga 2020 dengan nilai total Rp 9,245 miliar.
Penyelewengan dana itu berkedok meminjam uang dana desa. Bupati Malaka Simon Nahak di Kupang, Kamis (20/5/2021), mengatakan, besaran pinjaman itu Rp 100 juta hingga Rp 350 juta per kepala desa. ”Peminjaman itu berlangsung dari 2014 hingga 2020 sebelum bupati dan wakil bupati periode 2021-2024 dilantik,” kata Simon.
Meski penyelewengan itu dimulai sejak 2014/2015, Inspektorat selama itu tidak melaporkan adanya masalah. Penyelewengan baru ditemukan setelah Bupati Malaka Simon Nahak memerintahkan Inspektorat mengaudit dana desa di 127 desa di Malaka.
Peminjaman dana itu masuk kategori penyelewengan, tetapi dalam penyelesaian kasus itu, kata Simon, ditempuh dua cara, pertama, segera dikembalikan sesuai hasil audit Inspektorat atau BPKP; kedua, jika tidak segera dikembalikan secara tuntas, akan diserahkan kepada aparat penegak hukum.
Mantan dosen salah satu perguruan tinggi di Denpasar ini mengatakan, ada kepala desa yang sudah selesai melunasi pinjaman, ada yang sedang dalam proses pengembalian, dan ada kepala desa yang tidak mengembalikan sama sekali, sejak diberi kesempatan, pada 10 Mei 2021.
Lama waktu pinjaman sebenarnya hanya enam bulan, tetapi ada yang meminjam alokasi dana desa sejak 2014 dan belum dikembalikan hingga kini. Padahal, dana desa itu seharusnya bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan desa di tahun 2015.
Hingga Kamis, dana yang telah dikembalikan senilai Rp 1,63 miliar. Pemerintah Kabupaten Malaka memberi kesempatan tiga hari lagi untuk pengembalian dana itu.
Penyelewengan dana desa itu membuat pembangunan di desa-desa Malaka terhambat. Saat ini masyarakat Malaka sedang berbenah setelah badai Seroja menerjang daerah itu, 3-5 April 2021. Badai itu menyebabkan 11 orang meninggal, 1.798 orang mengungsi, 3.727 rumah rusak, dan 85 unit fasilitas umum rusak, termasuk Jembatan Benanain sebagai jembatan terpanjang di NTT.
”Tindakan 99 kepala desa ini mengganggu pembangunan desa di kabupaten perbatasan dengan Timor Leste itu. Jika tidak diambil tindakan, mereka akan terus melakukan penyelewengan yang merugikan masyarakat di desa itu,” kata Simon.
Penyelewengan dana desa juga terjadi di Timor Tengah Utara (TTU). Kejaksaan Negeri TTU menahan Primus Neno Olin, Kepala Desa Botof, Kecamatan Insana, di TTU, karena menyelewengkan dana desa senilai Rp 2,1 miliar sejak 2017 hingga 2020. Dalam penyelidikan yang dilakukan Kejaksaan Negeri TTU, telah terjadi korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Berdasarkan hasil penyidikan diketahui dari kerugian negara senilai Rp 2,1 miliar, sebanyak Rp 1,1 miliar di antaranya dipinjam kades untuk kepentingan pribadi. Namun, pinjaman selama 2017-2020 itu tidak pernah dikembalikan tersangka. Sisanya, Rp 1 miliar, disalahgunakan bersama rekanan dan aparat desa lain.
”Pantauan tim Kejaksaan Negeri TTU di lapangan, hasil pembangunan di Desa Botof jauh dari apa yang direncanakan. Proyek-proyek itu dikerjakan asal jadi, tidak memenuhi standar kualitas dan sebagian proyek fiktif,” kata Kepala Kejaksaan Negeri TTU Robert Jimmy Lambila.
Direktur Yayasan Mitra Pembangunan Mandiri Flores Timur (Flotim) Mateus Tadu Wulan menduga mayoritas dana desa di daerah itu dikorupsi kepala desa, tetapi banyak yang tak terungkap karena tak ada yang melapor. ”Tidak satu pun warga di desa itu membuat laporan atas setiap penyelewengan kepala desa. Di samping itu, Inspektorat juga tidak pernah turun lapangan sehingga kepala desa bertindak sesukanya,” kata Wulan.
Dana desa yang diselewengkan harusnya bisa menjadi bagian dari penyelesaian masalah kemiskinan, rawan pangan, gizi buruk, stunting, air bersih, infrastruktur jalan, dan rendahnya sumber daya manusia yang ada di desa. Namun, menurut Mateus, dana desa itu justru dimanfaatkan kepala desa dan aparatnya demi kepentingan pribadi. Mereka diduga menggunakan dana desa untuk membangun rumah mewah di desa, membuka toko, membeli kendaraan roda empat, dan menyekolahkan anak di sejumlah perguruan tinggi terkenal di Jawa.
Ia mengatakan, meski dana desa bukan kewenangan KPK, sesekali waktu KPK perlu bertemu dengan bupati, inspektorat, kepolisian, dan kejaksaan di setiap kabupaten/kota membahas dana desa itu. Sejak enam tahun dana desa sudah digelontorkan di NTT, dengan total dana sekitar Rp 18 triliun, tetapi NTT tetap miskin dan terbelakang.