logo Kompas.id
NusantaraAkademisi di Kepulauan Maluku ...
Iklan

Akademisi di Kepulauan Maluku Kritik Politik yang Minim Etika

Seruan akademisi terus bergulir. Pimpinan negara dinilai tidak mencerminkan etika dan adab yang baik dalam berpolitik.

Oleh
RAYNARD KRISTIAN BONANIO PARDEDE
· 4 menit baca
Kawasan pusat Kota Ternate, Maluku Utara, Rabu (13/3/2019).
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Kawasan pusat Kota Ternate, Maluku Utara, Rabu (13/3/2019).

TERNATE, KOMPAS — Sejumlah dosen di Kepulauan Maluku menyuarakan keprihatinan terhadap situasi demokrasi yang dinilai terancam akibat permasalahan netralitas pimpinan negara dan penyelenggara Pemilu 2024. Kalangan intelektual dan pemuka agama harus berani memberi pandangan politik, tetapi jangan terjebak terhadap politik praktis. Hal itu mengingat, di wilayah ini keduanya memiliki pengaruh besar.

Inisiator Forum Dosen Universitas Khairun Ternate, Jamalun Togubu, menjelaskan, ia bersama beberapa pengajar menyerukan ”Petisi Kie Raha” sebagai upaya untuk mengingatkan pimpinan negara kembali mempraktikkan politik yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan demokrasi. Ucapan Presiden Joko Widodo, beberapa waktu lalu, mengenai diperbolehkannya kepala negara ikut berkampanye memantik kerisauan Jamalun dan rekannya.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Menurut dia, berdasarkan hal tersebut, praktik bernegara, khususnya yang berkaitan dengan pemilihan presiden dan wakil presiden, sudah diwarnai unsur ketidakadilan karena hanya untuk menguntungkan dinasti politik tertentu. Dalam petisi tersebut, mereka meminta pemerintah tidak mengekang kebebasan berpendapat serta tidak menggunakan kekuatan negara untuk mendukung salah satu calon.

”Kami meminta kepala negara, dengan dalil etika dan marwah demokrasi, agar tidak ikut terlibat dalam kampanye,” ucapnya di Ternate, Maluku Utara, Rabu (7/2/2024).

Tidak hanya mencederai demokrasi, tindakan tersebut menunjukkan adanya pemusatan kekuasaan di tangan segelintir kekuatan politik. Hal ini dinilai berbahaya karena membuat suara ataupun aspirasi politik dari masyarakat yang jauh dari pusat, salah satunya wilayah Indonesia Timur, tidak didengar.

Sejumlah dosen Universitas Khairun menggelar seruan deklarasi kebangsaan di Ternate, Jumat (2/2/2024).
ISTIMEWA

Sejumlah dosen Universitas Khairun menggelar seruan deklarasi kebangsaan di Ternate, Jumat (2/2/2024).

Selain pemimpin negara, penyelenggara Pemilu 2024, seperti Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu, juga harus menunjukkan sikap netral. Meski demikian, ia ragu mengingat adanya pelanggaran etik yang juga dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Terbaru, Selasa (6/2/2024), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu memutuskan Ketua KPU dan beberapa anggotanya melanggar etik karena menerima pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.

Baca juga: Seruan dari Kampus Terus Bergulir

Pengajar di Fakultas Perikanan Kelautan Universitas Khair Janib Achmad menjelaskan, akademisi di perguruan tinggi memiliki tiga tugas atau disebut Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dalam aturan tersebut, akademisi hadir dalam pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Gelombang seruan yang terus datang perlu dipandang sebagai bentuk pengabdian para guru besar dan dosen untuk masyarakat.

Ia mengingatkan, protes dan kritik yang datang dari institusi pendidikan memiliki dampak besar dalam stabilitas bernegara sehingga harus diperhatikan.

Seruan ini harus dipandang sebagai bentuk pengabdian masyarakat dari para akademisi.

Iklan

Dalam Petisi Kie Raha juga tercantum pentingnya membangun program pembangunan yang berkeadilan di wilayah kepulauan, khususnya yang berkaitan dengan penambangan dan pengolahan. Hilirisasi yang didengungkan oleh pemerintah dinilai belum memberikan kesejahteraan bagi masyarakat lokal, khususnya di Maluku Utara, yang memiliki kandungan nikel yang berlimpah.

Ia juga turut mengajak para akademisi di Indonesia Timur, khususnya Kepulauan Maluku, untuk bersuara. Meski jauh dari pusat kekuasaan dan sorotan media, peran akademisi penting agar aspirasi masyarakat di wilayah ini tetap terdengar. ”Apabila ada yang berkata seruan ini datang dari orkestrasi politik kelompok tertentu, maka itu keliru. Tugas akademisi bukan berpolitik, melainkan mengajar dan mengabdi,” ujarnya.

Peran agama

Selain akademisi, pemuka agama dan tokoh adat juga perlu memberikan sikap yang menyuarakan adanya kecurangan dan ketidakadilan politik akhir-akhir ini. Pengajar Pendidikan Multikultural Institut Agama Islam Negeri Ambon, Abidin Wakano, menerangkan, pemuka agama dan tokoh adat di wilayah Maluku memiliki peran besar dalam kehidupan sosial politik waraga karena menjadi lembaga yang sangat dihormati.

Para tokoh agama perlu memberikan pemahaman politik yang berdasarkan nilai-nilai universal agama, yakni kebaikan, kebenaran, dan keadilan. Untuk itu, mereka harus mengedukasi masyarakat mengenai praktik-praktik politik yang kini mencederai rasa keadilan masyarakat.

Pria yang aktif dalam upaya resolusi Konflik Ambon ini menjelaskan, politik elektoral yang dipraktikkan kini sebagai politik yang tidak beradab dan beretika.

Baca juga: Seruan Kampus untuk Demokrasi

Selain itu, tokoh adat di Maluku juga harus menunjukkan sikap netral dalam perhelatan politik. Peran mereka sebagai raja di beberapa negeri (desa) tidak boleh digunakan untuk kepentingan kelompok tertentu.

Direktur Lembaga Penjamin Mutu IAIN Ambon Abidin Wakano, di Ambon, Maluku, Rabu (7/2/2024).
RAYNARD KRISTIAN BONANIO PARDEDE

Direktur Lembaga Penjamin Mutu IAIN Ambon Abidin Wakano, di Ambon, Maluku, Rabu (7/2/2024).

Adapun Bawaslu Maluku kini tengah menyelidiki dugaan pelanggaran netralitas yang melibatkan beberapa raja, yang diduga hadir dalam kampanye calon wakil presiden nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, Senin (8/1/2024). Hingga kini, pengusutan masih terus dilakukan. Sebagai informasi, di Provinsi Maluku, raja adat diberikan kewenangan untuk memimpin wilayah setingkat desa, dengan kewenangan yang mirip dengan kepala desa.

”Agama hadir untuk memberitahukan mana yang salah, mana yang benar, mana yang adil, mana yang tidak adil. Sikap ini harus ditunjukkan, tetapi jangan terjun ke politik praktis dan politik identitas. Jangan malah menambah sampah demokrasi. Tokoh-tokoh harus mengambil peran membersihkan sampah-sampah ini,” ujarnya.

Akademisi Universitas Khairun, Muamar Halil, menyebut, akademisi perlu mengambil sikap tegas mengenai praktik politik minim etika yang tengah disaksikan oleh masyarakat banyak. Akademisi menjadi penyalur suara rakyat yang tidak berani mengungkapkan pendapatnya. Ia pun menyayangkan praktik politik seperti itu dipertontonkan dengan sadar oleh para penyelenggara negara.

Baca juga: Seruan Kampus Diabaikan, Pemilih Muda Bisa Beralih Dukungan

Ia pun menegaskan, aksi para pengajar di Universitas Khairun tidak terkait dengan pemenangan salah satu pasangan calon di Pemilu 2024 ini. ”Hukum didobrak, diubah untuk kepentingan tertentu,” ujarnya.

Editor:
SIWI YUNITA CAHYANINGRUM
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000