Paling Toleran Keempat, Toleransi Manado Harus Lebih Konkret
Pemkot Manado didorong untuk menciptakan kebijakan yang lebih konkret untuk menjaga toleransi di wilayahnya.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Pemerintah Kota Manado didorong menciptakan kebijakan lebih konkret demi menjaga toleransi lintas agama meski telah dinobatkan sebagai kota paling toleran keempat nasional. Kebijakan tidak boleh terbatas pada tataran pemuka agama saja, tetapi juga menyentuh isu seperti ketimpangan yang menyebabkan intoleransi.
Taufani, dosen Sosiologi Agama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado, Rabu (7/2/2024), menilai Pemkot Manado sudah bersikap akomodatif terhadap semua kelompok agama di daerahnya. Hal ini tampak mula-mula dari ketiadaan peraturan daerah berbasis keagamaan, seperti di Tolikara (Papua Pegunungan) atau Provinsi Aceh.
”Itu tidak ada di Manado sehingga bisa dikatakan potensi favoritisme kepada satu kelompok tertentu itu tidak ada. Pemerintah dan tokoh-tokoh daerah juga relatif cepat dalam menyelesaikan potensi konflik tanpa menunjukkan keberpihakan pada kelompok tertentu,” kata Taufani.
Setidaknya sejak April 2019, tidak ada konflik berbasis agama di Manado. Insiden serupa hanya terjadi di daerah-daerah penyangga ibu kota Sulawesi Utara ini, seperti perusakan sebuah mushala di Minahasa Utara pada 2020 serta bentrok antarormas pendukung Israel dan Palestina di Bitung pada 2023.
Karena itu, Manado dikategorikan dalam 10 kota paling toleran oleh Setara Institute dalam Indeks Kota Toleran (IKT) 2023. Manado mendapatkan menempati peringkat keempat dengan skor 6.400, tertinggal dari Singkawang di posisi pertama dengan skor 6.500. Di antara keduanya, bertengger Bekasi (6.460) dan Salatiga (6.450).
Posisi ini adalah perkembangan signifikan bagi Manado yang dalam IKT 2022 menempati posisi ke-8. Menurut Taufani, hal ini berarti ada perbaikan dalam berbagai indikator kota toleran, seperti regulasi pemerintah kota, tindakan pemerintah, pernyataan pejabat kunci, inklusi sosial keagamaan, hingga peristiwa intoleransi dan dinamika masyarakat sipil.
Akan tetapi, Taufani menilai toleransi tingkat akar rumput di Manado masih terbatas pada sekadar koeksistensi alias toleransi pasif. Upaya serius untuk mengenal umat beragama lain demi memupuk keharmonisan hanya terbatas pada elite-elite agama ataupun kaum cendekiawan di kampus-kampus.
”Kalau di kalangan awam, toleransi aktif seperti itu belum terjadi. Palingan sekadar jangan baku ganggu. Memang tipikal orang Manado, ya, tidak mau cari ribut,” katanya.
Bentuk paling konkret dari upaya menjaga kerukunan beragama oleh warga sipil sejauh ini baru tampak di media sosial ketika terjadi peristiwa intoleransi atau pertengkaran yang terkait dengan agama. Hal ini Taufani sebut sebagai mekanisme kreatif yang menyerupai ”agama sipil.”
”Mereka selalu bilang, Tak perlu berkelahi. Torang samua kwa basudara. Jadi, generasi Z dan milenial punya mekanisme kreatif untuk mengembalikan lagi prinsip itu. Di samping itu, peran media lokal juga tak terlalu mem-blow up isu-isu seperti ini meskipun informasi berbau konflik biasanya sangat disukai,” tuturnya.
Hal lain yang menjadi masalah adalah toleransi yang sering kali hanya diartikan sebagai pembangunan monumen. Di Manado, ini tampak dengan pemasangan ornamen-ornamen khas hari besar keagamaan tertentu di muka kantor wali kota, pembangunan Graha Religi Manado yang kini mangkrak, serta Monumen Lilin Manado.
”Selama ini sifatnya hanya proyek (infrastruktur). Jangan-jangan kebijakan toleransi pemerintah hanya berbentuk proyek,” kata Taufani.
Sementara itu, Wakil Wali Kota Manado Richard Sulang menyebut pencapaian Manado sebagai kota keempat paling toleran dalam IKT 2023 adalah kebanggaan bagi pemkot dan warga kota. Nilai toleransi ia sebut telah terbentuk sejak lama.
Kondisi ini pun diteruskan dengan menjaga komunikasi intensif antarpemuka agama. Di samping itu, pemkot juga menjaga aliran hibah kepada berbagai kegiatan keagamaan tanpa memandang kelompok agamanya.
Ke depan, kata Richard, Pemkot Manado berencana mengatur toleransi antarsuku, ras, dan agama di Manado dengan mendorong pembuatan peraturan daerah. Perda yang ia sebut masih dibicarakan secara informal ini nantinya akan dapat meningkatkan komunikasi antartokoh serta antarumat beragama demi tingkat toleransi yang lebih tinggi.
Perda ini nantinya juga akan mengatur sanksi. ”Untuk yang memprovokasi, menyebarkan hoaks, dan mengadu domba, itu pasti ada hukumannya. Tapi, ini lebih ke soal bagaimana kita memformalkan kegiatan-kegiatan yang membangun toleransi dengan satu payung hukum,” tuturnya.
Soal ini, Taufani menilai perda tersebut masih tidak memuat kejelasan. Menurut dia, toleransi seharusnya dapat dipupuk dengan kebijakan yang lebih konkret, yaitu mengatasi ketimpangan sosial-ekonomi yang tampak pada umat antaragama.
Dalam kasus Manado, ini tampak pada pembangunan yang tertinggal di Manado bagian utara, seperti Kecamatan Tuminting dan Singkil yang dihuni mayoritas umat Islam. Warga di wilayah tersebut juga kebanyakan bekerja di sektor informal.
”Pemerintah sebenarnya perlu aksi afirmatif ke kelompok-kelompok muslim yang tinggal di wilayah utara. Harusnya diberikan beasiswa agar pembangunan sumber daya manusia lebih setara dengan yang di wilayah lainnya. Pembangunan itu paling jelas melalui pendidikan,” ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani menyebut ada 94 kota yang dinilai dalam IKT. Indeks tersebut diharapkan dapat mendorong pembangunan ekosistem toleransi, memperluas inklusi, dan menopang Indonesia 2045.
Ekosistem toleransi sendiri nantinya ditopang tiga hal, yaitu kepemimpinan politik toleransi, kepemimpinan sosial, dan kepemimpinan birokrasi. Aspek birokrasi dinilai paling penting untuk menjaga keberlanjutan toleransi di tingkat daerah.
Jika toleransi dapat dijaga, lanjut Ismail, kota-kota di Indonesia nantinya dapat turut berperan aktif dalam mencegah terorisme. ”Kalau pakai perspektif tangga terorisme, intoleransi adalah pintu masuk atau tangga pertamanya. Berikutnya radikalisme, setelah itu terorisme,” ucapnya.