Narasi baik dan buruk berjalan bersamaan dan sama kuatnya di internet, sementara masyarakat masih belum bisa menyaringnya dengan baik.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Nilai-nilai toleransi beragama justru semakin melemah di saat teknologi informasi berkembang pesat. Akibatnya, manusia semakin mudah tersulut konflik karena perbedaan pandangan pada suatu fenomena. Literasi keagamaan perlu didorong lagi demi menciptakan kedamaian dan menjunjung hak asasi manusia.
Cendekiawan Muslim Alwi Shihab mengatakan, narasi-narasi baik dan buruk berjalan bersamaan dan sama kuatnya di internet yang bisa diakses secara bebas dan personal. Sementara belum ada instrumen yang kuat untuk menyaring hal-hal buruk tersebut sehingga setiap orang perlu perlu mempunyai kemampuan yang baik untuk menyaring.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Namun, kondisi ideal itu tidak bisa tercapai jika kemampuan literasi secara umum, khususnya literasi tentang keagamaan dan HAM, seseorang terbatas. Mereka cenderung hanya akan percaya pada apa yang ia yakini benar tanpa melihat dari sudut pandang yang lebih luas.
Kami selalu menganjurkan, jangan bawa-bawa agama. Pemilih juga jangan memilih karena dia Islam atau Kristen atau lainnya, kita tidak akan pernah maju kalau begitu.
”Sekarang yang mengajarkan kesejukan dan yang mengajarkan kekerasan sama-sama berburu melalui teknologi. Jadi, perlu ada tambahan pengetahuan yang memberikan wawasan lebih luas, khususnya bagi mereka yang mendidik anak-anak muda, karena masih strategis untuk diubah pikirannya,” kata Alwi di Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Kamis (9/11/2023).
Utusan Khusus Presiden Timur Tengah dan Organisasi Kerja Sama Islam tahun 2016-2019 ini menegaskan, seseorang tidak boleh hanya meyakini satu hal yang menurut dia benar dan memaksakan untuk sama dengan keyakinan orang lain, apalagi jika meyakini hal yang didapat dari tafsir orang lain. Oleh sebab itu, mereka perlu memperluas wawasan, terutama dari sumber utama.
Dia mencontohkan, ada beberapa orang yang meyakini bahwa tidak boleh mengucapkan selamat hari raya kepada orang berbeda keyakinan yang tengah merayakannya. Padahal, dalam sumber utamanya, tidak ada yang melarang. Walaupun ada peristiwa sejarah serupa di masa lampau, hal itu tidak lagi kontekstual dengan kondisi masyarakat majemuk hari ini.
”Tinggal bagaimana keinginan seseorang untuk belajar, kalau tertutup hatinya untuk belajar dan dia menganggap apa yang ia ketahui dari gurunya itulah yang paling benar, itulah sumber bibit intoleransi. Dia tidak langsung merujuk ke sumber utamanya,” ucapnya.
Matius Ho, Direktur Eksekutif Institut Leimena, menambahkan, untuk menghadapi banjir informasi di internet, seseorang harus memiliki setidaknya tiga keterampilan literasi keagamaan lintas budaya. Ketiga keterampilan itu adalah komunikasi, negosiasi, dan evaluasi.
”Sekarang di zaman digital ini orang menjadi malas mengevaluasi, daya berpikir kritisnya kurang. Mereka menerima saja semua yang dibaca di media sosial, belum tentu diverifikasi, ini bisa memperkuat prasangka terhadap orang lain. Apalagi algoritma internet yang membuatnya di situ-situ saja,” kata Matius.
Berdasarkan penelitian Setara Institute, rata-rata Indeks Kota Toleran (IKT) secara nasional pada 2022 adalah 5,03, menurun dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 5,24. Ini menunjukkan kondisi yang stagnan. Setara menggunakan rentang nilai buruk-baik antara 1-7.
Adapun tiga kota yang mendapat nilai paling tinggi adalah Singkawang (6,58), Salatiga (6,42), dan Bekasi (6,08). Sementara tiga kota yang berada di urutan terbawah dari 94 kota yang diteliti adalah Cilegon (3,22), Depok (3,61), dan Padang (4,06).
Oleh sebab itu, Alwi mewanti-wanti para politisi untuk tidak menggunakan agama sebagai komoditas untuk meraup suara di Pemilihan Umum 2024. Sebab, kontestasi politik tanpa membawa agama saja sudah membentuk polarisasi masyarakat.
”Agama memang satu cara yang paling cepat untuk memengaruhi pemilih. Kami selalu menganjurkan, jangan bawa-bawa agama. Pemilih juga jangan memilih karena dia Islam atau Kristen atau lainnya, kita tidak akan pernah maju kalau begitu,” tuturnya.
Sejumlah keresahan terkait toleransi beragama ini akan dibahas dalam Konferensi Internasional tentang Literasi Agama Lintas Budaya yang diikuti tokoh agama dan HAM dari sejumlah negara. Konferensi untuk memperingati 75 tahun Deklarasi Universal HAM ini digelar di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, pada 13 dan 14 November 2023.
Selain itu, mereka juga akan membahas pemahaman martabat manusia sebagai prinsip dasar Deklarasi Universal HAM, signifikansi dan implikasinya dalam memperkuat supremasi hukum untuk melindungi dan memajukan hak asasi manusia, secara regional dan global. Ini sesuai dengan visi ASEAN pasca-2025 dalam membangun masyarakat multiagama dan multibudaya yang damai dan inklusif di salah satu kawasan paling beragam di dunia.
”Ini penting untuk meningkatkan kerukunan umat beragama. Indonesia sebagai negara berpenduduk besar yang beragam, tetapi kita harmonis, ini kekuatan bagi kita,” kata Direktur Jenderal HAM Kemenkumham Dhahana Putra.