”Rica” Bukan Satu-satunya, tetapi Tanpa ”Rica” Bukan Minahasa Namanya
Di Minahasa, cabai atau yang lebih dikenal sebagai ”rica” itu wajib, tetapi pedas itu soal selera.
Setelah hampir 11 tahun menjalankan bisnis kedai makanan Minahasa bersama kedua orangtuanya di jantung Kota Manado, Angela Mangumpaus (36) sampai pada satu kesimpulan. Cabai, atau yang lebih dikenal sebagai rica itu wajib, tetapi pedas itu soal selera.
”Rica itu wajib, tapi tergantung koki, apa dia mo pidis sekali atau nyanda. Cuma, yang penting, makanan Minahasa itu kaya bumbu,” kata Angela, Senin (5/2/2024), di meja kasir Rumah Makan (RM) Ragey Om Alo di Kecamatan Sario, di jantung ibu kota Sulawesi Utara itu.
Untuk memahami perkataan Angela, mari menilik etalase kaca di muka kedai itu. Berbagai olahan makanan Minahasa, yang tentu hampir semuanya berbahan dasar daging babi, disediakan di baki-baki baja nirkarat. Ada babi rica, tinoransak, babi woku, babi kecap, serta daging anjing bumbu RW, singkatan dari rintek wuuk yang berarti ”rambut halus”.
Sekilas, lauk yang berbahan dasar daging babi bentuknya mirip-mirip, yaitu daging dipotong dadu yang terendam dalam kubangan bumbu. Bumbu-bumbu itulah yang membedakan satu lauk dengan lainnya.
Tinoransak, misalnya, tampak pucat dagingnya, tetapi meriah dengan aneka irisan daun hijau dan merahnya rica. Babi woku hampir serupa, tetapi kuahnya berwarna kuning. Sebaliknya, babi rica tampak merah dan oranye karena berlumuran rica yang dihaluskan. Sementara itu, RW tampak kehitaman dengan irisan dedaunan yang aromatik dan rica.
Meski berbeda-beda, Angela mengatakan, masakan Minahasa hanya menggunakan sekelompok bumbu dan rempah sebagai sumber rasanya. Bumbu rempah itu, antara lain, ialah goraka (jahe), kunyit, lengkuas, bramakusu (serai), daun jeruk, kemangi, daun kunyit, cengkeh, pala, pandan, bawang-bawangan, dan tentunya rica.
Saking kayanya akan bumbu, aroma masakan Minahasa selalu kuat nan menggugah selera. Perkara enak tak perlu ditanya. Semua bumbu itu menyatu membentuk cita rasa yang begitu kaya dan cenderung pedas. Kalau makan, sudah pasti pica suar alias jadi berkeringat karena beradu dengan pedas.
Mari mengambil tinoransak dan babi woku sebagai contoh. Pada dasarnya bumbu kedua masakan tersebut sama, seperti bawang merah dan putih serta batang bawang, kemangi, goraka, daun jeruk, daun kunyit, serai, dan tentunya rica.
”Tapi, babi woku pakai kuning (kunyit), jadi warnanya kuning, sedangkan tinoransak nda pake. Tinoransak dengan babi woku juga masih bisa pakai pala,” kata Angela.
Sementara itu, babi rica, seperti namanya, mendapatkan rasanya yang dominan pedas dari cabai keriting alias rica alus, tetapi tetap menggunakan daun jeruk, lengkuas, jahe, serai, serta kunyit. Bumbu RW untuk ayam, bebek, atau anjing juga sangat kaya akan rempah yang disebutkan di atas, ditambah dengan jeruk nipis yang membuatnya pedas tetapi segar.
Bahkan, babi kecap yang cenderung manis pun tetap menggunakan jahe, cengkeh, pala, dan lada yang dihaluskan. Jadi, mau pedas atau manis, bumbu dalam makanan Minahasa selalu berlimpah ruah.
Angela tak tahu pasti mengapa masakan Minahasa seperti itu. Dalam praktiknya, tentu beragam jenis bumbu dan rempah itu akan efektif menghilangkan bau anyir atau tak sedap lainnya dari daging babi, ayam, atau anjing yang dihidangkan.
Namun, karakter rasa dan aroma yang kuat dari makanan Minahasa ia yakini adalah penyesuaian orang Minahasa dengan apa yang telah alam berikan. ”Kenapa torang makan itu? Karena bumbu apa pun yang ditemukan di sekeliling rumah itu yang torang masak, itu yang torang campur, itu yang torang pake,” katanya.
”Rica” yang utama
Juru kuliner kawakan Indonesia, William Wongso, sepakat dengan yang dikatakan Angela. Namun, ia meyakini bahwa rasa pedas adalah bagian integral yang tak boleh tak ada dalam makanan Minahasa. Maka, rica bukanlah sebuah pilihan. Semua tergantung dari sang pemakan, seberapa besar toleransinya terhadap rica.
”Banyak makanan Indonesia itu rasa pedasnya dari luar. Kalau mau pedas, ya pakai (sambal), kalau enggak, ya, enggak usah pake. Tapi, di makanan Minahasa, cabai itu sudah dimasak sama-sama, sudah masuk. Makanya, makanan itu udah enggak bisa diubah. Kalau kita sudah pesenpedes, ya enggak bisa dikurangi,” katanya, Selasa (6/2) pagi via telepon.
Baca juga: Tinutuan dan Rahang Tuna, Kuliner Manado yang Enak dan Enak Sekali
Karena itu, William menilai, sumber rasa pedas utama dalam kuliner Minahasa tetaplah rica. Pemedas lain, seperti jahe dan lada, memang tetap digunakan, tetapi fungsinya lebih untuk menambah aroma.
Hal ini dibenarkan Fadly Rahman, dosen sejarah di Universitas Padjadjaran (Unpad). Cabai mulai diperkenalkan di Sulut oleh bangsa Portugis dan Spanyol pada abad ke-16. Sumbernya adalah wilayah koloninya di Amerika Selatan. Introduksi tersebut dimulai dengan pembudidayaan yang ternyata berhasil.
”Ketika diuji oleh orang-orang Minahasa sebagai bahan memasak, mereka menyukai sensasi pedasnya. Mereka kemudian menjadikan cabai sebagai olahan dalam berbagai masakan sehingga menghasilkan cita rasa pedas dalam kuliner mereka,” kata Fadly via teks, Selasa pagi.
Di samping itu, rica sangat cocok dengan kultur makan orang Minahasa yang terkenal pemakan segala jenis daging yang diternak ataupun diburu, dari babi, babi hutan, tikus hutan, anjing, kelelawar (paniki), biawak (soa-soa), sampai ular piton (patola).
Di sisi lain, menurut William Wongso, rica juga paling efektif menghilangkan bau dan rasa yang kurang sedap dari daging-daging tersebut.
”Pasti ada aroma dan karakteristik dari daging-daging aneh itu yang harus di-balance dengan aroma bumbu serta rasa yang pekat. Contohnya daging anjing. Cabai (pada bumbu RW) bisa sama berat dengan dagingnya. Supaya lebih aromatik, ditambah jeruk (lemon cui) yang banyak, serai yang banyak, dan dikasih juga daun pandan,” kata William.
Hal ini disaksikan dan dialami sendiri oleh Gabriele Weichart, antropolog dari University of Heidelberg ketika meneliti di dataran tinggi Minahasa pada awal 2000-an. Semua ia catatkan dalam artikel Minahasa Identity: A Culinary Practice yang diterbitkan jurnal Antropologi Indonesia pada 2004 dalam rangka mencari kesatuan identitas sembilan subsuku Minahasa.
Itu karakter orang Minahasa yang bisa menerima hal-hal baru. Di samping itu, ’rica’ juga dihubungkan dengan semangat kerja. Itu kebutuhan pokok orang Minahasa, jadi harus kerja keras supaya tetap bisa beli ’rica’.
Menurut Weichart, dua dari tiga ciri khas makanan Minahasa adalah penggunaan rica yang berlimpah serta penggunaan daging hewan liar sebagai lauk. Upaya untuk menghilangkan aroma dagaing hewan liar berujung pada apa yang disebutnya overdosis cabai.
”Sang pemakan kesulitan merasakan rasa lain selain rasa yang sangat pedas. Jadi, ketika teman-teman di Eropa bertanya tentang rasa daging tikus, anjing, dan lain-lainnya, saya hanya bisa memberikan jawaban sumir karena memang sungguh tak mungkin untuk menemukan karakteristik rasa daging itu sendiri yang tidak dibunuh oleh cabai,” tulisnya.
Jadi tantangan
Dengan kultur kuliner yang demikian, makanan Minahasa pun menjadi semacam eksotisme bagi orang-orang dari luar Minahasa meskipun itu hanyalah hal biasa bagi warga lokal. Weichart mencatat, orang Minahasa akan ”menghakimi” orang dari daerah atau negara lain dari cara ketahanan mereka terhadap rasa pedas.
Karena itu, orang Minahasa suka mengundang orang non-Minahasa ke rumah mereka untuk makan, terutama dalam perayaan-perayaan besar, seperti Natal atau Pengucapan Syukur. Lalu, mereka akan mengajukan satu pertanyaan: Sudah bisa makan makanan Minahasa? ”Jika jawabannya ya, orang tersebut dianggap cocok untuk hidup di Minahasa,” kata Weichart.
Menurut Fadly, cita rasa pedas tak hanya untuk membangkitkan gairah makan, tetapi juga menunjukkan keberanian dan kekuatan orang-orang Minahasa, baik di lingkungan sosial budayanya sendiri maupun suku-suku bangsa lainnya.
Rikson Karundeng, peneliti Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (Pukkat) di Tomohon, berpandangan, orang Minahasa menyukai tantangan. Itulah yang membuat mereka tak ragu menggunakan cabai yang jika diukur dengan sebuah kantong, volumenya mencapai 1-2 liter.
Ia menduga, kebiasaan makan tersebut telah terbentuk turun-temurun lintas generasi sehingga tubuh orang Minahasa hampir otomatis dapat menoleransi pedas. Maka, penggunaan cabai, begitu pula bumbu dan rempah-rempah lain, tak boleh sedikit.
”Kalau masak terus, pedasnya enggak terasa, orang akan menggunjingkan di belakang. Mereka bilang, ’Huuu, pe koncudu’ (pelit sekali),” kata Rikson.
Rikson sendiri saat ini belum tahu pasti kapan rica masuk ke Minahasa hingga menjadi bagian integral dari masakan Minahasa. Namun, ia mengklaim Minahasa sebenarnya sudah memiliki rica lokal yang tumbuh di hutan-hutan. Rasanya pun disebut sangat pedas.
Baca juga: Nikmati Pengkang dan Kwetiau Saat Liburan di Pontianak
Terlepas dari itu, orang Minahasa dapat memaknai penggunaan rica sebagai simbolisasi dari sifat terbuka. ”Itu karakter orang Minahasa yang bisa menerima hal-hal baru. Di samping itu, rica juga dihubungkan dengan semangat kerja. Itu kebutuhan pokok orang Minahasa, jadi harus kerja keras supaya tetap bisa beli rica,” katanya.
Pada akhirnya, makanan Minahasa memang tak bisa tak pedas. Namun, berbagai macam bumbu dan rempah lainnya juga tak akan bisa ditinggalkan. Sebab, kalau tak berlimpah bumbu, bukan makanan Minahasa namanya.