Pantai-pantai yang Mengubah Wajah Gunungkidul
Gunungkidul kini menjadi primadona pariwisata pantai di DI Yogyakarta. Hal itu turut mendongkrak perekonomian warga.
Hingga setahun yang lalu, Digo (20) masih buram menatap masa depannya setelah lulus sekolah menengah kejuruan. Pemuda di pelosok Gunungkidul, DI Yogyakarta, itu bahkan telah bersiap merantau ke kota besar untuk mencari pekerjaan. Namun, kehadiran sebuah sanggraloka mengubah jalan hidupnya.
”Alhamdulillah, saya tidak perlu jauh-jauh mencari kerja. Bekerja dekat dengan rumah jelas lebih enak,” ujar warga Desa Balong, Kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunungkidul, itu saat ditemui di tempat kerjanya, Rabu (24/1/2024).
Digo bekerja sebagai koordinator public area di Jungwok Blue Ocean, sanggraloka tepi laut yang beroperasi sejak Mei 2023 di Desa Jepitu, Girisubo. Desa Jepitu bertetangga dengan desa tempat tinggal Digo.
Dengan gaji Rp 2,05 juta atau sesuai upah minimum kabupaten, Digo bisa menghidupi dirinya yang masih lajang. Selain itu, dia bisa membantu perekonomian orangtuanya yang bekerja sebagai petani di wilayah ujung timur Gunungkidul tersebut.
Dia pun merasa beruntung tak perlu merantau ke Kota Yogyakarta, atau bahkan Jakarta, seperti sebagian temannya. Dengan gaji yang relatif sama, merantau lebih menguras biaya untuk tempat tinggal, makan-minum, dan transportasi. ”Belum lagi harus berpisah dari keluarga,” ucapnya.
Digo hanyalah satu dari ribuan warga yang menikmati dampak langsung dari pesatnya pertumbuhan sanggraloka, hotel, dan vila di Gunungkidul sejak setidaknya 10 tahun terakhir. Hal ini seiring dengan kian populernya kabupaten itu di mata wisatawan, terutama perihal kemolekan pantai-pantainya. Gunungkidul kini menjadi primadona pariwisata di DIY.
Lihat juga: Magnet Pemikat Kaum Pemuja Tamasya di Gunungkidul
Pintu-pintu ekonomi baru pun terbuka lebar bagi warga di daerah yang sebelumnya lekat dengan imaji kemiskinan, kekeringan, dan keterpencilan itu. Selain diserap industri akomodasi dan amenitas pariwisata seperti Digo, banyak pula warga yang mendulang rezeki wisata dari usaha sendiri.
Hal ini dialami Bahono Putro (56), warga Desa Jepitu, yang berjualan baju di Pantai Jungwok sekitar lima tahun terakhir. ”Tadinya saya sopir travel, coba-coba jualan baju pantai karena melihat banyak wisatawan. Ternyata penghasilannya lumayan,” katanya.
Bahono bisa mengantongi omzet Rp 1 juta-Rp 1,5 juta setiap akhir pekan. Pada musim liburan, seperti Lebaran, omzetnya dapat melambung hingga Rp 5 juta per hari. ”Penghasilan bersih saya sekarang setidaknya Rp 3 juta sebulan. Waktu jadi sopir travel, bawa pulang separuh jumlah itu saja susah,” ucapnya.
Pantai Tepus
Selain Girisubo, rezeki pariwisata juga dirasakan wilayah lain yang berbatasan dengan laut. Di Kecamatan Tepus, hotel, vila, rumah makan, hingga kios suvenir dan oleh-oleh dengan mudah ditemukan.
Hal itu, misalnya, terlihat di sepanjang Pantai Indrayanti hingga Pantai Sundak Timur di Desa Tepus. Desa itu salah satu yang menikmati booming pariwisata pantai Gunungkidul sejak awal.
Banyak warga yang merantau demi mencari penghidupan yang lebih baik.
Sekretaris Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Tepus Suheri menceritakan, embrio pariwisata di desa itu bermula di Pantai Indrayanti sekitar tahun 2011. Perlahan, kecantikan pantai yang disebut pula Pulang Sawal itu kian dikenal publik luas.
Hal ini juga didorong berkembangnya media sosial yang ”mempromosikan” pantai dengan hamparan pasir putih dan tebing-tebing karst yang menjorok ke laut tersebut. Dari situ, pantai-pantai lain yang berdekatan dengan Indrayanti juga diserbu wisatawan sehingga kunjungan makin ramai. Kini, Desa Tepus memiliki 12 pantai yang menjadi destinasi wisata.
Suheri mengatakan, dampak pariwisata bagi perekonomian warga sangat signifikan. Dulu, desa itu hanya mengandalkan pertanian tadah hujan untuk kehidupan sehari-hari. Karena itu, banyak warga yang merantau demi mencari penghidupan yang lebih baik.
”Sebelum tahun 2012, banyak warga yang bekerja sebagai ART (asisten rumah tangga) ke luar daerah karena kesulitan ekonomi. Setelah pariwisata berkembang, bisa dibilang tidak ada lagi warga yang bekerja sebagai ART,” ujar Suheri yang juga menjabat Kepala Urusan Tata Laksana Desa Tepus.
Saat ini, dari sekitar 12.000 jiwa penduduk Desa Tepus, sebanyak 30-40 persen menggantungkan perekonomian pada sektor pariwisata. ”Penghasilan warga setidaknya meningkat dua kali lipat dari sebelum ada pariwisata,” ucapnya.
Tumbuh pesat
Badan Pusat Statistik (BPS) Gunungkidul mencatat, pada 2011, jumlah kunjungan wisatawan sebanyak 616.696 kunjungan. Angkanya terus meningkat hingga puncaknya mencapai 3,7 juta kunjungan pada 2019. Sempat anjlok separuh selama pandemi Covid-19, data terakhir pada 2022 mencatat kunjungan menanjak lagi menjadi 3,1 juta.
Lonjakan wisatawan itu pun diikuti pertumbuhan hotel. Pada 2014, jumlah hotel sebanyak 103 unit dengan 900 kamar. Pada 2022, angkanya meroket menjadi 188 unit dengan 1.690 kamar.
Kepala Bidang Pengembangan Destinasi Dinas Pariwisata Gunungkidul Supriyanta mengatakan, total terdapat 104 pantai wisata di Gunungkidul. Hal itulah yang menjadi magnet penarik kunjungan wisatawan yang kemudian menggerakkan perekonomian.
Dari sekitar 800.000 penduduk Gunungkidul, Supriyanta menyebutkan, sekitar 100.000 orang terlibat dalam sektor pariwisata, baik langsung maupun tidak langsung. Karena efek pengganda yang besar itu, pariwisata menjadi sektor prioritas Gunungkidul.
Baca juga: Menerabas Ombak di Selatan Yogyakarta
Sekretaris Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Gunungkidul Asar Janjang Riyanti pun mengakui, sejak 2016, sektor pariwisata mendominasi arus investasi. Data tahun 2023, dari Rp 629 miliar realisasi investasi, separuhnya masuk ke sektor itu.
Guna memastikan efek ekonominya, Gunungkidul pun membuat peraturan daerah yang mewajibkan investor memberdayakan tenaga kerja lokal, bermitra dengan UMKM/koperasi lokal, hingga memanfaatkan sumber daya lokal. ”Sejauh mungkin kami upayakan agar ketentuan tersebut terpenuhi,” ujar Asar.
Meski begitu, muncul kekhawatiran dampak negatif pariwisata terhadap ekosistem karst. Sebagian wilayah Gunungkidul, termasuk di sepanjang pantai, berada dalam Kawasan Bentang Alam Karst Gunung Sewu. Gunung Sewu juga ditetapkan sebagai taman bumi (global geopark) oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO).
Peneliti Pusat Studi Karst Universitas Pembangunan Nasional (UPN) ”Veteran” Yogyakarta, Nandra Eko Nugroho, pun mengingatkan, pembangunan pariwisata harus berhati-hati dan memperhatikan kerentanan ekosistem karst. ”Jangan sampai pembangunan merusak bentang alam yang salah satunya berfungsi sebagai sumber air itu,” katanya.
Apalagi, karst jugalah yang membuat pantai-pantai Gunungkidul bisa memiliki pasir putih dan tebing-tebing cadas yang menawan. Kalau sampai itu rusak, ekonomi pariwisata pun akan hilang bersamanya....
Baca juga: Merawat Karst, Menjaga Peradaban