Dosen UB: Demokrasi Indonesia Sudah Berbelok dari Tujuan
Demokrasi Indonesia sudah berbelok dari tujuan awal reformasi. Harus ada kekuatan oposisi sebagai penyeimbang.
MALANG, KOMPAS — Demokrasi Indonesia sudah berbelok dari tujuan awal reformasi. Kekuatan oposisi sebagai penyeimbang pemerintah harus dikuatkan jika ingin demokrasi berjalan pada rel yang benar.
Hal itu disampaikan oleh dosen Ilmu Politik Universitas Brawijaya, Malang, Wawan Sobari, Selasa (6/2/2024). Menurut Wawan, demokrasi Indonesia berjalan lambat dan pada akhirnya kini berbelok dari tujuan demokrasi.
Demokrasi Indonesia berjalan lambat, menurut Wawan, karena faktor penggeraknya lebih pada elite daripada faktor masyarakat. Dengan demikian, demokrasi susah berkembang karena bergantung pada aktor-aktor negara ketimbang masyarakat.
”Demokrasi kita cenderung demokrasi prosedural ketimbang substantif. Demokrasi prosedural itu kemajuan politik lari kencang, tapi tidak diikuti secara gradual oleh perkembangan sosial ekonomi. Sementara di negara maju, dua hal itu berjalan bareng. Dengan demikian, gampang sekali demokrasi kita dibajak oleh para elite. Dibajak di sini misalnya semua pengambilan keputusan ditentuan elite, bukan rakyat,” katanya.
Baca juga: Seruan Universitas Brawijaya: Hukum Jangan Dijadikan Instrumen Politik
Menurut Wawan, di Indonesia, elite berkolaborasi dengan oligarki. ”Elite-elite lama juga masih berkuasa. Itu menyebabkan demokrasi berjalan lamban. Sebab, kekuasaan lama masih bergerak sehingga perubahan tidak bisa cepat. Tidak bisa berubah secara signifikan,” katanya.
Oleh karena kekuasaan dikuasai elite, demokrasi yang seharusnya bicara soal kerakyatan, tetapi justru yang terjadi sebenarnya lebih sebagai dialog yang didorong oleh elite.
Menurut Wawan, ketika terjadi reformasi politik 1998, tidak terjadi reformasi elite di Tanah Air. Yang terjadi sebenarnya, para pemimpinnya tetap orang sama. ”Kalau toh mulai berganti orang, tapi kepentingan sama. Jadi, perubahan kepentingan itu tidak terjadi. Rakyat tetap tidak punya kekuatan untuk menegosiasikannya,” katanya.
Kalaupun elite lama sudah tua dan mundur dari kekuasaan, menurut Wawan, kepentingan lama masih bercokol. ”Ini yang membuat demokrasi Indonesia tidak bisa bergerak cepat. Contohnya revisi UU KPK. Jelas sekali itu yang terjadi bukan konsolidasi rakyat, melainkan konsolidasi elite. Dampaknya kita lihat kepercayaan ke KPK menurun. Ketua KPK ditangkap polisi. Itu baru terjadi sekarang. Itu dampak dari kekuatan elite sangat berpengaruh,” katanya.
Baca juga: Universitas Negeri Malang Serukan Presiden Pelopori Netralitas Aparatur Negara
Di Indonesia saat ini, Wawan menyebut, kekuatan oposisi bisa dibilang tidak berkembang. ”Kalau melihat kekuatan koalisi di parlemen, apa bedanya Orba dengan sekarang? Di Orba Golkar menguasai 70-80 persen kursi parlemen setiap tahun. Zaman SBY ada dengan sekretariat gabungan. Sekarang pun sebanyak 76 persen kursi parlemen dikuasai koalisi sehingga wacana kebijakan, pengambilan keputusan selalu dimenangkan pemerintah. Di sisi lain oposisi rakyat tidak punya dampak cukup besar,” katanya.
Hal nyata dan baru terjadi adalah beragam kritik ke pemerintah pada akhirnya dengan mudah diabaikan.
Dengan kondisi parlemen tersebut, di saat bagi-bagi kekuasaan terjadi, Wawan menyebutnya sebagai demokrasi konsokasional atau concocational. ”Intinya adalah power sharing atau berbagi kekuasaan. Di Eropa, power sharing untuk membentuk koalisi, sementara di (sistem politik) kita, elite begitu kuat mengarahkan demokrasi sehingga ada monopoli kekuasaan oleh elite. Monopoli demokrasi. Cenderung negatif,” katanya.
Pemerintahan tampak demokratis, tapi pemerintah punya kaki tangan lain untuk menekan. (Wawan Sobari)
Wawan mengatakan, sebenarnya demokrasi digerakkan elite bukan lagi demokrasi, tapi otokrasi. ”Kalau dari sisi aturan, kita banyak dijamin. Misalnya kebebasan berpendapat. Aturan formalnya iya. Tapi, sebaliknya, aturan itu juga mencengkeram. Misalkan kritik Butet,” katanya.
Elite berkoalisi bukan antarelite saja, melainkan juga dengan kekuatan-kekuatan nonpartai (kelompok relawan) yang bisa menggunakan hukum sebagai senjata untuk membungkam pihak-pihak yang kritis terhadap pemerintah. ”Pemerintahan tampak demokratis, tapi pemerintah punya kaki tangan lain untuk menekan,” katanya.
Itu sebabnya, Wawan menilai, demokrasi Indonesia sudah berbelok dari tujuan. Rakyat tidak memegang peran penting dan hanya sebagai pemenuhan prosedur indikator demokrasi. Sementara penguasa sejatinya tetap sekelompok elite.
Oleh karena itu, menurut Wawan, untuk bisa kembali berjalan di rel demokrasi yang benar, rakyat harus mulai lebih banyak dilibatkan. Butuh oposisi yang kuat sebagai penyeimbang. ”Oposisi tidak harus selalu dari konteks parpol dan legislatori. Oposisi juga dari rakyat. Bahwa rakyat misalkan punya suara-suara penyeimbang ketika ada kebijakan, maka itu bisa disiapkan untuk bertarung argumen dengan pemerintah. Dengan demikian, terjadi konsultasi antara pemerintah dan rakyat sehingga tidak selalu pertimbangan elite,” katanya.
Rakyat harus mulai lebih banyak dilibatkan. Butuh oposisi yang kuat sebagai penyeimbang.
Salah satu upaya menjadi penyeimbang tersebut adalah dengan munculnya seruan-seruan dari berbagai tokoh dan akademisi di Tanah Air belakangan ini.
Wawan berharap, pada Pilpres 2024 nanti, apa pun hasilnya, pihak yang nantinya kalah bisa memilih menjadi oposisi. Dengan demikian, ada penyeimbang pemerintahan, ada checks and balances. “Checks and balances untuk sebuah pemerintahan itu perlu. Itu sebagai sebuah akuntabilitas atau pertanggungjawaban pada publik. Jadi sangat diperlukan,” katanya.
Baca juga: Suara Keprihatinan dari Kalangan Kampus Meluas
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Rachmad Safa’at menambahkan, demokrasi di Tanah Air sedang tidak baik-baik saja. Berbagai pelanggaran terus dilakukan, antara lain sistem politik ekonomi oligarki yang menguat. Misalnya, pemerintah membangun elite pengusaha dan pemerintah untuk menguasai pengambilan keputusan di Dewan. ”Sehingga yang lain tidak kebagian. Elite oligarki ini tidak lebih dari 100 orang. Namun, mereka menguasai 60 persen kekayaan Indonesia. Kesenjangan ini yang memicu konflik,” katanya.
Selain itu, banyak persoalan korupsi telah diabaikan dan presiden menguatkan otoritarian personal. ”Presiden mencengkeram semua hal mulai dari DPR, MK, polisi, dan TNI. Inilah yang disebut personal otoritarian,” katanya.
Dengan kondisi itu, Rachmad mengatakan, akan sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. ”Kondisi ini sangat berbahaya jika dibiarkan. Meskipun kita bisa makan dengan tenang, kita mencengkeram bara yang suatu saat meledak. Makanya, suara-suara kritik membangun yang disampaikan, jika tidak didengarkan, maka situasi Tanah Air bisa semakin kacau. Apalagi nanti setelah ada hasil pilpres,” ucapnya.
Baca juga: Seruan dari Kampus Terus Bergulir