Penangkapan Ikan yang Merusak Ancam Ekosistem Laut Aceh
Terumbu karang di Aceh sebagian rusak akibat praktik ”destructive fishing”. Penegakan hukum dan kampanye diperkuat.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS —Destructive fishing atau penangkapan ikan tidak ramah lingkungan, seperti menggunakan potas, bom ikan, pukat harimau, kompresor, dan setrum, telah merusak ekosistem laut di Provinsi Aceh. Dampak kerusakan tersebut mulai terlihat, seperti kerusakan terumbu karang dan populasi ikan berkurang.
Hal itu mengemuka dalam diskusi publik yang digelar oleh Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh dengan topik ”Illegal fishing dan kerusakan terumbu karang di Laut Aceh”, Selasa (6/2/2024).
Spesialis Marine dari Flora Fauna International Program Aceh Rahmat Dirgantara menuturkan masih ada praktik penangkapan ikan secara tidak benar. Mereka menemukan kapal nelayan menggunakan pukat harimau dan bom ikan. ”Pukat trawl (harimau) merusak terumbu karang tempat ikan berkembang biak,” kata Rahmat.
Ketika terumbu karang rusak, dampak jangka panjang populasi ikan akan berkurang, bahkan terancam hilang sama sekali. Dia mencontohkan di perairan Kabupaten Aceh Barat udang windu telah lama menghilang. Dia menduga ada kaitannya dengan penangkapan ikan tidak ramah lingkungan.
”Di Aceh Barat ancamannya ada dua, yakni tumpahan batubara dan pukat trawl,” kata Rahmat.
Rahmat mengatakan, praktik destructive fishing umumnya dilakukan di perairan dangkal yang merupakan tempat tumbuhnya terumbu karang. Dia juga menyebutkan juga masih ada nelayan yang menangkap hiu yang dilindungi.
Rahmat mengatakan, nelayan kecil juga masih melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan kompresor yang kerap digunakan untuk penyuplai udara kendaraan. Penggunaan kompresor membahayakan keselamatan dan kesehatan nelayan serta kerusakan bagi ekosistem laut.
Anggota Aceh Spearfishing Club (ASC) atau komunitas penembak ikan, Amir Dayyan, mengatakan, mereka menemukan beberapa titik perairan Aceh rusak terumbu karangnya. Praktik menangkap ikan dengan cara menembak dianggap sangat ramah lingkungan.
”Tahun 2016, di perairan Lamreh, Kabupaten Aceh Besar, dalam jarak 3 meter kami menjumpai kawanan ikan, tetapi sekarang tidak ada lagi,” kata Dayyah.
Sementara di kawasan perairan Pulau Tuan, Aceh Besar, temuan Dayyah telah terjadi bleaching atau pemutihan pada terumbu karang. Dayyan khawatir jika tidak dicegah, kerusakan akan semakin parah.
Koordinator Jaringan Kuala Aceh Gemal Bakri menuturkan, isu kelautan atau ekosistem laut jarang diekspos secara mendalam oleh media massa sehingga upaya advokasi lemah. Padahal, kerusakan ekosistem laut berdampak buruk terhadap kehidupan manusia.
Gemal mengatakan, kerusakan ekosistem laut tidak dapat dipotret dari udara sehingga tidak dapat disajikan dengan mudah kepada publik. Berbeda dengan kerusakan di hutan dapat dipotret menggunakan satelit sehingga kerusakan hutan atau kebakaran lahan terekam dengan mudah.
Tahun 2016, di perairan Lamreh, Kabupaten Aceh Besar, dalam jarak 3 meter kami menjumpai kawanan ikan, tetapi sekarang tidak ada lagi.
Kerusakan kawasan pesisir hingga kenaikan muka air laut dapat memicu bencana alam hingga bencana kemanusiaan. Warga pesisir kehilangan sumber penghidupan.
Pengawas Perikanan Muda Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Lampulo, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Eko Prasetyo Ritanto, mengatakan, pengawasan diperketat untuk menekan praktik destructive fishing. Namun, penegakan hukum saja tidak cukup karena sanksi tidak akan memberikan efek jera bagi pelaku.
Eko mengatakan, sosialisasi dan penyadartahuan harus dilakukan secara masif agar banyak pihak peduli pada ancaman ekosistem kelautan. ”Banyak kapal yang kami jatuhi sanksi, tetapi tidak menghentikan destructive fishing,” kata Eko.