Jeritan Peternak Ayam akibat Harga Pakan Melambung
Melonjaknya harga jagung membuat para peternak ayam merana. Mereka berharap ada jaminan ketersediaan jagung.
Sejumlah peternak ayam di Jawa Tengah berjuang mati-matian mempertahankan usahanya yang sedang kembang kempis. Di tengah terus melambungnya harga pakan, mereka menjerit berharap diselamatkan.
Cipto (45), peternak ayam asal Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal, Jateng, sulit tidur nyenyak beberapa bulan terakhir. Pikirannya tak pernah merasa tenang, selalu waswas dengan kondisi yang tengah dihadapinya. Usaha ternak ayam yang sudah dilakoni selama sepuluh tahun terakhir itu pelan-pelan berjalan menuju senja kala.
Mulanya, Cipto punya delapan kandang ayam. Di setiap kandang, ada sekitar 10.000 ekor ayam yang dibesarkan menjadi ayam pedaging. Seiring berjalannya waktu, satu per satu kandang itu berangsur kosong dan terpaksa tidak berproduksi lagi.
Baca juga: Peternak Ayam Keluhkan Harga Jagung Tembus Rp 7.000
Kini, tinggal tiga kandang yang beroperasi dengan jumlah pekerja enam orang. Lima kandang yang lain tutup dan sepuluh pekerja harus berhenti.
”Sekarang, saya tidak tahu bagaimana nasib mereka, entah (mereka) kerja apa dan di mana. Mereka semua tulang punggung keluarga, jadi menghidupi banyak orang, makanya pusing saya kalau kepikiran mereka,” kata Cipto, dihubungi Sabtu (3/2/2024).
Usaha peternakannya berjatuhan lantaran tak ada lagi perusahaan pembibitan ayam yang menyuplai bibit ayam kepadanya. Selama ini, Cipto bekerja sama dengan perusahaan pembibitan ayam untuk merawat dan membesarkan bibit ayam dari perusahaan mitra untuk menjadi ayam pedaging.
Dalam kerja sama tersebut, Cipto tak hanya mendapatkan bibit ayam atau ayam berumur sehari (day old chicken), tetapi juga mendapatkan suplai pakan ternak, obat-obatan, hingga jaminan pemasaran ayam dengan harga sesuai kontrak perjanjian yang disepakati dengan perusahaan. Biasanya, ia mendapatkan suplai bibit ayam sekitar 35-40 hari sekali. Namun, sudah tiga bulan terakhir, sebagian besar suplai bibit ayam berhenti karena harga pakan meroket.
Cipto menduga, perusahaan-perusahaan itu memilih untuk membesarkan sendiri bibit-bibit ayam mereka untuk memangkas pengeluaran dan menekan besaran kerugian.
Ilustrasi-Pedagang sedang menata daging ayam, Rabu (10/6/2020) di Pasar Pagi Kota Tegal, Jawa Tengah. Kenaikan harga ayam di kawasan pesisir pantai utara barat Jateng disebabkan oleh penurunan jumlah suplai bibit dan kenaikan harga ayam.
Kondisi itu pun membuat, kandang-kandang milik Cipto menganggur. Kandang dari bambu dan kayu itu pun lambat laun lapuk, bahkan sebagian ambruk. Di tengah kondisi tersebut, Cipto berupaya melobi pihak-pihak perusahaan agar tetap mau menyuplai bibit kepadanya. Akhirnya ia mendapat suplai tapi cuma di tiga kandang itu. Itu pun nilai kontraknya sekehendak perusahaan.
”Saya tidak untung sama sekali, cuma pas untuk ganti modal dan bayar pekerja saja. Kadang, saya malah rugi. Tapi, mau bagaimana lagi, yang terpenting bagi saya kandang itu tetap terisi biar pekerja-pekerja saya dan keluarganya juga bisa tetap makan,” tutur Cipto.
Sebenarnya, Cipto ingin sekali bisa menjalankan usahanya secara mandiri, tidak bermitra dengan perusahaan. Namun, keinginan itu terkendala oleh tidak adanya biaya. Untuk beternak mandiri, ia harus menyiapkan modal hampir Rp 700 juta.
”Uang sebesar itu tentu saja saya tidak punya. Solusinya, ya, harus pinjam ke bank. Tapi, saya sudah mencoba untuk mengajukan (pinjaman), tapi belum juga disetujui,” ujarnya.
Tutup
Cipto bukan satu-satunya peternak ayam yang merugi dan terpaksa menutup operasional kandang-kandangnya. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, sekitar 90 persen dari seluruh peternak ayam, baik ayam pedaging maupun ayam petelur, di Kabupaten Tegal, menutup usahanya karena persoalan yang sama.
Jumlahnya sudah ratusan peternakan yang tutup, terutama peternak yang populasi ayamnya di bawah 10.000 ekor. Yang populasinya 20.000-25.000 ekor ayam juga ada yang gulung tikar.
Masalah serupa terjadi di hampir seluruh daerah di Jateng. Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Jateng Parjuni menyebutkan, sekitar 20 persen dari total peternak rakyat di Jateng gulung tikar dalam kurun waktu enam bulan terakhir.
”Jumlahnya sudah ratusan peternakan yang tutup, terutama peternak yang populasi ayamnya di bawah 10.000 ekor. Yang populasinya 20.000-25.000 ekor ayam juga ada yang gulung tikar. Mungkin karena ada beban cicilan bank atau pembayaran rutin lain yang tidak bisa dilakukan, jadi harus tutup, ayamnya dijual habis,” kata Parjuni, Jumat (2/2/2024).
Ketimpangan antara biaya produksi dan harga ayam pedaging ataupun telur di pasaran menjadi alasan bangkrutnya peternak. Kondisi itu, menurut Parjuni, sudah terjadi selama beberapa bulan terakhir.
Ia mencontohkan, harga produksi telur mencapai Rp 27.000 per kilogram (kg), naik dari sebelumnya sebesar Rp 23.000 per kg. Sementara itu, harga jualnya hanya sekitar Rp 22.000-Rp 23.000 per kg.
Adapun biaya produksi ayam pedaging hidup sekitar Rp 21.000-Rp 22.000 per kg, naik dari sebelumnya Rp 17.000 per kg. Padahal, kini, harga jual ayam pedaging hidup sekitar Rp 17.000 per kg.
Kenaikan biaya produksi ayam pedaging ataupun telur terjadi karena lonjakan harga jagung. Jagung yang merupakan komponen utama dalam pembuatan pakan ayam itu melonjak harganya dari Rp 5.000 per kg menjadi Rp 9.000 per kg.
”Selain harganya naik, stok jagung di pasaran itu juga tidak ada. Kemarin kan kemarau panjang akibat El Nino, jadi produksi jagung kita turun. Dalam kondisi seperti itu, harusnya impor saja. Harga jagung di luar negeri masih murah sekitar Rp 2.900-Rp 3.000 per kg,” kata Parjuni.
Pinsar Jateng telah mengingatkan pemerintah terkait risiko gejolak harga akibat ketiadaan jagung. Mereka juga sudah mengusulkan agar pemerintah mengimpor jagung sejak jauh-jauh hari. Sayangnya, permintaan itu baru dipertimbangkan dan barangnya baru tiba di Indonesia pada akhir tahun 2023.
Ke depan, Parjuni berharap pemerintah bisa lebih memperhatikan data terkait suplai jagung dan permintaan jagung. Jika ada ketimpangan antara suplai dan permintaan, impor perlu dilakukan. Namun, harus disertai pertimbangan-pertimbangan tertentu supaya petani tidak merugi.
Ia pun berharap tidak ada lagi ketimpangan yang berakibat pada tutupnya sejumlah usaha ternak ayam rakyat seperti sekarang. Jika semua peternak ayam bangkrut, jagung hasil panen petani juga berpotensi tidak terserap maksimal.
Pengganti
Tingginya harga serta langkanya jagung juga membuat perusahaan pembibitan unggas merana. Sama seperti peternak rakyat, mereka juga pontang-panting berupaya supaya usahanya tetap bertahan.
Ketua IV Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) Asrokh Nawawi mengatakan, pihaknya sudah mencoba mencari bahan baku pengganti jagung, yakni gandum pakan.
Ilustrasi-Para peternak unggas mandiri yang tergabung dalam Paguyuban Peternak Rakyat Nusantara (PPRN) menggelar aksi di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (11/10/2021).
”Kebutuhan pabrik pakan terhadap jagung yang diganti dengan gandum pakan ini sekitar 600.000 ton per bulan, sedangkan pada tahun 2023, kuota impornya cuma 500.000 ton. Selain masih jauh dari jumlah kebutuhan, realisasinya pada tahun 2023 juga cuma 261.000 ton. Jadi, perusahaan pakan kelabakan,” tutur Asrokh.
Selain jagung dan gandum pakan, ada bahan pakan lain yang bisa digunakan pabrik pakan. Pertama, bahan pakan asal tumbuhan, seperti bungkil kedelai (Soybean meal), biji-bijian sisa penyulingan (Distillers Dried Grains with Solubles), dan limbah perendaman biji jagung (Corn gluten meal). Kedua, ada bahan pakan asal hewan, seperti tepung daging dan tulang (Meat and bone meal) serta bagian-bagian ayam gagal produksi yang dipotong (Poultry meat meal).
”Sayangnya, untuk bahan pakan asal tumbuhan dan hewan ini tidak keluar rekomendasi impornya. Karena rekomendasinya tidak bisa dikeluarkan, barangnya juga tidak bisa masuk ke Indonesia,” kata Asrokh.
Kondisi tersebut lantas memaksa para perusahaan pembibitan unggas memilih untuk menggunakan pakan dengan kualitas rendah yang tersedia di pasaran. Hal itu berakibat pada terganggunya pertumbuhan ayam yang berujung pada penurunan kualitas ayam. Asrokh mencontohkan, ayam usia 35 hari yang normalnya memiliki bobot 2,2-2,5 kg menjadi hanya berbobot 1,5-1,6 kg.
”Meski ukurannya kecil, mau tidak mau tetap harus dipanen. Ayam yang dipanen kecil inilah yang membuat harga di pasaran anjlok. Peternak ayam benar-benar terjepit posisinya sekarang,” katanya.
Untuk mengatasi persoalan perunggasan yang kini sedang terjadi, Asrokh berharap supaya pemerintah segera memenuhi kebutuhan bahan baku pakan. Jika tidak, bukan mustahil Indonesia tidak ada ayam dan telur di pasaran. Apalagi, dalam beberapa waktu ke depan, akan ada hari-hari besar yang mengerek permintaan ayam ataupun telur, seperti Imlek, Ramadhan, Idul Fitri, hingga Paskah.
Selain melakukan upaya darurat berupa impor jagung, Asrokh berharap pemerintah juga membuat program untuk mendongkrak konsumsi telur dan daging ayam. Peningkatan konsumsi bisa dilakukan dengan mengadakan gerakan makan daging ayam dan telur serentak. Upaya itu disebut akan membuat permintaan telur dan daging ayam di pasaran naik.
Para pelaku usaha di bidang peternakan ayam ingin agar presiden atau pemerintahan mendatang memikirkan nasib mereka. Salah satu yang diharapkan adalah supaya pelaku usaha peternakan dilibatkan dalam koordinasi dan pemetaan data terkait kebutuhan ataupun produksi bahan baku pakan ternak.
”Semua pihak harus diajak duduk bersama, terutama perusahaan produsen pakan ternak, peternak, dan petani. Nanti didata, kebutuhan untuk pakan berapa, kemampuan produksi petani berapa, kapan panennya, dan di mana panennya. Jika ada potensi masalah, bisa diketahui dan dipikirkan solusinya bersama. Jadi, kita semua tidak berjalan di lorong gelap seperti sekarang, katanya jagung ada tapi saat dicari tidak ada,” kata Asrokh.
Kerja sama meningkatkan produktivitas dan kualitas tanaman jagung juga diperlukan agar ketersediaan jagung di masa depan lebih terjamin. Selama ini, Asrokh menyebutkan, kemampuan produksi jagung di Indonesia sekitar 5,6 ton per hektar. Jumlah itu masih jauh di bawah produksi jagung di Iowa dan Minnesota, Amerika Serikat, yang mampu memproduksi sebanyak 10 ton per hektar. Untuk itu, petani perlu didampingi oleh pakar dari universitas atau badan riset dalam peningkatan produksi jagung tersebut.
Tak banyak
Dihubungi terpisah, Minggu (4/2/2024), Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Jateng Agus Wariyanto menyatakan, dirinya mengetahui adanya keluhan dari para peternak unggas di wilayahnya terkait lonjakan harga pakan yang terjadi. Namun, pihaknya tak bisa berbuat banyak untuk mengatasi persoalan yang terjadi di hampir seluruh wilayah di Indonesia tersebut.
Ada sekitar 2.500 peternak unggas mandiri di Jateng yang memerlukan hampir 700.000 ton jagung per tahun. Sementara itu, belasan perusahaan produsen pakan di Jateng memerlukan sekitar 1,7 juta ton jagung. Sehingga, total kebutuhan jagung di Jateng, minimal 2,4 juta ton. Oleh karena fenomena El Nino, kebutuhan itu tidak bisa terpenuhi lantaran produksi jagung menurun.
”Upaya yang bisa dilakukan saat ini adalah mengefisienkan penggunaan pakan, menyiapkan substitusi jagung untuk produksi pakan, kemudian melakukan subsidi pakan. Jalan paling cepat itu subsidi harga jagung. Kemarin di Jateng sudah dilakukan subsidi yang akhirnya mampu menurunkan harga jagung menjadi Rp 5.000 per kg. Namun, ternyata tetap tidak cukup karena harga tersebut masih dianggap tinggi,” kata Agus.
Guru Besar Prodi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Adi Ratriyanto menyebutkan, fluktuasi harga pakan ternak bukan fenomena baru. Sejak dulu, kondisi itu sudah sering berulang. Kendati demikian, fluktuasi harga yang tahun ini terjadi karena kelangkaan jagung, baru pertama kali terjadi.
Baca juga: Asa Petani Gorontalo Karam oleh Jagung Hibrida
”Sebagai antisipasi ke depan, harus disiapkan agar bahan baku utama pakan yakni jagung ini tidak terlambat suplainya. Caranya, bisa dengan meningkatkan produksi dalam negeri atau dengan cara impor,” ujar Adi.
Adi memperkirakan, kenaikan harga pakan yang membuat para peternak merugi akan segera teratasi. Hal itu karena jagung yang diproduksi petani dalam negeri akan panen dalam beberapa waktu ke depan. Selain itu, jagung yang diimpor pemerintah juga sudah mulai berdatangan.