Slamet Tohari dan Langgengnya Perdukunan di Tengah Masyarakat Instan
Perdukunan itu secara sosiologis masih ada dan masih diyakini oleh sebagian masyarakat kita.
Mbah Slamet alias Tohari (46) yang dikenal sebagai dukun pengganda uang dari Desa Balun, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, diganjar hukuman mati oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Banjarnegara, Kamis (1/2/2024).
Slamet dinyatakan terbukti bersalah membunuh 12 korban yang merupakan pasiennya secara berencana. Para korban umumnya terlilit utang. Mereka rela menyerahkan mahar puluhan juta rupiah dengan harapan digandakan menjadi miliaran rupiah dalam hitungan bulan.
Awal April 2023, jagat maya digemparkan dengan beredarnya pesan terakhir dari Paryanto (53), salah satu korban Mbah Slamet, kepada anaknya di Sukabumi: ”Ini di rumahnya Pak Slamet. Buat jaga-jaga kalau umur ayah pendek, misal ayah tidak ada kabar sampai Minggu, langsung saja ke lokasi bersama aparat.”
Baca juga: Tergiur Penggandaan Uang hingga Nyawa Melayang
Selain pesan tertulis, ada pula rekaman suara korban yang terdengar parau dan ketakutan sembari mengirimkan share lokasi tempat orangtua Slamet Tohari. Di berbagai kanal media sosial, kemudian ada pula unggahan video pembongkaran gundukan tanah di mana ditemukan jenazah korban Paryanto.
Baru pada Senin (3/4/2023) pagi, Satuan Reserse Kriminal Polres Banjarnegara menggelar konferensi pers terkait kasus ini. Dua orang dihadirkan, ditahan, dan ditetapkan tersangka, yaitu Slamet Tohari bersama Budi Santoso alias Bodrek (33) yang bertugas mempromosikan jasa perdukunan di Facebook.
Saat itu, Slamet belum mengakui jumlah total korban yang telah dibunuh. Setelah jumpa pers, kepolisian menuju Balun yang berjarak sekitar 28 kilometer arah utara dari Alun-alun Banjarnegara. Di desa dengan ketinggian 1.800 mdpl itu, polisi menyusuri jalan setapak di tengah kebun kol dan menggelandang Slamet Tohari untuk menunjukkan lokasi lain tempat korban lainnya dikubur.
Lihat juga: Dukun Slamet Tohari Divonis Mati atas Kejahatan Luar Biasa
Tidak jauh dari bekas galian terbuka tempat ditemukannya jenazah Paryanto, polisi yang dibantu puluhan sukarelawan menggali beberapa titik dan menemukan 11 jenazah lainnya. Bau busuk menyengat ketika korban yang dikubur secara bertumpuk diangkat dan dimasukkan kantong jenazah. Ada yang kondisinya masih tampak sesosok manusia, tetapi ada juga yang hanya tinggal tulang-belulang.
Warga dan aparat desa di sana mengaku kaget Mbah Slamet yang dikenal sebagai dukun pengganda uang itu juga terlibat dalam kasus pembunuhan. Dia dikenal tertutup, tetapi juga ramah dengan memberikan rokok atau mentraktir karaoke orang-orang sekitar.
”Yang suka minum, ya, dikasih minum. Pernah juga menanggap lengger, dia yang ngebosi,” kata Maman (55), tetangga Slamet (Kompas.id, 6/4/2023).
Ditanya mengenai pekerjaan Slamet Tohari, warga menyebutkan memang banyak tamu dari luar kota yang datang ke rumahnya untuk menggandakan uang. Meski demikian, warga sekitar justru tidak memercayai sama sekali kemampuan Slamet itu.
”Cilikane (saat kecil dia) mbejing. Mbejing itu nakal. Saya kelas 1 SD dan dia kelas 3 SD. Kalau soal menipu uang, sudah dengar dari dulu, tapi kami tidak bisa apa-apa. Kami kaget kalau ada kasus pembunuhan,” kata Mahmudin (43), tetangga Tohari (Kompas.id, 6/4/2023).
Kepada Paryanto, Slamet meminta mahar hingga Rp 70 juta dan menjanjikan akan menggandakan uang itu hingga Rp 5 miliar. Namun, karena memang tidak bisa menggandakan uang dan terus berkelit, Paryanto marah dan gigih menagih.
Karena risih terus ditagih, Slamet Tohari membeli apotas dan mencampurkannya dengan air minum lalu diberikan kepada Paryanto. Itu disebut sebagai syarat terakhir dalam ritual. Bukan uang yang datang, tapi justru ajal.
Kasus ini memasuki persidangan mulai Selasa (26/9/2023) dengan pembacaan dakwaan. Selama empat bulan berlangsung, lewat berbagai sidang pemeriksaan saksi, terungkap ada pula peran oknum polisi yang membantu Slamet Tohari membuang barang bukti ponsel serta GPS mobil rental Paryanto, juga oknum yang membantu pengembalian mobil itu tanpa prosedur semestinya.
Terdakwa sering mengubah keterangan dan berbelit-belit. Hal yang meringankan: nihil.
Akhirnya, pada Kamis (1/2/2024), majelis hakim yang diketuai Niken Rochayati memvonis mati Slamet Tohari. Kendati diwarnai dissenting opinion atau beda pendapat oleh salah satu hakim anggota, perbuatan Mbah Slamet termasuk kategori kejahatan luar biasa atau extraordinary crime yang meresahkan masyarakat.
Hal yang memberatkan Slamet Tohari, kata Niken, adalah membunuh 12 korban dengan cara diracuni menggunakan apotas, mengubur jenazah korban dengan tidak manusiawi, tidak memiliki rasa iba, tindakan terdakwa juga menimbulkan rasa duka bagi keluarga korban, dan juga menyebabkan anak-anak korban menjadi yatim piatu.
Selain itu, lanjut Niken, uang yang didapatkan dari para korban juga dipakai Slamet Tohari untuk hiburan ke karaoke dan Slamet Tohari juga menguasai uang, mobil, serta perhiasan para korban.
”Terdakwa sering mengubah keterangan dan berbelit-belit. Hal yang meringankan: nihil,” tutur Niken (Kompas.id, 1/2/2024).
Niken mengatakan, tindakan Slamet Tohari yang mendapatkan uang dengan cara memanipulasi korban dengan korban yang sangat banyak merupakan hal yang turut mengguncang tatanan sosial di masyarakat.
”Perbuatan terdakwa dapat membentuk perspektif bahwa dukun menjadi profesi yang menjanjikan,” kata Niken.
Menanggapi vonis tersebut, dosen sosiologi FISIP Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Tri Wuryaningsih, mengatakan, secara hukum, hukuman mati sudah merupakan hukum yang tertinggi.
”Artinya, itu kejahatan yang di luar batas, yaitu membunuh 12 orang dan itu sudah direncanakan semua. Dari perspektif hukum, itu sudah hukuman yang paling tinggi di dunia. Kalau bicara hukum yang seadil-adilnya, ya, nanti hukuman di akhirat,” kata Tri, Sabtu (3/2/2024).
Dalam konteks fenomena perdukunan, lanjut Tri, di masyarakat, dukun itu masih menjadi salah satu tempat atau orang yang dianggap memiliki ilmu yang linuwih (lebih), memiliki kekuatan supranatural dibandingkan orang-orang biasa, sehingga dengan dipandang dia punya kemampuan linuwih atau suparanatural yang lebih itu, kemudian orang percaya bahwa dia bisa menyelesaikan persoalannya.
”Dukun itu secara sosiologis sampai sekarang masih ada dan diyakini oleh sebagian masyarakat untuk menyelesaikan persoalan apa pun, bukan hanya ekonomi, bahkan mungkin di tahun pemilu ini masih ada caleg-caleg yang menggunakan dalam petik dukun untuk membantu melancarkan hajatnya supaya mudah, supaya orang mau mencoblos dia,” kata Tri.
Kemudian, dalam soal percintaan, kata Tri, bagaimana supaya orang bisa naksir dengan dirinya dan bagaimana adanya penggunaan pelet ataupun santet menunjukkan perdukunan masih ada. ”Artinya, fenomena besar dalam konteks perdukunan itu secara sosiologis masih ada dan masih diyakini sebagian masyarakat kita,” kata Tri.
Oleh karena itu, kata Tri, masyarakat itu harus memiliki sikap kritis atau membaca secara rasional.
”(Dukun) seperti ini benar atau tidak? Misalnya penggandaan uang, mengapa uang itu tidak untuk dia saja. Kalau dia bisa kemampuan menggandakan uang orang lain, mengapa dianya sendiri tidak berkecukupan secara ekonomi atau sudah selesai dengan urusan ekonomi. Harusnya orang mikir sampai ke sana. Orang harus dididik cara berpikir yang rasional,” tuturnya.
Tri mengatakan, masalahnya yang irasional dan rasional itu memang senantiasa hidup berdampingan.
”Dari nilai-nilai religiositas. Kalau orang percaya penuh kepada Yang di Atas atau ketika tangan manusia sudah tidak bisa menyelesaikan masalah, ya hanya dengan tangan Tuhan. Bagaimana kemudian kemampuan dan kematangan religius ini (diuji) ketika orang mengalami kesulitan, kesusahan, solusi terakhir bukan pada manusia, tapi pada Tuhan Sang Pencipta,” katanya.
Tri mengingatkan pentingnya peran ulama dan tokoh agama untuk terus menggaungkan nilai religius.
”Artinya, kalau kemudian masyarakat itu mau menyadari itu ada solusi terakhir ya hanya minta pada Allah, tapi, kan, itu tidak bisa dengan cara instan. Masalahnya manusia itu inginnya saiki njaluk, sesuk ana (minta hari ini, besok terkabul). Kalau lewat tangan Tuhan, tidak ada yang instan,” ujarnya.