Di Surabaya, Pelatih Pasukan Pengibar Bendera Perkosa Anak Didiknya
Kejahatan seksual terhadap anak terus terjadi di Surabaya, Jawa Timur, seolah tiada tempat aman dan baik bagi anak.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya, Jawa Timur, menahan seorang lelaki berinisial AA (37) sebagai tersangka kejahatan seksual terhadap ARH (15), siswi sekolah menengah kejuruan. Tersangka merupakan pelatih Pasukan Pengibar Bendera atau Paskibra, sedangkan korban adalah peserta didik.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Surabaya Ajun Komisaris Besar Hendro Sukmono membenarkan adanya kejadian itu saat dikonfirmasi pada Jumat (2/2/2024). Tersangka sudah ditahan sejak pertengahan Januari 2024.
”Ditangkap pertengahan bulan lalu dan ditahan,” ujar Hendro. AA dijerat dengan pelanggaran Pasal 81 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 dengan ancaman hukuman pidana penjara minimal 5 tahun atau maksimal 15 tahun disertai denda paling banyak Rp 5 miliar. Ancaman pidana ditambah 1/3 karena tersangka merupakan pengasuh atau pendidik.
UU No 17/2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2016 menjadi UU. Perppu ini merupakan perubahan kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Secara terpisah, menurut Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes Surabaya Ajun Komisaris Rina Shanty Dewi Nainggolan, kasus itu bermula dari laporan korban didampingi orangtua pada Sabtu (13/1/2024). Korban mengaku telah diperkosa oleh AA yang notabene pelatih Paskibra di penginapan di Nginden Semolo, Sukolilo, Surabaya, Sabtu itu.
”Dari laporan, kami tindak lanjuti sehingga dapat menangkap pelaku dua hari kemudian,” ujar Rina.
Dari penyelidikan, kasus itu bermula dari niat buruk AA terhadap anak didiknya. Pelaku mengajak korban makan malam di suatu kedai dekat penginapan yang menjadi tempat kejadian perkara. Korban tidak curiga sehingga datang untuk memenuhi permintaan pelaku pada Jumat (12/1/2024).
Jumat malam itu memang belum terjadi apa-apa terhadap korban. AA kemudian mengajak lagi bertemu pada Sabtu pagi di kedai yang sama. Karena tidak curiga, korban mengiyakan ajakan itu sehingga mereka kembali bertemu pada Sabtu pagi. Yang korban tidak tahu, AA mempersiapkan jebakan. Salah satunya, memesan satu kamar di penginapan dekat kedai tempat pertemuan.
Dalam pertemuan kembali, AA memberikan makanan dan minuman yang ternyata mengandung alkohol sehingga membuat korban kehilangan kesadaran diri. Situasi ini kemudian dimaanfatkan pelaku untuk membawa korban ke kamar dan berbuat jahat dengan mencabuli dan memerkosa korban.
Korban dapat pulang lalu mengadu ke keluarga yang kemudian melapor ke Unit PPA Polrestabes Surabaya. Kasus ini menambah daftar kejahatan seksual terhadap anak dalam sebulan tahun berjalan menjadi empat perkara. Tiga kasus lainnya ialah pemerkosaan siswi SMP oleh kakak, ayah, dan dua paman di Tegalsari; pencabulan anak balita oleh buruh bangunan di Tenggilis Kauman; serta pemerkosaan siswi SMK oleh oknum anggota TNI Angkatan Laut di Sawahan.
Empat kasus
Setidaknya empat kasus kejahatan seksual di Surabaya yang terungkap sejak awal tahun menandakan perlindungan anak di ibu kota Jatim tersebut tidak baik-baik saja. Keselamatan dan keamanan jiwa anak-anak terancam oleh predator seksual yang bisa datang dari mana saja. Yang patut diwaspadai ialah pelaku kejahatan dari keluarga, kerabat, lingkungan, bahkan orang tidak dikenal.
Inilah yang menurut Yuliati Umrah, Direktur Eksekutif Yayasan Arek Lintang (Alit) Indonesia yang berbasis di Surabaya, merupakan situasi yang ironi. Surabaya adalah satu-satunya kota layak anak utama di Indonesia dan telah menyandang status itu enam tahun beruntun. Surabaya sedang berambisi mendapat status kota layak anak dunia.
Yuliati mengatakan, kasus-kasus kejahatan seksual itu merupakan peringatan kepada seluruh warga Surabaya agar menyadari potensi tindak pidana luar biasa ini lalu memperkuat pencegahan. Dari empat kasus tadi tergambar adanya relasi kuasa. Pelaku dengan status sebagai keluarga atau orang dekat merasa berhak. Sementara korban, karena ketidaktahuan, menjadi tidak waspada dan gagal menghindar.
”Penanganan kejahatan seksual itu seperti lingkaran setan, tiada awalnya, tetapi harus disadari dan diperkuat mitigasinya,” ujar Yuliati. Pelaku yang muncul dari keluarga atau orang terdekat mempekuat kenyataan menyedihkan bahwa kejahatan seksual datang dari lingkungan teraman dan terbaik bagi tumbuh kembang anak.