Buruh Sumut Terjerat Upah Murah dan Ketidakpastian
Setelah kontrak kerja tidak diperpanjang, buruh pabrik Rizky batal menikah. Gambaran hidup buruh pasca-UU Cipta Kerja.
Oleh
NIKSON SINAGA
·5 menit baca
Dua buruh pabrik, Rizky (24) dan Dayat (24), duduk di sebuah warung melepas lelah usai bekerja seharian di sebuah pabrik di Kawasan Industri Medan, Sumatera Utara, Rabu (31/1/2024) sore. Wajah yang lesu dan tatapan kosong tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran pada nasibnya sebagai buruh.
”Kami sudah dua tahun bekerja di pabrik ini. Kontraknya berakhir pada Februari ini dan belum ada pemberitahuan perpanjangan kontrak. Kalau tidak ada perpanjangan, saya akan batal menikah, kata Rizky yang merupakan pekerja di pabrik produsen alat elektronik rumah tangga itu.
Rizky dan Dayat menjadi gambaran buruh yang selalu hidup pas-pasan dan dibayang-bayangi pemutusan hubungan kerja atau putus kontrak tanpa kepastian. Mereka sudah bekerja selama bertahun-tahun di beberapa pabrik tanpa kepastian jaminan kerja.
Di pabrik itu, mereka sudah bekerja selama dua tahun dengan perjanjian kerja waktu tertentu atau kontrak selama dua tahun. Belum ada pemberitahuan resmi apakah kontrak akan diperpanjang, tetapi mereka tidak lagi mendapat seragam baru yang biasanya diberikan perusahaan setiap awal tahun. Rekan mereka yang lain yang lebih muda masih mendapat seragam baru.
”Saya sudah sampaikan kepada calon istri kalau kami belum bisa menikah dalam waktu dekat. Enggak mungkin saya menikah tetapi tidak ada pekerjaan,” kata Rizky.
Di tengah ketidakpastian itu, Rizky harus memikirkan bagaimana menutupi cicilan kredit sepeda motornya sebesar Rp 1 juta per bulan. Belum lagi biaya sewa kamar kos Rp 500.000 per bulan dan kebutuhan makan sehari-hari. Meskipun sudah bertahun-tahun bekerja sebagai buruh pabrik, tidak ada uang yang bisa dia tabung dari penghasilan Rp 3,4 juta per bulan.
Dayat juga mengalami hal yang sama. Dia sudah menjadi buruh pabrik di beberapa perusahaan di Kawasan Industri Medan (KIM) selama enam tahun terakhir. Namun, sampai sekarang dia tidak bisa menabung. ”Cicilan sepeda motor kami anggap sebagai tabungan,” kata Dayat.
Menurut Dayat, meskipun upah buruh naik dari tahun ke tahun, tidak sebanding dengan kenaikan harga bahan pokok. Dia mencontohkan harga beras yang masih Rp 9.000 per kilogram saat pertama kali bekerja enam tahun lalu. Saat ini harganya sudah Rp 15.000 per kg.
”Semua harga kebutuhan serba naik mulai dari sewa rumah hingga bahan bakar minyak. Dulu gaji saya Rp 3 juta dan sekarang naik jadi Rp 3,4 juta. Kenaikan gaji enggak cukup menutupi kenaikan biaya hidup,” kata Dayat.
Kesulitan hidup seperti diwariskan turun-temurun kepada buruh pabrik. Dayat menyebut, ayahnya juga adalah seorang buruh pabrik. Ia juga sudah terbiasa hidup pas-pasan sejak kecil. Bedanya, ayah Dayat hidup pas-pasan dengan kepastian bekerja sebagai karyawan tetap. ”Kalau aturan sekarang, kan, enggak gitu lagi. Hampir tidak ada harapan kami menjadi karyawan tetap,” kata Dayat.
Pekerja lainnya, Ardi B (26), seorang mekanik di sebuah pabrik produsen kardus kemasan. Dia sudah enam tahun bekerja di pabrik itu dengan status karyawan kontrak. Selama bekerja, kenaikan upah tidak sebanding dengan kenaikan biaya hidup. ”Saat baru masuk kerja gaji saya Rp 3 juta dan sekarang Rp 3,4 juta, tetapi saat ini hidup rasanya lebih sulit karena biaya hidup makin tinggi,” kata Ardi.
Seperti buruh pabrik pada umumnya, kata Ardi, tiga tahun pertama bekerja, dia membayar cicilan kredit sepeda motor. Setelah lunas, dia berencana membeli rumah karena dia sudah menikah. Namun, melihat uang muka dan cicilan yang sangat tinggi, dia urung membeli rumah. ”Bisa enggak makan kami kalau harus mencicil kredit rumah lagi. Kami memilih mengontrak rumah Rp 5 juta setahun,” kata Ardi.
Kesulitan hidup seperti diwariskan turun-temurun kepada buruh pabrik.
Ardi menyebut, buruh juga sering mengalami ketidakadilan dari pengupahan yang mereka terima. Dari total upah yang dia terima, sekitar Rp 500.000 merupakan tunjangan kerajinan. Jika dalam satu bulan karyawan tidak hadir atau telat masuk kerja satu hari saja, tunjangan itu akan dipotong. ”Beberapa bulan lalu, tunjangan kerajinan saya dipotong karena saya sakit tiga hari. Saya merasa ini sangat tidak adil,” kata Ardi.
Bersamaan dengan penandatanganan perpanjangan kontrak, kata Ardi, mereka juga harus menandatangani surat pengunduran diri tanpa tanggal. Jika ada masalah dalam hubungan kerja, surat itu digunakan perusahaan untuk menghindari kewajiban membayar pesangon.
Ketua Umum Serikat Buruh Medan Independen Sumatera Utara Erika Rosmawati Situmorang mengatakan, praktik upah rendah, ketidakpastian, dan tidak adanya jaminan bekerja bagi buruh adalah hasil dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. ”Undang-undang itu sangat jelas tidak memihak pada buruh khususnya soal pengupahan, status pekerja, dan pemutusan hubungan kerja,” katanya.
Erika menyebut, Pemilu 2024 harusnya menjadi momentum politik untuk memperjuangkan hak buruh dengan revisi UU Cipta Kerja. Namun, Erika tidak melihat komitmen serius dari para calon presiden dan partai politik tentang perbaikan nasib buruh. ”Kalau hanya lip service saat kampanye, banyak. Namun, tampaknya tidak ada komitmen serius,” kata Erika.
Erika menyebut, UU Cipta Kerja membuat kontrak kerja dengan karyawan bisa diperpanjang berkali-kali tanpa harus diangkat menjadi karyawan tetap. Jika perusahaan tidak membutuhkan lagi, kontrak tidak diperpanjang dan itu sangat merugikan karyawan.
Untuk pekerja sumber lain (outsourcing) juga diperluas hingga ke lini produksi. Sebelumnya, hanya pekerja musiman atau pekerja pendukung yang bisa menggunakan pekerja sumber lain. ”Sistem saat ini membuat tidak ada jaminan bekerja bagi buruh. Mereka setiap hari hidup dalam ketakutan tentang nasib anak dan istrinya jika kontrak tidak diperpanjang. Pekerja outsourcing lebih miris lagi, mereka bisa diberhentikan tiba-tiba kapan pun,” kata Erika.
Erika menyebut, sebagai organisasi buruh, mereka berkomitmen untuk terus memperjuangkan pencabutan UU Cipta Kerja atau paling tidak merevisi ketentuan yang merugikan pekerja dan mengembalikannya seperti ketentuan UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Terkait hal tersebut, Kompas telah mengirimkan permintaan wawancara kepada Kepala Dinas Ketenagakerjaan Pemprov Sumut Abdul Haris Lubis. Namun, hingga Jumat (2/2/2024), Haris tidak menanggapi permintaan wawancara yang dikirim Kompas lewat pesan singkat.