Slamet Tohari, Dukun Pembunuh 12 Orang di Banjarnegara Divonis Mati
Setelah divonis mati karena melakukan kejahatan luar biasa, dukun Slamet Tohari mengajukan banding.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·2 menit baca
BANJARNEGARA, KOMPAS — Slamet Tohari (46) alias Mbah Slamet, pembunuh 12 orang dalam kasus penggandaan uang, divonis mati di Pengadilan Negeri Banjarnegara, Jawa Tengah, Kamis (1/12/2024). Dalam sidang yang diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari salah satu hakim, ulah Slamet disebut sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
Pembunuhan yang dilakukan Slamet menggegerkan Indonesia pada April 2023. Dengan dalih penggandaan uang, ia ketahuan membunuh 12 orang di Banjarnegara.
Sembilan korban sudah teridentifikasi. Namun, tiga lainnya belum diketahui asal-usulnya. Akibat perbuatannya, Slamet didakwa pembunuhan berencana, pemalsuan uang, penipuan, dan penggelapan.
”Hal yang memberatkan, terdakwa membunuh 12 korban dengan cara diracuni menggunakan apotas, korban mengalami sakit luar biasa, meninggal, dan terdakwa mengubur jenazah dengan tidak manusiawi,” kata Niken Rochayati, ketua majelis hakim saat membacakan putusan, Kamis (1/2/2024).
Niken, yang didampingi hakim Tomi Sugianto dan Arief Wibowo, melanjutkan, hal memberatkan lainnya adalah terdakwa tidak memiliki rasa iba dan tindakan menimbulkan duka bagi keluarga korban. Perbuatan terdakwa juga membuat anak-anak korban menjadi yatim piatu.
Niken menyebut, Slamet menggunakan uang korban untuk berkaraoke. Selain uang, Slamet bahkan mengambil mobil dan perhiasan. Dalam persidangan, terdakwa juga sering mengubah keterangan dan berbelit-belit.
”Hal yang meringankan, nihil,” tutur Niken.
Selain itu, Niken mengatakan, perbuatan terdakwa masuk dalam kejahatan luar biasa. Ulah Slamet meresahkan dan mengguncang tatanan sosial masyarakat. Perbuatan terdakwa juga dapat membentuk persepsi dukun menjadi profesi menjanjikan. Selain itu, terdakwa melakukan kegiatan hanya untuk gaya hidup hedonisme.
”Selanjutnya, perbuatan terdakwa menghilangkan nyawa orang lain menggunakan obat pertanian jenis apotas yang didapat dengan mudah dan harga relatif terjangkau dapat menjadi contoh tidak baik serta dapat memotivasi orang lain melakukan perbuatan serupa,” paparnya.
Terkait putusan itu, hakim Arief Wibowo mengajukan dissenting opinion. Ia menilai, hukuman mati dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila.
”Manusia yang merupakan ciptaan Tuhan yang paling mulia, yang hidup dan matinya absolut terhadap kekuasaan Tuhan. Selain itu, penjatuhan hukuman mati tidak dapat meringankan penderitaan keluarga korban,” tutur Arief.
Akan tetapi, perbedaan pendapat tidak mampu mengubah putusan mati. Menanggapi itu, Slamet menyatakan banding.
Ahmad Raharjo, penasihat hukum terdakwa, menyampaikan akan segera menyiapkan materi banding. ”Ada beberapa hal yang kami anggap belum diungkapkan semua,” kata Ahmad.
Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Banjarnegara Nasruddin menyampaikan, vonis sesuai dengan tuntutan. Namun, Nasruddin mengatakan, siap dengan keinginan terdakwa untuk banding.