Kenaikan Tarif PBB Bisa Berdampak pada Konsumsi Masyarakat
Kenaikan PBB ini dinilai berdampak kepada konsumsi masyarakat yang memiliki rumah tipe kecil.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah atau UU HKPD dapat berdampak pada konsumsi masyarakat. Namun, penyesuaian tarif ini dianggap sesuai takaran dan bisa berimplikasi pada kesejahteraan masyarakat.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Jawa Barat Erwin Gunawan Hutapea di Bandung, Rabu (31/1/2024) menyatakan, kenaikan pajak berimplikasi pada konsumsi masyarakat. Kenaikan ini terkait Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang mencapai 66,67 persen dari tarif maksimal 0,3 persen menjadi 0,5 persen.
PBB menjadi sumber pendapatan negara yang berasal dari pajak atas lahan atau bangunan yang dimiliki serta dikuasai oleh pribadi dan badan di wilayah kabupaten dan kota. Tarif maksimal PBB ini diatur dalam Pasal 41 UU HKPD mulai 5 Januari 2024 dan besaran pajak selanjutnya ditentukan oleh masing-masing pemerintah daerah.
”Secara teoretis, yang namanya peningkatan pajak pasti akan berimplikasi pada total pendapatan yang akan digunakan untuk konsumsi. Namun, juga harus dilihat yang mana. Kalau dikenakan untuk tipe rumah menengah ke atas, implikasinya tidak begitu kuat,” ujarnya.
Dampak berbeda, lanjut Erwin, bisa saja terjadi jika pajak dibebankan kepada rumah tipe kecil. Meski demikian, dia tetap meyakini kenaikan pajak yang dilakukan pemerintah ini sudah melalui perhitungan penyesuaian tarif yang memperhatikan kesejahteraan masyarakat.
”Saya yakin pemerintah sudah melakukan perhitungan dan implikasinya terhadap kesejahteraan masyarakat pasti sudah ditakar dengan baik,” katanya.
Terkait itu, Erwin juga mengingatkan pemerintah daerah untuk memperhitungkan kenaikan tarif air minum karena berdampak pada inflasi. Dia mengingatkan terkait tarif air minum di Kota Bandung, misalnya, yang melonjak pada tahun 2022.
Kenaikan tarif yang hampir 100 persen ini, lanjut Erwin, membuat inflasi Kota Bandung menjadi yang tertinggi di Jabar. Kondisi ini juga berdampak pada angka inflasi Jabar yang tercatat oleh Badan Pusat Statistik Jabar tahun itu sebesar 6,04 persen, sedangkan inflasi Kota Bandung mencapai 7,45 persen.
”Tidak hanya Bandung, kota-kota besar lainnya seperti Bogor, Bekasi, dan Depok perlu mewaspadai kenaikan tarif karena memiliki bobot terhadap perhitungan inflasi. Jadi, kami berharap ada sinergi, koordinasi, dan kolaborasi agar semuanya bisa berjalan dengan baik,” paparnya.
Berbagai perhitungan yang matang, lanjut Erwin, diperlukan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi di Jabar yang diperkirakan lebih baik dari sebelumnya. Sektor pertanian akan pulih karena Jabar sudah tidak menghadapi El Nino di tahun 2024.
”Dari bacaan kami (ekonomi Jabar) akan tumbuh di kisaran 4,7 persen sampai 5,7 persen di tahun 2024. Sementara itu, ada pesta demokrasi sehingga permintaan diharapkan akan menjadi tinggi,” ujarnya.
Di samping pajak, investasi juga menjadi perhatian karena menjadi salah satu sumber pemasukan di Jabar. Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Jabar Nining Yuliastiani menyatakan, besaran investasi di Jabar yang menjadi target nasional mencapai Rp 250 triliun.
”Kami optimistis mencapai itu karena setiap tahun kami bisa mencapai target. Apalagi, di Jabar memiliki banyak hal yang mendukung peningkatan investasi,” paparnya.